Minggu, 20 Mei 2018

Kembali Ke Desa



Pernah saya mendengar kalimat 'Kembali ke desa' ketika kalimat itu dilontarkan salah seorang kenalan yang setelah beberapa tahun lamanya tinggal dan bekerja dikota akhirnya memutuskan pulang kembali ke desanya.
Tak sengaja ketika saya  bersama seorang teman sedang jalan-jalan kepedesaan, berpapasan dijalan  dengan salah seorang kenalan saya yang entah berapa tahun lalu lamanya saya tak pernah berjumpa lagi dengannya. Samar-samar saya masih ingat padanya ketika dia menyapa saya.  Setelah saling bertanya kabar, dia mengajak saya dan teman saya mampir kerumahnya yang tidak jauh dari jalan tempat kami bertemu. Setelah menuruni tangga batu dari pinggir jalan, akhirnya kami tiba dirumahnya. Rumahnya kecil bersahaja, namun sangat menyenangkan karena memiliki halaman yang luas. Ada pohon mangga, nangka dan rambutan. Kenalan saya itu mengajak saya dan teman saya duduk dibelakang rumahnya. Dibelakang rumah itu ada saung yang menghadap kekolam besar yang penuh dengan ikan-ikan besar dan kecil.  Gemercik suara air dari pancuran yang jatuh kedalam kolam semakin mengentalkan suasana pedesaan. Nyaman sekali rasanya duduk disaung yang menghadap kolam ikan itu. Terasa sejuk sekali walaupun matahari bersinar cukup terik.  Istrinya menyuguhi secangkir teh dengan toples besar berisi opak dan rangginang yang renyah. Ada juga piring berisi wajit dan dodol. Teman saya tersenyum-senyum melihat suguhan itu karena semua yang disuguhkan ada makanan kesukaan dia. 
Kenalan saya itu lalu bercerita tentang dirinya sekarang. Bertemu dengan kenalan saya itu seakan mendengarkan sebuah dongeng yang cukup menarik buat saya.
Tentunya dia punya alasan kenapa dia sampai memutuskan untuk pulang kembali ke desa. Dikota, bagaimanapun lapangan pekerjaan lebih banyak dan lebih terbuka lebar dibandingkan dengan didesa. Selain itu, kemudahan dan beragam fasilitas ada dikota dibandingkan dengan didesa. Jadi apa yang membuatnya tertarik untuk kembali kedesa setelah bertahun-tahun lamanya merasakan beragam kenyamanan dan kemudahan hidup dikota? Ternyata, justru dikota  kini hidupnya  terasa semakin sulit. Setelah keluar dari tempatnya bekerja dan susah payah mencari pekerjaan baru, beban hidupnya dikota terasa semakin berat. Tabungannya semakin menipis sementara kebutuhan hidup dikota dengan seorang istri dan dua anak perempuan terasa semakin berat. Akhirnya, dia memutuskan untuk membawa istri dan kedua anak perempuannya pulang kampung dan hidup didesa. Awalnya dia membayangkan, kehidupan didesa pun akan sama beratnya dengan kehidupan dikota karena didesa dia tetap sebagai pengangguran yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Namun disisi lain dia berpikir, sesusah-susahnya hidup didesa, dia berdekatan dengan kedua orangtuanya yang memiliki lahan sawah dan ladang sebagai sumber kehidupan. Jadi singkatnya, dia memutuskan pulang kedesa untuk membantu kedua orangtuanya menjadi petani.
Sejak awal dia sudah membayangkan bahwa menjadi petani pun tidak akan semudah seperti yang ada dalam bayangannya. Dan ternyata benar dugaannya. Ayahnya mula-mula menyerahkan sepetak kebun kepadanya. Kebun itu berada dilereng pegunungan, cukup jauh dari rumahnya.
"Kebun itu sudah lama tidak lagi dipelihara. Bila kau memang benar-benar ingin menjadi petani, urus kebun itu dulu dan tanami dengan tanaman yang kau inginkan yang hasilnya bisa kau jual." kata ayahnya dua minggu setelah dia dan keluarganya tinggal didesa.
Singkat cerita, pergilah dia kekebun yang ditunjukan oleh ayahnya itu dengan membawa cangkul serta golok dan sabit yang tergantung dikiri kanan celananya. Dengan penuh semangat dia berjalan menuju arah kebun itu, jalanan menanjak menuju pegunungan. Dua puluh menit kemudian barulah dia tiba dikebun itu. Keringat bercucuran diwajah dan tubuhnya. Walaupun hanya dua puluh menit berjalan, namun ternyata cukup menguras tenaganya. Setelah beristirahat sebentar mulailah dia memperhatikan kebun itu yang penuh dengan rumput yang tinggi dan semak belukar yang hampir menutupi permukaan kebun. Perasaannya mendadak lunglai. Rasanya dia tak akan sanggup membersihkan kebun itu seorang diri. Namun bila dia mengajak orang lain membabat rumput dan semak belukar, dia tidak memiliki uang untuk membayar upahnya. Untuk minta pada orangtuanya dia merasa malu karena selama dua minggu kembali kerumah orangtuanya, kebutuhan keluarganya termasuk makan kembali ditanggung orangtuanya. Akhirnya dia mengeluarkan golok dari sarungnya mulai membabat rumput-rumput yang tinggi dan sabit diayunkan membabat ilalang.
Airmatanya meleleh ketika dia baru bekerja separuh. Sungguh berat rasanya bercita-cita menjadi petani. Tenaganya seakan sudah terkuras habis dan pekerjaan yang ada didepan matanya baru sebagian kecil yang baru diselesaikannya. Rumput-rumput yang dibabatnya ditumpuk ditengah kebun. Hanya karena tekad dan ketabahan yang luar biasa yang membuatnya kembali meneruskan pekerjaannya membersihkan kebun.
Tiga hari lamanya dia pulang pergi ke kebun itu dan dihari keempat barulah kebun itu tidak lagi seperti hutan. Hari kelima tubuhnya meriang karena kelelahan bekerja membabi buta membabat rumput. Seluruh tubuhnya terasa pegal dan linu. Tangan kanannya bahkan terasa kaku, pegal dan sulit digerakan. Setelah diolesi param kocok barulah rasa pegal-pegalnya mulai mereda. Tiga hari lamanya dia hanya bisa tidur meringkuk merasakan tubuhnya yang pegal linu, dihari keempat barulah dia merasa sudah pulih kembali. Jadi jumlah hari dia sakit dan pulih sama dengan jumlah hari dia bekerja dikebun. Singkat cerita, dia kembali pergi kekebun. Selama sakit pikirannya tidak lepas dari kebun yang telah dibersihkannya. Apa yang akan ditanamnya disana? Tanaman apa yang bisa lebih cepat menghasilkan uang? sambil berpikir sambil semakin terasa betapa beratnya menjalani kehidupan sebagai petani.
Gambaran ideal dan khayalan-khayalannya yang seakan menggampangkan pekerjaan sebagai petani buyar dengan melihat kenyataan yang ada. Secepat-cepatnya panen dari tanaman apapun yang akan ditanamnya dikebun, tetap akan membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga bisa memetik hasilnya. Sambil berpikir begitu, sambil semakin terasa olehnya bagaimana perjuangan kedua orang tuanya yang sepanjang hidupnya berkecimpung sebagai petani dan membiayai pendidikan keempat anaknya hingga bisa meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi.  Teringat pada ijazah sarjananya, membuat airmatanya kembali meleleh dan merasa malu pada kedua orangtuanya karena dia tidak bisa bekerja dengan mengandalkan ijazah sarjananya yang telah diperoleh dengan susah payah. Namun matanya melihat kebun yang kini sudah bersih dan siap ditanami. Beragam tanaman berseliweran dibenaknya. Hingga akhirnya pilihannya jatuh pada tanaman pisang. Ya, akhirnya dia memutuskan akan bertanam pisang.
"Itu ceritaku dulu, hampir lima tahun lalu." katanya. "Cerita perih diawal merintis menjadi seorang petani."
"Sekarang?" tanyaku.
"Kebun yang pertama kusiangi itu hampir tiap tahun menghasilkan pisang-pisang dengan nilai ekonomis yang baik." sahutnya sambil tersenyum. "Ayahku lalu mempercayakan lagi dua buah kebunnya kepadaku. Tidak jauh dari kebun pertama. Lagi-lagi aku bertanam pisang pada kedua kebun itu. Hasilnya baru terasa sekarang. Menjadi petani pisang dan sudah punya bandar pisang yang sudah biasa memupul pisang yang siap panen membuatku merasa lebih ringan. Aku tidak menyesal kembali kedesa dan mengubur cita-citaku yang dulu untuk bekerja dikota dan mendapatkan gaji besar setiap bulan. Didesa kehidupanku bersahaja, tapi dari hasil bertani aku bisa menghidupi istri dan kedua anakku yang bertambah besar. Aku percaya, rejeki Allah ada dimanapun selama kita masih mau berusaha." 
"Jadi kau sekarang sudah menjadi petani pisang?" tanyaku.
"Ya, aku senang bila ada yang menyebutku petani pisang karena bertanam pisang adalah awal aku bekerja sebagai petani." sahutnya. "Tapi kau tahu sendiri, didesaku ini kebanyakan orang bekerja sebagai petani, yang disebut petani adalah bekerja disawah menanam padi. Jadi, walaupun aku bertanam pisang dan merasa menjadi petani pisang, tetap saja aku petani biasa seperti umumnya penduduk desa. Bertanam pisang hanya sambilan saja setelah selesai bekerja disawah karena bertanam pisang tidak harus bekerja setiap hari dikebun. Berbeda dengan bertani disawah, dimusim tanam padi aku juga pergi kesawah ikut bertanam padi, dimusim panen padi aku juga turun kesawah memanen padi."
Ketika pulang, dia memberi dua sisir pisang raja untuk saya dan teman saya. Hari itu, bertambah lagi belajar dari pengalaman hidup orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar