Senin, 09 Juli 2018

Panen Mangga





Matahari bersinar lembut. Pagi yang indah dan segar. Selesai mandi Arin bergegas pergi kedapur. Hari ini rencananya mereka akan pergi ke kebun memetik mangga. Musim kemarau adalah musim panen mangga. Ayah sudah berada didalam mobil tuanya, sebuah mobil bak terbuka. Dibelakang mobil ada karung-karung kosong yang diikat menjadi satu. Karung-karung itu nantinya akan diisi dengan hasil panen mangga dan segera dijual. Biasanya ada orang yang akan menampung hasil panen mangga dan menjualnya ke pasar.
“Cepatlah, kau selalu saja terlambat!” seru Ninda, kakaknya yang sudah lebih dahulu naik kebelakang mobil dan duduk pada tumpukan karung.
“Aku ambil bekal makanan dulu.” Sahut Arin.
“Tidak usah, aku sudah membawa bekal untuk kita semua.” Seru Santi, kakaknya yang kedua. “Ayolah cepat, ayah sudah lama menunggu kita, terutama menunggu kau yang selalu saja paling telat.”
“Cepatlah, jangan ribut terus. Ayo semua naik kebelakang mobil.” Seru ayah dari balik kemudi.
Ibu yang baru datang dari arah dapur segera naik mobil dan duduk disamping ayah. Ninda, Santi dan Arin duduk bertiga dibelakang mobil. Mobil melaju menuju kebun. Angin pagi yang segar menerpa wajahnya dan meniup rambutnya. Mobil melaju semakin cepat melintasi jalanan beraspal. Dikiri kanan jalan sawah membentang luas. Tak lama mobil sudah tiba dikebun. Ayah menepikan mobilnya kepinggir jalan. Dikebun sudah ada beberapa orang pekerja yang tengah sibuk memetik mangga.
Ninda, Santi dan Arin segera meloncat turun. Seorang lelaki mengambil karung dari belakang mobil. Ninda, Santi dan Arin berlarian menuju ke kebun mangga. Mereka merasa senang melihat pohon-pohon mangga di kebun hampir semuanya sarat dengan buah-buah yang hampir matang. Bahkan banyak yang sudah matang. Ditanah, mangga-mangga yang telah dipetik dimasukan kedalam keranjang dan sebagian lagi dimasukan kedalam karung.
“Apakah kita boleh memetik mangga, Bu?” tanya Ninda.
Mereka perlu bertanya dulu apakah mereka boleh memetik mangga karena siapa tahu ayah telah menjual seluruh mangga yang ada pada seluruh pohon yang ada dikebun pada pembeli.
“Tentu saja boleh.” Sahut Ibu. “Kita juga ingin membawa mangga yang telah masak kerumah dan menikmatinya bersama-sama.”
Bukan main senangnya perasaan ketiga gadis itu. Ninda lebih dulu naik keatas pohon. Dia bisa  memanjat pohon walaupun sudah pernah beberapa kali jatuh terpeleset.
“Hati-hati, Ninda. Jangan terlalu tinggi kau memanjat pohon. Petiklah mangga yang paling bawah saja. Banyak yang sudah matang diranting yang paling bawah.” Seru ibu khawatir.
“Ya, Bu.” Sahut Ninda. Dia menginjak dahan yang paling bawah dan mulai memetik mangga yang sudah matang. “Tangkaplah ini!”
Santi menengadah. Dia mencoba menangkap mangga yang dijatuhkan Ninda. Namun tangannya tidak bisa menangkap mangga itu hingga terjatuh ketanah.
“Ah, sayang sekali. Mangganya menjadi pecah.” Seru Santi.
Ninda menjatuhkan lagi sebuah mangga. Arin mencoba menangkapnya. Namun tangkapannya pun meleset. Mangga itu terjatuh ketanah. Mangga yang sudah matang itu hancur sebagian. Namun Ninda tetap saja menjatuh-jatuhkan mangga yang dipetiknya sementara Santi dan Arin bergantian mencoba menangkap mangga itu. Ada yang berhasil ditangkap ada juga yang jatuh ketanah. Namun mereka semuanya merasa gembira dan berteriak-teriak satu sama lainnya.
Tidak terlalu banyak mangga yang dipetik Ninda karena ayah melarangnya memetik mangga lebih banyak lagi ketika melihat mangga-mangga yang dipetiknya berjatuhan ditanah dan menjadi rusak.
“Kalau mangganya rusak seperti itu, nanti tidak bisa dimakan lagi. Kamu turun, Ninda. Tidak baik anak perempuan memanjat pohon seperti anak laki-laki.” Seru ayah menegur anak sulungnya.
Ninda agak merengut karena dia sangat suka memanjat pohon walaupun tidak berani memanjat kedahan yang lebih tinggi.
Ibu membuka bekal makanan yang mereka bawa dari rumah. Ninda menggelar tikar. Mereka semua duduk pada tikar dan menikmati bekal yang mereka bawa. Nasi yang masih hangat yang dibungkus dengan daun pisan. Ikan asin, pepes ikan, tempe bacem, pepes tahu, sambal terasi, lalapan serta kerupuk udang yang semuanya disiapkan ibu tadi pagi. Mereka semua makan dengan lahap. Makan dikebun, apalagi setelah merasa lelah, selalu menyenangkan dan membuat makan terasa lahap. Selesai makan ibu membuka wadah yang berisi agar-agar. Sementara Ninda dan Santi mengupas mangga yang telah matang.
Selesai makan ayah terlibat pembicaraan yang serius dengan pembeli buah, seorang lelaki bertopi bundar. Lelaki itu adalah Paman Hendra, yang selama ini sering menampung hasil pertanian dan hasil kebun ayah. Ayah menerima sejumlah uang dari paman Hendra. Sementara seorang pegawai mengangkut beberapa buah karung berisi mangga dan menaruhnya dibelakang mobil ayah.
“Karung-karung mangga itu akan kita bawa pulang, Bu?” tanya Santi.
“Ya.” Sahut ibu. “Semua mangga yang berada dikebun ini sudah dijual pada Paman Hendra namun kita juga mendapat bagian beberapa karung mangga yang bisa kita bawa pulang. Kita akan membagikan mangga-mangga itu sebagian untuk tetangga-tetangga kita, sebagian untuk saudara-saudara kita, dan sisanya tentu saja untuk kita.”
Menjelang sore mereka pulang. Ninda, Santi dan Arin duduk kembali dibagian belakang mobil bak terbuka. Kali ini dibelakang mobil ada beberapa karung berisi mangga. Angin sore terasa panas. Rasanya mereka ingin segera tiba dirumah dan mandi. Tubuh mereka terasa sangat gerah sekali setelah seharian bermain dikebun. Malam nanti mereka akan kembali menikmati mangga yang manis dan segar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar