Hujan Angin.
Pondok petani itu terletak ditengah-tengah ladang yang
luas. Pondok yang terbuat dari kayu dan
tidak terlalu besar namun kelihatan sangat bersih dan rapi. Penghuninya adalah
tiga orang gadis bersaudara. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal dunia
dan meninggalkan warisan berupa pondok kayu, sawah dan ladang. Irin, Mimi dan Tina
meneruskan pekerjaan kedua orangtua mereka menjadi petani. Sawah ladang peninggalan orang tua mereka digarap dengan
baik dan menghasilkan padi serta beragam tanaman palawija yang hasilnya mereka
jual ke pasar. Irin, kakak tertua mereka menjadi pengganti orangtua mereka.
Setiap hari dia yang bangun paling pagi dan bertanggung jawab dengan semua
pekerjaan dirumah dan di ladang. Mimi dan Tina sangat patuh pada kakak tertua
mereka dan menganggap Irin sebagai pengganti kedua orangtua mereka.
Pagi itu Irin bangun lebih dulu dari kedua adiknya. Kamar
tidur Irin terletak diruangan bawah, bekas kamar kedua orangtua mereka.
Sementara Mimi dan Tina tidur di loteng. Irin menyalakan tungku dan menjerang
air. Dia mengambil beras, mencucinya dan mulai menanak nasi. Mimi dan Tina yang
mendengar kesibukan didapur terbangun dari tidurnya.
“Ah, enak sekali tidurku. Badanku yang pegal-pegal kini
rasanya segar kembali.” Kata Mimi sambil menyibakan selimut yang menutupi
tubuhnya. Rasanya malas bangun meninggalkan kasur yang hangat. Namun dia ingat
dengan tugasnya. Hari ini mereka akan memulai menggarap sawah lagi. Musim hujan
telah tiba dan sawah-sawah sudah diairi air lagi. Saatnya musim tanam bagi
semua petani.
Tina menguap pelan. Dia mendengarkan kesibukan dibawah,
didapur. Sama seperti Mimi, dia pun rasanya malah bangun. Namun dia tak mungkin
membiarkan Irin bekerja sendirian. “Ah, kak Irin sudah bangun. Kasihan dia
sibuk sendiri.” Kata Tina sambil menyibakan selimutnya. Dia menuruni tangga
kayu. Didapur dilihatnya Irin tengah menyiapkan bahan makanan yang akan
dimasaknya dan dibawa mereka ke sawah.
“Semalam hujan deras sekali, rasanya aku khawatir hujan angin semalam akan merobohkan pondok
kita.” Kata Tina.
“Ya, aku pun mendengarkan dengan penuh kekhawatiran. Untunglah
tidak kudengar ada kejadian apa-apa.” Sahut Irin. Dia menyiapkan piring dan
cangkir kaleng yang biasa dibawa ke sawah.
Tina mencuci mukanya dijamban dibelakang dapur. Ketika
masuk kembali kedapur Mimi tengah sibuk membantu Irin menyiapkan bekal buat
mereka ke sawah. Sementara Irin tengah membuka jendela-jendela dan menyapu
ruangan. Tak lama kemudian terdengar
suara adzan subuh. Ketiga gadis itu bergantian mandi dan shalat subuh. Tak lama
semua pekerjaan didalam rumah sudah selesai. Mereka sarapan bersama. Walaupun
diruangan tengah ada meja kecil yang bisa dipakai untuk makan, namun setiap
sarapan pagi sebelum berangkat kesawah, mereka lebih suka makan didapur
beralaskan tikar sambil menikmati kehangatan api dari dalam tungku. Setelah
selesai makan, sisa api bekas memasak dari dalam tungku akan segera dimatikan. Bekal
makanan yang akan mereka bawa pun sudah siap, diletakan dalam bakul
masing-masing.
Hari masih pagi ketika ketiga gadis itu berangkat ke
sawah. Udara terasa dingin, Tina mengenakan syalnya walaupun dia tahu bila
telah bekerja disawah tubuhnya akan berkeringat dan syal itu tak akan digunakan
lagi. Ketiga gadis itu berjalan cepat menuju sawah tanpa banyak bicara. Dijalan
mereka berpapasan dengan beberapa orang petani yang juga akan pergi ke sawah.
Tiba disawah, masing-masing sudah tahu apa yang harus
mereka kerjakan. Irin dan Mimi segera bersiap akan membajak sawah. Irin
mengeluarkan bajak yang ada dalam saung mereka. Sementara Mimi mengeluarkan
kerbau yang ditambat dalam kandang di saung mereka. Tina memeriksa aliran air
dari sungai kecil yang mengairi sawah mereka. Matahari mulai menampakan diri
dan ketiga gadis itu bergantian membajak sawah dengan kerbau mereka. Ketika
Irin duduk diatas kerbau, Mimi yang membantu ketika kerbau itu akan berbalik
arah. Sementara Tina memacul bagian-bagian tanah disudut-sudut sawah yang tidak
terbajak oleh kerbau. Mereka bekerja bergantian. Setelah Irin yang menaiki
kerbau, lalu diganti oleh Mimi yang menaiki kerbau dan Tina yang membantu
membelokan bajak saat kerbau akan berputar aluan. Sementara Irin menggantikan
Tina memacul bagian-bagian sawah yang tidak terbajak. Makin lama matahari
bersinar makin panas dan terik. Sesekali ketiga gadis itu berhenti, minum dan
makan makanan kecil sambil menunggu saat makan tiba. Akhirnya saat makan pun
tiba. Ketiga tubuh gadis itu sudah bermandi keringat. Wajah mereka merah karena
panas.
“Kita makan dulu!” Irin memanggil kedua adiknya yang
masih bekerja disawah. Irin sudah mencuci tangan dan kakinya yang kotor
berlumpur pada air pancuran disamping saung. Dia mengeluarkan semua bekal
makanan dan menaruhnya diatas amben bilik.
Mimi dan Tina menghentikan pekerjaan mereka. Keduanya
mencuci tangan dan kaki mereka yang kotor berlumpur pada air pancuran.
“Udaranya cukup panas, tapi nanti siang pasti akan hujan
lagi.” Kata Tina. Dia membuka tudungnya dan mengaitkannya pada kayu tiang
saung.
“Langit sebentar lagi mendung. Kita harus bergegas
menyelesaikan pekerjaan. Setelah itu kita pulang.” Kata Mimi.
Mereka duduk bertiga menikmati makanan yang sederhana
namun terasa nikmat karena tubuh yang lelah sehabis bekerja keras dan perut
yang lapar.
Malam itu hujan turun denga derasnya. Ketiga gadis itu
tengah berkumpul diruangan tengah, duduk pada kursi mengelilingi meja. Irin
tengah merajut sebuah taplak meja. Mimi menyelesaikan membuat baju. Sementara
Tina tengah menikmati kue kacang yang dibuatnya minggu lalu.
“Aku ingin punya mesin jahit.” Kata Mimi. “Bila menjahit
pakaian dengan mesin jahit pastinya hasilnya lebih bagus dan lebih rapih.”
“Ya, aku pun sudah lama ingin membeli mesin jahit, namun
keuangan kita belum cukup. Tunggu saja sampai kita punya cukup uang untuk
membeli mesin jahit.” Kata Irin.
“Diujung desa ada seorang penjahit. Jahitannya bagus.
Tapi ongkosnya mahal.” Tina menimpali. “Aku pernah melihat Nani, bekas teman
sekolahku dulu menjahit baju disana.”
Mendengar kata sekolah, mendadak wajah Irin terlihat
murung. Tina melihat perubahan wajah pada kakaknya itu. Dia menyesal telah
menyinggung masalah sekolah. Dia tahu Irin sangat ingin meneruskan sekolah. Dia
ingin menjadi guru. Namun ketiadaan biaya membuat Irin memendam cita-citanya
itu. Bukan hanya Irin, namun kedua adiknya pun sama tidak bisa meneruskan
sekolah lagi.
Mimi mendesah. “Nani sekarang bersekolah dimana?” tanya
Mimi.
“Aku tidak tahu. Tapi pernah kudengar katanya dia sekolah
perawat.” Sahut Tina.
“Nani dan yang lainnya beruntung, mereka bisa meneruskan
sekolah.” Ucap Irin. Dia mengangkat wajahnya dari rajutan yang tengah
dikerjakannya. Wajahnya yang tadi sekilas terlihat murung, kini sudah biasa
lagi. “Tiap orang punya nasibnya masing-masing. Kita bertiga nasibnya menjadi
petani.”
“Aku tidak menyesali nasibku menjadi petani.” Kata Mimi.
“Dulu aku memang punya keinginan juga ingin meneruskan sekolah. Aku ingin menjadi
seorang bidan. Namun ternyata nasib menentukan aku harus menjadi petani. Aku
tidak menyesal. Menjadi petani adalah juga pekerjaan. Aku menikmati pekerjaan
menjadi seorang petani. Dengan bertani aku juga belajar banyak.”
“Aku pun tidak menyesali nasib menjadi petani.” Ucap
Irin. “Hanya kadang, suka terlintas perasaan kecewa bila ingat dengan cita-cita
dimasa kecilku dulu aku sangat ingin menjadi guru. Sayang aku hanya sempat
sekolah sampai sekolah dasar saja.”
“Bukankah aku dan Mimi juga hanya tamatan sekolah dasar?”
sahut Tina. “Aku tidak ingin memberatkan bapa dan ema. Jadi aku cukup puas
walaupun hanya tamat sekolah dasar.”
“Ya, intinya kita tak ingin memberatkan bapa dan ema.
Kehidupan sebagai petani tidak mudah. Hasil yang diperoleh tidak cukup untuk
menyekolahkan kita bertiga.” Ucap Irin.
Irin meletakan rajutannya. Matanya sudah lelah. Mimi
mengikuti, dia menyimpan baju yang dijahitnya kedalam kantong dan menaruhnya
disudut meja. Besok dia akan melanjutkan kembal menjahit bajunya.
“Perutku lapar, aku akan memanggang pisang.” Kata Mimi
sambil bangkit.
“Ya, enak sekali makan pisang panggang dicuaca sedingin
ini.” Kata Irin setuju. Dia mengikuti adiknya kedapur dan ikut memilihkan
pisang yang akan dipanggang diatas tungku. Tak lama harum pisang panggang
mengisi rumah. Tina yang sedang berada dikamarnya bergegas turun dan bergabung
dengan kedua kakaknya menikmati pisang panggang. Mereka tengah asyik menikmati
pisang panggang ketika tiba-tiba terdengar bunyi berderak yang sangat keras
diluar rumah. Ketiganya belum sempat berpikir apa yang tengah terjadi ketika
tiba-tiba terdengar suara keras menimpa loteng.
“Apa itu?” Mimi menjerit kaget. Ketiganya serentak
keruang tengah dan melihat loteng telah ambruk tertimpa pohon.
“Sudah berkali-kali aku ingin menebang pohon itu.” Kata
Irin dengan suara lemas. “Ini akibatnya. Pohon itu sudah sangat tua sekali.”
Mimi mengambil payung dan bergegas keluar diikuti Irin
dan Tina. Mereka melihat pohon besar itu telah tumbang. Dahan dan rantingnya
menimpa atap dan loteng pondok mereka. Udara malam sangat dingin, namun tubuh
ketiga gadis itu berkeringat karena terkejut dengan kejadian yang mengejutkan
itu.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Tina. Suaranya
serak. Dia teringat pada ayah dan ibunya.
“Tak ada yang bisa kita lakukan malam ini.” Kata Irin.
“Kita harus menunggu besok dan meminta bantuan orang untuk menyingkirkan batang
pohong itu dan memperbaiki loteng.”
Ketiganya masuk kembali kedalam rumah. Mimi melihat kamar
tidurnya telah rusak dan sampah-sampah daun yang masuk dari atap yang hancur
berserakan didalam kamarnya. Mimi ingin menangis, namun dia menguatkan
perasaannya.
“Siapa yang akan kita minta bantuan untuk menyingkirkan
dahan pohon dan memperbaiki loteng ini?” tanya Mimi.
“Kita minta bantuan Pak Danis. Mudah-mudahan dia tidak
sedang bekerja ditempat lain.” Kata Irin.
“Kalau begitu, sekarang saja aku akan pergi kerumah pak
Danis.” Ucap Mimi.
“Aku ikut.” Kata Tina.
Mimi dan Tina pergi kerumah pak Danis. Pak Danis seorang
tukang kayu yang biasa dimintai pertolongan memperbaiki rumah. Sementara kedua
adiknya pergi kerumah Pak Danis, Irin mengambil sapu dan membersihkan ruangan
tengah yang dipenuhi debu dan kotoran yang turun dari loteng.
Tak lama Mimi dan Tina sudah kembali.
“Besok pak Danis akan kemari.” Kata Tina sambil menutup
payung.
“Untunglah pak Danis sedang tida bekerja ditempat lain,
jadi besok dia punya banyak waktu memperbaiki rumah kita.” Kata Mimi.
Malam itu tak seorangpun yang bisa tidur. Mimi dan Tina
tidur dikamar Irin. Mereka bertiga memejamkan mata namun tak seorangpun yang
bisa tidur dengan nyenyak. Ketika malam lewat dan subuh tiba, ketiganya
langsung bangun dan pergi ke dapur. Mereka tidak menyiapkan bekal buat ke
sawah. Hari ini mereka tidak akan pergi ke sawah. Mereka akan melihat kerusakan
yang akan diperbaiki oleh pak Danis. Irin menanak nasi sementara Mimi dan Tina
menyiapkan lauk pauknya. Mimi memasak sayur lodeh dan Tina memanggang ikan
asin. Selesai memasak, ketiganya keluar rumah. Hari mulai terang dan mereka
bisa melihat dengan jelas pohon yang tumbang yang menimpa loteng rumah mereka.
“Kerusakannya sangat parah sekali.” Kata Irin. “Tak
mungkin selesai sehari. Kalian lihat, atap rumah nyaris roboh semuanya tertimpa
pohon itu.”
Mimi termenung menatap atap rumah yang hancur.
“Kita tunggu pak Danis. Mudah-mudahan biayanya tidak
mahal.” Ucap Tina.
Pak Danis datang pagi-pagi sekali. Pak Danis teman ayah
mereka. Dia sangat baik dan perhatian kepada ketiga gadis itu.
“Oh, atapnya hancur.” Kata pak Danis. Dia meraba-raba
pohon yang tumbang itu. “Tapi kayu pohon ini bisa digunakan untuk memperbaiki
rumah kalian.”
“Oh begitukah, pak
Danis?” tanya Irin.
“Ya, kalian tidak usah khawatir. Kayu pohon ini bisa
digunakan untuk rumah kalian.” Kata pak Danis. “Aku akan kembali lagi segera
dengan membawa seorang pegawai dan mulai bekerja.”
“Terima kasih, pak Danis.” Kata ketiga gadis itu
serempak.
Hari itu ketiga gadis itu tidak pergi kemana-mana. Mereka
membersihkan sekeliling rumah yang penuh dengan daun-daun yang berserakan dari
pohon itu sambil melihat pak Danis dan seorang pegawainya bekerja. Seminggu
lamanya pak Danis dan pegawainya bekerja memperbaiki atap dan loteng. Tak lama
kemudian pondok kayu itu sudah kembali seperti semula. Atap rumah dibuat lebih
tinggi sehingga rumah terlihat lebih tingg. Bahkan jendela loteng pun dibuatkan
baru dan kelihatan lebih bagus. Jendela dengan dua daun pintu itu membuat
pondok kayu mereka terlihat lebih cantik. Mimi dan Tina sangat gembira melihat
kamar mereka sudah selesai diperbaiki bahkan kini lebih bagus. Irin memberi
upah buat pak Danil dan pegawainya. Sementara sisa kayu yang masih bisa
digunakan dibawa pulang oleh pak Danil.
Sore itu Irin, Mimi dan Tina tengah berada didapur dan
baru bisa bernafas lega setelah pondok mereka selesai diperbaiki.
“Rasanya lega sekali setelah pondok ini selesai
diperbaiki.” Kata Tina.
“Ya, aku pun merasa lega. Aku sudah ingin tidur lagi
dikamarku di loteng.” Sahut Mimi.
Irin menatap kedua adiknya. “Bagaimana kalo kita sekarang
membuat roti? Aku pernah membaca sebuah resep membuat roti.”
“Asyik. Kita masih punya waktu sebelum besok kembali lagi
ke sawah.” Sambut Mimi gembira.
Irin mengeluarkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk
membuat roti. Tepung, telur, mentega dan segala macam bahan lainnya. Ini kali
pertama mereka akan membuat roti. Berkali-kali Mimi membaca catatan resep roti
hingga catatan itu lusuh kena tangan yang kotor. Ketika roti itu keluar dari
pemanggangan, ketiga gadis itu bersorak gembira. Roti buatan mereka mengembang
sempurna.
“Ah, rasanya tak percaya, roti buatan kita mengembang dan
cantik sekali.” Seru Irin gembira.
“Rasanya pasti lembut sekali.” Kata Mimi dengan wajah
berseri.
“Aku masih menyimpan selai nanas. Kita akan menikmati
roti dengan diolesi selai nanas.” Kata
Tina.
“Nanti malam kita akan menikmati roti ini bersama-sama.”
Irin tersenyum pada kedua adiknya. Sekecil apapun kegembiraan yang mereka
peroleh, mereka selalu bersyukur karena mereka masih diberi kegembiraan.
Malam itu hujan turun dengan derasnya. Guruh bergemuruh
dengan keras. Halilintar sesekali menyambar memecah langit. Irin dan kedua
adiknya duduk mengelilingi meja. Tina mengambil selai nanas dari dalam lemari.
Irin mengiris roti sementara Tina mengolesinya dengan selai nanas.
“Hem, enak sekali.” Ucap Mimi ketika menikmati seiris
roti dengan selai nanas.
“Menurutku roti ini masih keras. Aku nanti ingin mencoba
lagi membuat roti dan hasilnya lebih lembut dari roti ini.” Kata Irin.
“Ya, hasilnya masih belum begitu lembut, namun ini sudah
cukup bagus. Dan rasanya enak sekali.” Ucap Tina.
“Lain kali kita mencoba membuat selai lain, selama ini
kita hanya membuat selai nanas karena kita punya nanas di kebun.” Mimi mengambil
lagi seiris roti karena irisan yang pertama sudah habis.
“Aku akan menyisihkan kacang bila panen nanti dan kita
buat selai kacang.” Usul Irin.
“Selai kacang? Pastinya enak sekali diolesan pada roti.”
Mimi setuju.
Malam itu mereka bisa tidur dengan nyenyak dikamar
masing-masing setelah selama seminggu lamanya mereka nyaris hampir tiap malam
tidak bisa tidur nyeyak. Esok pagi mereka sudah harus bangun pagi-pagi sekali
seperti biasanya. Mereka akan kembali pergi ke sawah karena sawah sudah
menunggu mereka untuk kembali digarap. Setelah selesai dibajak, sawah akan
segera ditanami padi.
---
0 ---
Pasar Tani.
Mimi baru pulang melihat sawah, masuk ke dapur dia memberitahu
Irin berita yang didengarnya dari Pak Danis.
“Sekarang diselenggarakan Pasar Tani setiap hari sabtu
dan minggu dilapangan dekat alun-alun.” Kata Mimi.
“Apa itu Pasar Tani?” tanya Irin yang tengah
menyelesaikan rajutannya sambil duduk pada selembar tikar di dapur.
“Mulanya adalah petani dari desa sebelah,” cerita Mimi
menceritakan kembali apa yang didengarnya dari pak Danis. “Dia membawa mobil
pick-up-nya dan berjualan didalam mobilnya dilapangan itu. Yang dijualnya
adalah hasil-hasil pertanian yang dia hasilkan sendiri juga hasil-hasil
pertanian yang dititipkan temannya. Ternyata petani itu berhasil berjualan
disana. Banyak pembeli yang datang dan belanja padanya. Sejak itu, banyak
petani lain yang menggelar dagangannya disana. Mereka berjualan tidak hanya
dengan menggunakan mobil tapi juga membuat stan dan tenda-tenda untuk menggelar
dagangan.”
“Apakah hanya hasil pertanian saja yang dijual disana?”
tanya Tina.
“Tentu saja tidak, bukan hanya hasil pertanian tapi juga
beragam macam jualan digelar disana. Banyak stan yang menjual makanan dan
minuman. Ada juga yang berjualan baju sepatu dan beragam peralatan dan
perabotan rumah tangga. Peralatan pertanian juga ada disana.”
“Pastinya ramai sekali.” Kata Irin tertarik. Dia menatap
Mimi. “Kenapa kita juga tidak ikut berjualan disana? Apakah dikenakan biaya
bila akan berjualan disana?”
“Kata Pak Danis, pedagang tidak dikenakan biaya apapun
bila ingin ikut berjualan disana. Tinggal memilih tempat saja disekitar
lapangan itu.”
“Rasanya menarik sekali, kenapa kita tidak mencoba
menjual hasil pertanian kita disana?” ucap Tina.
“Apa yang akan kita jual disana?” tanya Irin sambil
berpikir.
“Mengapa kita tidak menjual hasil panen kita, beras yang
kita bungkus dalam kemasan yang sudah tertentu, minimal isi tiga kilo sampai 5
kilo.” Ucap Tina.
“Kita harus menggiling dulu padi kita.” Kata Irin.
“Dan membeli plastik untuk membungkusnya.” Sahut Mimi.
“Kita punya timbangan yang bisa kita gunakan untuk menimbang setiap bungkus
beras.”
“Kita lihat apa saja yang kita miliki di gudang di
samping dapur dan membawanya kesana sekali. Pisang yang sudah matang, atau
persediaan kacang kedelai yang bisa kita kemas dalam bungkusan-bungkusan
kecil.” Usul Tina.
“Kita harus mengecek harga pasar. Jangan sampai harga
dari kita lebih tinggi dari harga pasar.” Kata Irin.
Sehari itu mendadak ketiga gadis itu terlihat sibuk. Irin
dan Tina melihat dan memeriksa isi gudang tempat mereka menyimpan makanan.
Sementara Mimi keluar rumah kerumah bu Titi tetangga mereka untuk menanyakan
harga-harga. Tak lama Mimi sudah
kembali. Ternyata Bu Titi sudah sejak sebulan lalu ikut menggelar dagangan
dilapangan itu.
“Aku sudah mencatat harga-harga dari bu Titi. Harga-harga
ini masih bisa berubah lagi.” Kata Mimi sambil memperlihatkan catatan kecil pada
selembar kertas.
“Apa yang dijual bu Titi di pasar tani?” tanya Irin.
“Bu Titi menjual cabe, bawang merah, bawang putih,
lengkuas, jahe, kunir dan lain-lainnya.” Sahut Mimi.
“Jangan sampai yang kita jual sama dengan yang lainnya.”
Kata Tina.
“Tidak apa-apa kita menjual jualan yang sama karena
pastinya pembelinya juga berbeda-beda.” Ucap Irin. Dia mendongak pada dinding
yang terpasang papan-papan kayu. Ada beberapa barang yang disimpan disana. Dia
naik keatas tangga dan menurunkan beberapa wadah dari bambu dan keranjang. “Ini
bisa kita pakai untuk tempat jualan kita. Tinggal dibersihkan dulu.”
Tina yang berdiri dibawah menerima barang-barang yang
diturunkan Irin.
“Semuanya masih bagus dan masih bisa kita gunakan.” Kata
Mimi.
Tina mencuci bersih wadah-wadah itu dan menjemurnya
hingga kering. Irin mengumpulkan pisang yang masih berada dalam tandannya,
membuka karung yang berisi kacang kedelai dan kacang hijau. Mimi mengeluarkan
timbangan dan plastik. Dia mencoba mengisi sebuah plastik dengan kacang hijau
dan menimbangnya.
“Ini seperempat kilo.” Mimi menunjukan plastik berisi
kacang hijau pada Irin.
Irin mengangguk. “Ya, cukup seperempatan kilo saja.” Kata
Irin.
Mereka memiliki persediaan kacang hijau dan kacang
kedelai yang cukup banyak. Setelah menimbang dan membungkusnya dengan plastik,
Mimi dan Irin menyisakan kacang hijau dan kedelai untuk persediaan mereka
sendiri. Sore itu mereka bernafas lega
karena pekerjaan mereka sudah selesai. Lusa mereka akan ikut berjualan untuk
pertamakalinya.
Pagi-pagi sekali sebuah kereta yang ditarik kuda sudah
datang ke pondok mereka. Kemarin Mimi pergi ke pangkalan keretek dan memesan
keretek agar datang pagi-pagi ke pondok mereka. Ketika keretek itu sudah
datang, mereka segera mengangkut apa yang akan mereka jual kedalam keretek.
Juga papan-papan kayu yang akan mereka setel nanti menjadi sebuah meja kecil
tempat menyimpan jualan. Segera saja keretek itu sudah penuh dengan barang.
Kuda itu menarik mereka dengan langkah cepat.
Tiba dilapangan, ternyata sudah banyak pedagang yang
menggelar jualan mereka disana. Irin, Mimi dan Tina mencari-cari tempat yang
tepat untuk menggelar jualan. Masih banyak tempat yang tersisa. Mereka memilih
berjualan dibawah sebuah pohon rindang. Mereka dengan dibantu kusir menurunkan
barang-barang mereka. Tina dan Mimi segera memasang papan-papan kayu menjadi
sebuah meja kecil. Lalu diatas papan-papan kayu itu dipasang tenda kecil
sehingga meja tempat jualan itu terlihat lebih menarik. Sementara Irin mengisi
wadah-wadah dengan jualan, kacang hijau, kacang kedelai, pisang dan beras yang
sudah dibungkus dengan plastik. Mereka masih sibuk berbenah ketika seorang
pembeli menghampiri mereka.
“Berapa harga beras ini?” tanya ibu itu.
Irin bergegas bangkit melayani pembeli mereka. Dia
menyebutkan harganya per kilo. Ibu itu mengambil sebungkus beras berisi tiga
kilo dan sebungkus kacang hijau.
Bukan main gembiranya perasaan mereka bertiga. Mereka
sudah mendapatkan pembeli pertama.
Makin siang pembeli semakin banyak berdatangan memenuhi
lapangan itu. Dagangan mereka semakin banyak yang terjual. Siang hari, hanya
tersisa sedikit saja jualan mereka yang akan mereka bawa pulang. Irin, Mimi dan
Tina membereskan dagangan mereka. Pedagang lainpun sudah mulai
memberes-bereskan jualan mereka.
“Aku senang berjualan disini.” Kata Tina sambil mengemasi
sisa jualan mereka dan memasukannya kedalam karung. “Kita mendapatkan suasana
baru, suasana yang berbeda dengan keseharian kita sebagai seorang petani.”
“Ya, disini kita bertemu dengan banyak kenalan yang juga
seorang petani.” Sahut Mimi setuju. “Kita bisa berkenalan dan membicarakan
banyak hal menarik seputar masalah pertanian.”
“Aku tadi sempat mengobrol dengan pak Andri. Dia sudah
lebih dua bulan berjualan disini setiap hari sabtu dan minggu. Pak Andri banyak
memberikan informasi-informasi mengenai pertanian. Dia juga menjadi ketua
kelompok tani di desanya.” Kata Irin.
“Oh, Pak Andri yang tadi memperlihatkan foto-foto mesin
traktor?” tanya Mimi.
“Ya, dia sudah sejak jaman kakeknya dulu sudah menggunakan
traktor untuk menggarap sawahnya. Dan pekerjaanya lebih cepat selesai dan
hasilnya juga lebih bagus.” Sahut Irin.
“Kita memang ketinggalan jaman.” Kata Tina. Dia sudah
selesai mengemasi barang-barang. “Tapi petani dengan cara tradisional seperti
kita juga masih banyak.”
“Kita bisa banyak belajar pada Pak Andri mengenai masalah
pertanian.” Kata Irin. Dia melihat keretek yang tadi pagi mereka sewa sudah
berada dipinggir lapangan. “Ayo kita kesana mengangkuti barang-barang kita. Aku
sudah ingin segera pulang kerumah dan beristirahat.”
“Kita tak perlu memasak untuk makan nanti malam, aku
membeli beberapa macam masakan dari tenda sebelah tadi.” Kata Mimi.
Keretek yang membawa mereka pulang rasanya berjalan
lambat sekali. Ketiga gadis itu terkantuk-kantuk dalam keretek. Kuda berderap
cepat menuju kampung mereka. Kusir mengendalikan kuda dengan baik. Dia senang
karena sekarang punya langganan baru setiap hari sabtu dan minggu.
Akhirnya mereka tiba juga dirumah setelah hari sore.
Kusir membantu menurunkan barang-barang mereka. Mimi membayar ongkos keretek.
Ketiganya masuk dengan perasaan lelah namun puas. Hari ini mereka punya
pengalaman baru berjualan langsung dengan apa yang selama ini mereka tanam.
Malam itu kesegaran mereka sudah pulih kembali. Setelah
mandi dan makan, rasanya tubuh mereka segar kembali. Mimi mengeluarkan
dompetnya dan menghitung uang yang mereka peroleh hari itu. Irin mencatat
pengeluaran untuk ongkos dan biaya lainnya.
“Kita masih mendapatkan untung.” Irin tersenyum
memperlihatkan catatannya. “Bila jualan kita lebih banyak, pastinya akan lebih
banyak juga keuntungan yang kita dapatkan.”
“Untuk kali ini aku merasa puas. Walaupun untung kita
sangat sedikit tapi kita sudah mencoba berjualan langsung apa yang kita tanam.”
Kata Mimi. Dia menyimpan buku catatannya baik-baik.
“Aku tadi sempat jalan-jalan pada stan pedagang lain. Aku
melihat ada yang berjualan rajutan. Aku mendadak ingat pada rajutan-rajutan
yang selama ini kubuat dan kukumpulkan, kenapa aku tidak sekalian saja sambil
berjualan rajutan juga.” Kata Irin.
“Itu bagus. Aku juga tadi melihat ada yang berjualan
kantong belanja yang terbuat dari kain dan dihiasi dengan hiasan dari kain lain
sehingga jadi kain belanja yang menarik. Aku juga rasanya bisa membuat kantong
belanja seperti itu.” Ucap Mimi.
“Kenapa kau tidak mencoba membuatnya, Mi? Aku melihat
hasil jahitanmu sangat rapi dan bagus. Nanti kita sisihkan uang untuk membeli
kain dan kau bisa mencoba membuat kantong-kantong belanja dan sekalian dijual.”
Ucap Irin.
“Artinya kita nanti punya dua meja yang berbeda. Meja
yang satu untuk hasil pertanian dan meja satunya lagi untuk tempat rajutan dan
kantong.” Kata Tina.
“Itu bisa diatur. Aku akan mengaturnya nanti, bagaimana
menempatkan rajutan dan kantong-kantong itu pada wadah-wadah sehingga tidak
akan memakan banyak tempat.” Ucap Mimi.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar