Matahari bersinar lembut.
Pagi yang indah dan segar. Selesai mandi Arin bergegas pergi kedapur. Hari ini
rencananya mereka akan pergi ke kebun memetik mangga. Musim kemarau adalah
musim panen mangga. Ayah sudah berada didalam mobil tuanya, sebuah mobil bak
terbuka. Dibelakang mobil ada karung-karung kosong yang diikat menjadi satu.
Karung-karung itu nantinya akan diisi dengan hasil panen mangga dan segera
dijual. Biasanya ada orang yang akan menampung hasil panen mangga dan
menjualnya ke pasar.
“Cepatlah, kau selalu saja
terlambat!” seru Ninda, kakaknya yang sudah lebih dahulu naik kebelakang mobil
dan duduk pada tumpukan karung.
“Aku ambil bekal makanan
dulu.” Sahut Arin.
“Tidak usah, aku sudah
membawa bekal untuk kita semua.” Seru Santi, kakaknya yang kedua. “Ayolah
cepat, ayah sudah lama menunggu kita, terutama menunggu kau yang selalu saja
paling telat.”
“Cepatlah, jangan ribut
terus. Ayo semua naik kebelakang mobil.” Seru ayah dari balik kemudi.
Ibu yang baru datang dari
arah dapur segera naik mobil dan duduk disamping ayah. Ninda, Santi dan Arin
duduk bertiga dibelakang mobil. Mobil melaju menuju kebun. Angin pagi yang
segar menerpa wajahnya dan meniup rambutnya. Mobil melaju semakin cepat
melintasi jalanan beraspal. Dikiri kanan jalan sawah membentang luas. Tak lama
mobil sudah tiba dikebun. Ayah menepikan mobilnya kepinggir jalan. Dikebun
sudah ada beberapa orang pekerja yang tengah sibuk memetik mangga.
Ninda, Santi dan Arin segera
meloncat turun. Seorang lelaki mengambil karung dari belakang mobil. Ninda,
Santi dan Arin berlarian menuju ke kebun mangga. Mereka merasa senang melihat
pohon-pohon mangga di kebun hampir semuanya sarat dengan buah-buah yang hampir
matang. Bahkan banyak yang sudah matang. Ditanah, mangga-mangga yang telah
dipetik dimasukan kedalam keranjang dan sebagian lagi dimasukan kedalam karung.
“Apakah kita boleh memetik
mangga, Bu?” tanya Ninda.
Mereka perlu bertanya dulu
apakah mereka boleh memetik mangga karena siapa tahu ayah telah menjual seluruh
mangga yang ada pada seluruh pohon yang ada dikebun pada pembeli.
“Tentu saja boleh.” Sahut
Ibu. “Kita juga ingin membawa mangga yang telah masak kerumah dan menikmatinya
bersama-sama.”
Bukan main senangnya
perasaan ketiga gadis itu. Ninda lebih dulu naik keatas pohon. Dia bisa memanjat pohon walaupun sudah pernah beberapa
kali jatuh terpeleset.
“Hati-hati, Ninda. Jangan
terlalu tinggi kau memanjat pohon. Petiklah mangga yang paling bawah saja.
Banyak yang sudah matang diranting yang paling bawah.” Seru ibu khawatir.
“Ya, Bu.” Sahut Ninda. Dia
menginjak dahan yang paling bawah dan mulai memetik mangga yang sudah matang.
“Tangkaplah ini!”
Santi menengadah. Dia
mencoba menangkap mangga yang dijatuhkan Ninda. Namun tangannya tidak bisa
menangkap mangga itu hingga terjatuh ketanah.
“Ah, sayang sekali.
Mangganya menjadi pecah.” Seru Santi.
Ninda menjatuhkan lagi
sebuah mangga. Arin mencoba menangkapnya. Namun tangkapannya pun meleset.
Mangga itu terjatuh ketanah. Mangga yang sudah matang itu hancur sebagian.
Namun Ninda tetap saja menjatuh-jatuhkan mangga yang dipetiknya sementara Santi
dan Arin bergantian mencoba menangkap mangga itu. Ada yang berhasil ditangkap
ada juga yang jatuh ketanah. Namun mereka semuanya merasa gembira dan
berteriak-teriak satu sama lainnya.
Tidak terlalu banyak mangga
yang dipetik Ninda karena ayah melarangnya memetik mangga lebih banyak lagi
ketika melihat mangga-mangga yang dipetiknya berjatuhan ditanah dan menjadi
rusak.
“Kalau mangganya rusak
seperti itu, nanti tidak bisa dimakan lagi. Kamu turun, Ninda. Tidak baik anak
perempuan memanjat pohon seperti anak laki-laki.” Seru ayah menegur anak
sulungnya.
Ninda agak merengut karena
dia sangat suka memanjat pohon walaupun tidak berani memanjat kedahan yang
lebih tinggi.
Ibu membuka bekal makanan
yang mereka bawa dari rumah. Ninda menggelar tikar. Mereka semua duduk pada
tikar dan menikmati bekal yang mereka bawa. Nasi yang masih hangat yang
dibungkus dengan daun pisan. Ikan asin, pepes ikan, tempe bacem, pepes tahu,
sambal terasi, lalapan serta kerupuk udang yang semuanya disiapkan ibu tadi
pagi. Mereka semua makan dengan lahap. Makan dikebun, apalagi setelah merasa
lelah, selalu menyenangkan dan membuat makan terasa lahap. Selesai makan ibu
membuka wadah yang berisi agar-agar. Sementara Ninda dan Santi mengupas mangga
yang telah matang.
Selesai makan ayah terlibat
pembicaraan yang serius dengan pembeli buah, seorang lelaki bertopi bundar.
Lelaki itu adalah Paman Hendra, yang selama ini sering menampung hasil
pertanian dan hasil kebun ayah. Ayah menerima sejumlah uang dari paman Hendra.
Sementara seorang pegawai mengangkut beberapa buah karung berisi mangga dan
menaruhnya dibelakang mobil ayah.
“Karung-karung mangga itu
akan kita bawa pulang, Bu?” tanya Santi.
“Ya.” Sahut ibu. “Semua
mangga yang berada dikebun ini sudah dijual pada Paman Hendra namun kita juga
mendapat bagian beberapa karung mangga yang bisa kita bawa pulang. Kita akan
membagikan mangga-mangga itu sebagian untuk tetangga-tetangga kita, sebagian
untuk saudara-saudara kita, dan sisanya tentu saja untuk kita.”
Menjelang sore mereka
pulang. Ninda, Santi dan Arin duduk kembali dibagian belakang mobil bak
terbuka. Kali ini dibelakang mobil ada beberapa karung berisi mangga. Angin
sore terasa panas. Rasanya mereka ingin segera tiba dirumah dan mandi. Tubuh
mereka terasa sangat gerah sekali setelah seharian bermain dikebun. Malam nanti
mereka akan kembali menikmati mangga yang manis dan segar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar