Selasa, 25 Maret 2014

Pare









Pare atau padi sejak lama tanaman yang satu ini sangat menarik perhatian saya. Bukan hanya karena dari pare atau padi itu setelah diolah menjadi nasi dan sebagai menu makanan sehari-hari yang tak pernah membosankan, namun juga karena tanaman yang satu ini sangat berbeda dengan tanaman lainnya sejak ditanam disawah hingga akhirnya menjadi sepiring nasi yang siap disantap. Sungguh membutuhkan proses panjang untuk mengolahnya. 





Memperhatikan petani bekerja disawah pun sudah merupakan hal menarik. Sebelum menanam padi, sawah dibajak dulu. Dulu sebelum traktor ada, para petani biasa membajak sawahnya dengan mencangkul. Sebagian lagi yang memiliki kerbau membajak sawahnya dengan menggunakan bantuan kerbau. Lalu proses menanam padi pun berlangsung. Dan itu bukan sebuah pekerjaan mudah dan ringan. Begitu banyak yang masih harus dikerjakan hingga akhirnya tanaman padi tumbuh dan mulai berisi bulir-bulir padi.
Ketika padi sudah mulai tumbuh dan berisi bulir-bulir padi yang semakin lama semakin banyak dan berisi, pekerjaan petani bukan hanya sekedar menunggu hingga padi siap dipanen. Gangguan datang dari hama, burung dan tikus yang mengganggu tanaman padi. Duh, sungguh berat menjadi seorang petani. 





Saat panen tiba merupakan saat yang sangat ditunggu-tunggu walaupun pekerjaan bukan berarti sudah selesai. Masih banyak pekerjaan lain yang harus dikerjakan sebelum padi siap diolah menjadi nasi. Padi masih harus digebot untuk melepaskan butir-butir padi dari batangnya. Dan saat gabah  sudah  terkumpul masih harus ditumbuk untuk menjadikan gabah menjadi beras. 







Dan setelah menjadi beras barulah bisa ditanak menjadi nasi. Acara menanak nasi tentu saja jaman dulu tidak semudah jaman sekarang ketika alat menanak nasi sudah memberikan kemudahan dalam mengolah beras menjadi nasi. Dulu ketika orang masih menanak nasi secara tradisional serangkaian pekerjaan tahap demi tahap harus dikerjakan sebelum beras akhirnya menjadi nasi yang siap disantap.  Sungguh proses yang sangat panjang dan tentunya melelahkan. 





Mungkin itu sebabnya orangtua jaman dulu suka marah bila anaknya tidak menghabiskan nasi dalam piring dan kerapkali mengatakan bila Dewi Sri yaitu Dewi Padi akan menangis bila melihat nasi yang tersisa tidak dimakan apalagi bila dibuang.
Tidak salah bila ada yang mengatakan bahwa pare atau padi adalah tanaman sakral. Tak terhitung cerita  lisan yang menceritaan tentang padi sebagai tema dan benang merah cerita.  Legenda atau dongeng tentang padi dipastikan lahir dari mereka yang menganut kehidupan keseharian yang tak lepas dari sawah dan menanam padi. 





Proses menggarap sawah pun dilakukan tidak begitu saja. Masyarakat petani di pedesaan mempercayai bila akan memulai menggarap sawah mereka harus memegang tata cara yang merupakan warisan dari para karuhun karena menanam padi masih dianggap sakral dan tidak bisa sembarangan begitu saja. Mulai dari mencangkul sawah, menebar bibit padi, mencabut tanaman padi baru tumbuh untuk ditanam, menanam benih padi  atau yang biasa disebut dengan tandur, menyiangi rumput yang mengganggu tanaman padi ketika sudah mulai tumbuh yang biasa disebut dengan ngarambet, hingga memotong padi yang pada sebagian masyarakat pedesaan masih bertahan menggunakan ani-ani, yaitu alat pemotong padi, bukan dengan ditebas memakai parang. Hal ini dilakukan karena dengan menggunakan ani-ani cara memotong padi lebih halus, konon hal ini untuk menghormati Dewi Sri yang juga disebut Dewi Padi yang tidak suka dengan kekerasan. 





Begitu pula setelah panen, ketika orang mulai mengikat padi, menuju lumbung, memasukkan padi pada lumbung, dan menatanya di lumbung padi, semuanya dilakukan dengan hati-hati. Tatkala telah menjadi beras, dari memasukkannya pada periuk, mengolahnya menjadi nasi hingga kemudian nasi sudah matang dan siap dimakan,  memasukkannya kedalam mulut pun diperlukan perlakuan-perlakuan yang tak sembarangan. Bahkan dulu, orangtua selalu memperingatkan anak-anaknya agar tidak boleh bercakap-cakap apabila sedang makan dan tidak boleh menyisakan sebutir pun nasi diatas piring karena pamali, Dewi Sri akan menangis bila masih tersisa nasi yang tidak dimakan. 

























(Foto-foto diambil dari google)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar