Jalanan
terlihat lengang. Hujan masih turun gerimis. Udara terasa dingin. Beberapa
orang terlihat lalu lalang dijalanan yang lengang. Toko-toko dipinggir jalan
masih buka. Walaupun hari belum senja namun toko-toko itu telah menyalakan
lampu-lampu didalam toko-toko mereka. Meta melangkah pelan menuju toko roti.
Dia memegang payung. Matanya melihat kesekelilingnya. Kemarin dia melihat
lelaki itu. Lelaki separuh baya yang tengah duduk sendirian di bangku taman.
Saat itu udara cerah. Sekarang rasanya tidak mungkin ada orang yang mau duduk
dibangku taman ditengah cuaca sedingin ini dan hujan tengah turun gerimis.
Toko
roti itu masih buka. Beberapa orang pembeli tengah memilih-milih roti. Meta
masuk. Matanya langsung tertuju pada sepotong roti yang penuh dengan butiran
kismis. Roti yang sangat lezat. Empuk dan harum. Dan roti itu yang kemarin
dibelinya yang membuat mata lelaki tua itu menatap kantong plastik yang
dibawanya. Meta bisa merasakan tatapan lapar dari sepasang mata lelaki tua itu.
Namun kemarin dia tetap melangkah tak peduli. Baru setelah tiba dirumahnya dia
baru menyadari arti tatapan mata lelaki tua itu. Mata itu bercerita banyak
meskipun tak ada sepatah katapun yang terucap dari mulut lelaki itu. Lapar dan
haus. Dan dia tahu bahwa lelaki tua itu pasti bukan pengemis atau gelandangan.
Pakaian yang dikenakannya walaupun bukan pakaian bagus namun tidak selusuh
pakaian pengemis. Dan wajahnya masih terlihat bersih. Tatapan mata lelaki tua
itu pada kantong plastik yang dibawanya yang membuat pikirannya kembali dan
kembali teringat pada lelaki tua itu.
Dia
pasti lapar dan ingin makan, pikir Meta sambil duduk menghadapi secangkir kopi
dan roti yang baru dibelinya. Aku sudah banyak bertemu dengan pengemis dan
gelandangan, rasanya tanganku mudah terulur untuk memberi sekedar sebungkus
nasi. Tapi kenapa pada pandangan lelaki tua itu aku seakan tidak peka?
Kopi
yang diminumnya masih terasa hangat. Pikirannya masih melayang sebentar pada
tatapan lelaki tua itu. Baiklah, besok aku akan kembali ke toko roti itu dan
membeli roti yang sama. Bila aku bertemu dengan lelaki tua itu aku akan
memberikan roti itu padanya. Selepas berpikir begitu dia kembali disibukan
dengan segala rutinitasnya bila tengah berada dirumah mungilnya. Mencuci piring,
membersihkan dapur, menyetrika. Setelah rampung baru mandi dan menikmati waktu
senggangnya, membaca buku dengan televisi yang menyala dihadapannya.
Paginya
dia sudah kembali sibuk dengan kegiatan sehari-harinya. Sore hari sepulang
kantor barulah dia teringat kembali dengan niatnya akan membeli roti dan
berharap akan bertemu dengan lelaki tua yang dilihatnya kemarin. Kini dia sudah
berada didalam toko yang sama dengan yang kemarin. Roti penuh taburan kismis
ternyata sudah habis. Terpaksa dia memilih roti lain. Roti keju, roti pisang,
roti selai nanas, dan beragam roti lain. Akhirnya dia memilih roti pisang dan
roti keju. Keduanya dimasukan kedalam kantong plastik yang sama. Dia keluar
toko, berjalan pelan melintasi taman kota dan berharap melihat lelaki tua yang
dilihatnya kemarin, yang memperhatikannya sejak saat keluar dari toko hingga
melintas dihadapannya. Namun matanya tak menemukan yang dicarinya. Ah, mana
mungkin disaat gerimis begini lelaki itu akan duduk ditempat yang sama seperti
kemarin, pikir Meta.
Dia
berjalan pelan menuju jalan pulang kerumahnya. Ada sedikit perasaan kecewa
karena tak menemukan orang yang dicarinya. Kepalanya tertunduk. Tiba-tiba saja matanya menangkap bayangan
itu. Bayangan laki-laki tua yang kemarin dilihatnya. Tubuh tua itu tengah
berada dipinggir jalan akan menyeberang jalan, menuju tikungan jalan. Ah, akhirnya aku menemukannya, pikir Meta
gembira. Bergegas dia mempercepat langkah kakinya menuju lelaki itu berada.
Lalu lintas begitu ramai. Saatnya orang pulang kerja.
“Pak!
Tunggu!” Teriak Meta sekeras suaranya.
Tak
ada yang mendengarnya. Hujan turun semakin deras. Orang-orang sibuk dengan
urusannya masing-masing. Meta semakin mempercepat langkahnya. Masih cukup jauh
jaraknya dengan lelaki tua itu. Namun matanya bisa mengenali lelaki tua itu
dari jaket lusuh yang dikenakannya.
“Pak!
Tunggu!”
Masih
tak ada yang peduli pada siapa dia berteriak. Meta mencoba berlari diatas
jalanan yang licin. Payung dipegangnya erat-erat. Dilihatnya lelaki itu mulai
menyeberang jalan. Meta berlari semakin cepat. Dia harus mendapatkan lelaki itu
dan menyerahkan roti yang sudah dibelinya. Langkahnya semakin cepat. Matanya
tertuju hanya pada sosok lelaki itu.
Tiba-tiba….
Ciiiittttttt…..
Gubrakkkkk……
“Hai!
Hati-hati! Matamu kau taruh dimana?”
Bentakan
keras lelaki muda itu sudah terlambat untuk menyelamatkannya. Dia tersungkur
disamping got. Lututnya terasa sakit. Sakit sekali. Beberapa orang memburunya.
“Kau
juga mestinya hati-hati mengendarai motormu!” seru seseorang pada lelaki yang
juga tersungkur dari motornya.
Lelaki
itu meringis. “Dia yang salah. Aku sudah kasih klakson tapi dia terus saja
berlari.” Serunya membela diri.
Meta
berusaha duduk. Tapi pikirannya tidak bisa lepas lepas dari sosok lelaki tua
itu. Dia nyaris memekik kegirangan. Lelaki tua itu sudah berada diseberang
jalan.
“Oh
tolong, tolong hentikan bapak tua itu!” serunya setengah meminta. Beberapa
orang yang tengah menolongnya menoleh pada jari telunjuknya yang menunjuk
keseberang jalan.
“Yang
mana?” tanya salah seorang.
“Yang
memakai jaket abu lusuh itu. Oh itu dia, jalannya akan semakin menjauh.
Kejarlah dia. Berikan bungkusan roti ini padanya. Cepatlah. Tolonglah.” Meta
menyerahkan kantong plastik yang ternyata masih dipegangnya dengan erat.
Seorang
penolongnya mengambil kantong plastik itu dan bergegas menyeberang jalan
mengejar lelaki itu dan menyerahkan kantong plastik berisi roti itu padanya.
“Dia
siapamu?” tanya lelaki yang menabraknya yang ikut berjongkok didekatnya.
“Bukan
siapa-siapa.”
“Lantas?
Aku menduga isi kantong plastik itu adalah roti.”
“Ya.”
“Maksudmu
memberikan roti itu pada lelaki tua itu? Hingga kau ceroboh dan cedera seperti
ini?”
“Itu
urusanku.” Sahut Meta. Dia mencoba berdiri. Namun ternyata kakinya terlalu
sakit untuk berdiri dan menopang tubuhnya. Dia terduduk lagi.
Lelaki
yang memberikan kantong plastik telah kembali lagi. “Orang itu mengucapkan
terima kasih. Orang itu adalah pengemis. Kenapa kau mengejarnya?”
“Aku
hanya ingin memberikan roti itu.”
“Astaga,
baik hatinya dirimu.” Kata lelaki itu sambil tertawa diikuti oleh beberapa
orang yang ada didekatnya. Meta merasa malu. Dia ingin segera pergi dari tempat
itu. Namun kakinya terlalu sakit.
“Aku
antar kamu ke puskesmas. Juga antar kamu pulang.” Kata lelaki yang menabraknya.
Meta
tak bisa menolak karena hanya lelaki itu saja yang menawarkan bantuan sekaligus
yang telah menabraknya. Sepanjang jalan dia hanya diam saja. Di puskesmas
perawat memeriksa lukanya. Tidak ada luka serius. Hanya luka lecet saja. Lelaki
itu mengantarnya pulang. Dia menggelengkan kepala mendengar ceritanya.
“Begitu
seriusnya engkau menanggapi tatapan mata lelaki tua itu. Barangkali saja dia
selalu menatap kelaparan pada semua yang lewat yang tengah membawa makanan atau
barangkali saja dia memang sudah biasa bersikap begitu……” kata lelaki itu.
“Mungkin
saja. Tapi aku puas karena aku sudah berhasil memberinya roti…..”
“Walaupun
penuh pengobanan hingga sampai tertabrak motor…..”
Meta
menarik napas dalam. Tak ada orang yang tahu apa yang selalu bergalau dalam
batinnya. Sepanjang hidupnya dia selalu dimanja oleh kedua orangtua,
saudara-saudara dan seluruh keluarganya. Hidup terasa penuh dengan
kemanjaan-kemanjaan bahkan penuh kemudahan-kemudahan. Apapun yang diinginkan
selalu dipenuhi. Namun ternyata hidup dalam perjalanannya kemudian memberinya
banyak pelajaran. Setelah ayahnya meninggal, setelah dia terpaksa hidup di kota
besar dan berpisah dengan ibunya yang tinggal dikota kecil kelahirannya, dia
banyak belajar. Ternyata dia selama ini hidup begitu egois, tak peduli, dan
selalu ingin menang sendiri. Sepanjang hidupnya dia selalu mementingkan dirinya
sendiri. Dia tak pernah peduli pada orang lain.
Di
kota dia hidup sendiri dan mandiri. Banyak sakit hati yang dirasakannya. Banyak
ujian-ujian kehidupan yang kemudian menempanya menjadi wanita yang dewasa.
Perjuangan hidupnya dikota telah menempa dirinya. Dia mulai belajar
memperhatikan sekelilingnya. Belajar mengasihi orang lain. Belajar menahan
diri. Belajar menepiskan segala egonya. Banyak belajar dari kehidupan
disekelilingnya. Dan dia selalu mulai belajar dari hal-hal kecil. Tatapan mata
lelaki tua itu terlalu sepele untuk diperhatikan. Namun dia belajar empati.
Apakah tindakannya ini bodoh? Seandainya dinilai bodohpun dia tak akan pernah
peduli. Karena dia sudah mengikuti apa yang menjadi kata hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar