Selasa, 04 Februari 2025

Bila tak kuat, jangan menjadi petani.

 


Menjadi petani itu berat.... tapi harus tetap bertahan untuk menjaga kelangsungan....

Seingatku, sepanjang ingatanku, rasanya sawah bukan hal yang asing bagiku. Melihat hamparan sawah dengan padi yang mulai tumbuh, atau saat padi telah menghijau menyejukan mata, atau saat padi telah menguning menunggu saat panen tiba, rasanya pemandangan itu telah lama kunikmati. Rasanya aku sudah sangat akrab sekali dengan sawah dan pemandangannya. Melihat petani bekerja disawah, menanam padi, tandur, atau panen pemandangan yang biasa kulihat sejak kecil. Bahkan saat masih kecil, saat petani belum banyak yang menggunakan traktor untuk membajak sawah, aku sudah biasa melihat Aki, kakekku, bekerja menggarap sawah dengan menggunakan dua ekor lembu untuk membajak sawah.

Hari-hariku dari kecil adalah sekolah dan belajar (walaupun nilai-nilai sekolahku tak pernah memuaskan, asal cukup saja), namun disaat liburan sekolah, bila pulang ke kampung orangtuaku (kebetulan ayah dan ibuku berasal dari kampung yang sama), sawah menjadi salah satu tujuanku bermain disaat liburan.

Saat itu, aku melihat bekerja sebagai petani biasa-biasa saja. Artinya aku menganggap mereka, yang bekerja sebagai petani, bekerja bagaimana layaknya orang yang bekerja seperti pekerjaan-pekerjaan lain seperti berdagang, pegawai kantoran, atau beragam pekerjaan lainnya. Aku melihat mereka petani, termasuk Aki dan Nini, kakek dan nenek dari ayah dan ibu, bekerja keras menggarap sawah. Dan saat panen tiba mendapatkan hasil yang menggembirakan dari hasil penjualan panen padi. Itu kenangan yang kulihat dimasa kecilku bertahun-tahun lamanya.

Bertahun-tahun kemudian saat aku sudah menyelesaikan pendidikan dan sudah bekerja dikantoran, beberapa petak sawah yang dulu dimasa kecilku menjadi tempat bermainku, kini berpindah tangan menjadi  milikku, artinya beberapa petak sawah itu diwariskan menjadi bagianku. Dan saat itulah baru aku menyadari ternyata menjadi petani itu berat dan tidak muda.

Sawah yang menjadi bagianku tetap dikerjakan oleh berapa orang buruh tani yang sudah dari dulu menggarap sawah peninggalan Aki dan Nini. Sistemnya bagi hasil. Aku mendapat bagian sepertiganya (bila tidak salah) dari hasil panen setelah dipotong oleh pupuk, biaya buruh, biaya pemeliharaan dan lain sebagainya. Dan pastinya, bagiaku sangat kecil bila dibandingkan dengan hasil panen yang diperoleh. Itu patut disyukuri karena tidak selamanya petani bisa menikmati panen padi yang bagus. Itulah sebagian dari lika liku pekerjaan petani. Tak jarang saat padi sudah tumbuh bagus, diserang hama. Padi yang siap dipanen akhirnya hanya tinggal sisa-sisa yang diserang hama. Belum lagi apabila sawahya berada didaerah yang penanamannya mengandalkan curah hujan. Bila hujan tidak turun maka para petani tidak ada yang menanam padi. Bila kemaraunya panjang, maka bisa dipastikan selama setahun itu petani yang berada didaerah itu tidak ada yang menanam padi. Lantas bagaimana dengan sawahnya? Dibiarkan begitu saja hingga tak lama kemudian setelah terlantar karena tidak digarap, seluruh permukaannya akan ditumbuhi rumput-rumput liar. Dan itu akan jadi pekerjaan tambahan bagi  para petani nanti bila musim hujan tiba dan mereka akan memulai lagi mengarap sawah, yang pertama dilakukan adalah menggarap sawah menghabiskan seluruh rumput dan tanaman liar itu.  

Pernah terpikir bahwa suatu saat aku akan menggarap sendiri sawah peninggalan Aki dan Nini itu. Aku juga pasti bisa menjadi petani apabila nanti sudah pensiun dan memiliki waktu penuh untuk menjadi petani. Namun pemikiranku ternyata tak semudah apa yang kulihat dilapangan. Menjadi petani itu tidak mudah. Memulai menjadi petani juga tidak mudah. Butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk bisa mempelajari bagaimana menggarap sawah dan mendapatkan hasil yang baik. Andaipun aku terjun langsung ke sawah, tidak mungkin aku bisa mengerjakannya sendirian. Pasti aku tetap butuh bantuan beberapa orang buruh tani untuk memulai pekerjaan menggarap sawah dari memulai membajak, tandur, pekerjaan-pekerjaan lain, hingga akhirnya masa panen nanti tiba. Sungguh pekerjaan yang berat. Baru membayangkannya pun aku sudah merasa berat apalagi bila menjalankannya langsung. Hingga saat ini, menjadi petani masih dalam bayanganku saja. Aku masih tetap hanya bisa menengok sawah yang masih tetap digarap orang lain. Hanya masih bisa berdiri dipinggir sawah melihat hamparan padi yang menghijau, lalu menguning dan akhirnya menunggu siap untuk dipanen tanpa terlibat secara langsung melalui berbagai tahap penanaman padi.

Mungkin... mungkin suatu saat aku juga akan bisa jadi petani. Terjun secara langsung dengan tangan dan kakiku menggarap sawah.

Tapi itu baru mungkin karena segala sesuatu itu membutuhkan proses yang lama dan panjang....




 

 


Sabtu, 20 Mei 2023

Menjadi petani itu berat.... tapi harus tetap bertahan untuk menjaga kelangsungan....

 




Seingatku, sepanjang ingatanku, rasanya sawah bukan hal yang asing bagiku. Melihat hamparan sawah dengan padi yang mulai tumbuh, atau saat padi telah menghijau menyejukan mata, atau saat padi telah menguning menunggu saat panen tiba, rasanya pemandangan itu telah lama kunikmati. Rasanya aku sudah sangat akrab sekali dengan sawah dan pemandangannya. Melihat petani bekerja disawah, menanam padi, tandur, atau panen pemandangan yang biasa kulihat sejak kecil. Bahkan saat masih kecil, saat petani belum banyak yang menggunakan traktor untuk membajak sawah, aku sudah biasa melihat Aki, kakekku, bekerja menggarap sawah dengan menggunakan dua ekor lembu untuk membajak sawah.

Hari-hariku dari kecil adalah sekolah dan belajar (walaupun nilai-nilai sekolahku tak pernah memuaskan, asal cukup saja), namun disaat liburan sekolah, bila pulang ke kampung orangtuaku (kebetulan ayah dan ibuku berasal dari kampung yang sama), sawah menjadi salah satu tujuanku bermain disaat liburan.

Saat itu, aku melihat bekerja sebagai petani biasa-biasa saja. Artinya aku menganggap mereka, yang bekerja sebagai petani, bekerja bagaimana layaknya orang yang bekerja seperti pekerjaan-pekerjaan lain seperti berdagang, pegawai kantoran, atau beragam pekerjaan lainnya. Aku melihat mereka petani, termasuk Aki dan Nini, kakek dan nenek dari ayah dan ibu, bekerja keras menggarap sawah. Dan saat panen tiba mendapatkan hasil yang menggembirakan dari hasil penjualan panen padi. Itu yang kulihat dimasa kecilku bertahun-tahun lamanya.

Bertahun-tahun kemudian saat aku sudah menyelesaikan pendidikan dan sudah bekerja kantoran, beberapa petak sawah yang dulu dimasa kecilku menjadi tempat bermainku, kini berpindah tangan menjadi  milikku, artinya beberapa petak sawah itu diwariskan menjadi bagianku. Dan saat itulah baru aku menyadari ternyata menjadi petani itu berat dan tidak muda.

Sawah yang menjadi bagianku tetap dikerjakan oleh berapa orang petani yang sudah dari dulu menggarap sawah peninggalan Aki dan Nini. Sistemnya bagi hasil. Aku mendapat bagian setengannya dari hasil panen setelah dipotong oleh pupuk, biaya buruh, biaya pemeliharaan dan lain sebagainya. Dan pastinya, bagiaku sangat kecil bila dibandingkan dengan hasil panen yang diperoleh. Itu patut disyukuri karena tidak selamanya petani bisa menikmati panen padi yang bagus. Itulah sebagian dari lika liku pekerjaan petani. Tak jarang saat padi sudah tumbuh bagus, diserang hama. Padi yang siap dipanen akhirnya hanya tinggal sisa-sisa yang diserang hama. Belum lagi apabila sawahya berada didaerah yang penanamannya mengandalkan curah hujan. Bila hujan tidak turun maka para petani tidak ada yang menanam padi. Bila kemaraunya panjang, maka bisa dipastikan selama setahun itu petani yang berada didaerah itu tidak ada yang menanam padi. Lantas bagaimana dengan sawahnya? Dibiarkan begitu saja hingga tak lama kemudian setelah terlantar karena tidak digarap, seluruh permukaannya akan ditumbuhi rumput-rumput liar. Dan itu akan jadi pekerjaan tambahan bagi  para petani nanti bila musim hujan tiba dan mereka akan memulai lagi mengarap sawah, yang pertama dilakukan adalah menggarap sawah menghabiskan seluruh rumput dan tanaman liar itu.  

Pernah terpikir bahwa suatu saat aku akan menggarap sendiri sawah peninggalan Aki dan Nini itu. Aku juga pasti bisa menjadi petani apabila nanti sudah pensiun dan memiliki waktu penuh untuk menjadi petani. Namun pemikiranku ternyata tak semudah apa yang kulihat dilapangan. Menjadi petani itu tidak mudah. Memulai menjadi petani juga tidak mudah. Butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk bisa mempelajari bagaimana menggarap sawah dan mendapatkan hasil yang baik. Andaipun aku terjun langsung ke sawah, tidak mungkin aku bisa mengerjakannya sendirian. Pasti aku tetap butuh bantuan beberapa orang buruh tani untuk memulai pekerjaan menggarap sawah dari memulai membajak, tandur, pekerjaan-pekerjaan lain, hingga akhirnya masa panen nanti tiba. Sungguh pekerjaan yang berat. Baru membayangkannya pun aku sudah merasa berat apalagi bila menjalankannya langsung. Hingga saat ini, menjadi petani masih dalam bayanganku saja. Aku masih tetap hanya bisa menengok sawah yang masih tetap digarap orang lain. Hanya masih bisa berdiri dipinggir sawah melihat hamparan padi yang menghijau, lalu menguning dan akhirnya menunggu siap untuk dipanen tanpa terlibat secara langsung melalui berbagai tahap penanaman padi.

Mungkin... mungkin suatu saat aku juga akan bisa jadi petani. Terjun secara langsung dengan tangan dan kakiku menggarap sawah. Tapi itu baru mungkin karena segala sesuatu itu membutuhkan proses yang lama dan panjang....


Kenanganku saat bersama almarhum Bapak saat menengok sawah.



Aku selalu menyempatkan diri menengok sawah sambil berharap hasil panennya bagus.






Rabu, 06 Juli 2022

Memulai bertani dimasa menjelang pensiun.

 


Bagi sebagian orang bertani merupakan pekerjaan yang menyenangkan. Pekerjaan yang sekaligus untuk menyalurkan hobi. Namun bagaimana apabila suatu hari berkebun atau bertani bukan lagi sekedar hobi, namun dijadikan pekerjaan dimasa tua bila telah pensiun. Untuk menambah penghasilan. Atau bahan bisa juga dijadikan sumber penghasilan utama. Segalanya bisa saja. Namun untuk menjadi petani tidak semudah teorinya. Itu yang saya alami.

Bertani kedengarannya seperti sebuah kata yang  mudah dibayangkan namun ternyata tidak mudah dalam pelaksanaannya.

Bila ingin bertani, tanah dan lahan harus ada. Milik sendiri atau menyewa. Milik sendiri jelas akan lebih mudah. Baik tanah ada. Jadi langkah pertama ingin menjadi petani sudah terbuka. Tanah milik sendiri siap untuk digarap. Tapi pikiran masih mempertimbangkan, pertanian apa yang akan dilakoni.

Saya lahir dari keluarga petani. Aki Nini Buyut saya semuanya petani tulen. Kebetulan dari ayah saya, lalu saya bekerja dikantoran. Jadi artinya bagi saya walaupun pekerjaan petani adalah pemandangan sehari-hari, namun saya sendiri bukan petani. Terpikir jadi petani justru setelah menjelang pensiun karena memiliki lahan yang bisa digarap.

Karena turun temurun dari keluarga petani padi, jadi petani padi itu juga yang melintas dalam pikiran saya. Mengapa tidak? Saya sudah siap menjadi petani padi. Dan mulailah saya banyak bertanya  pada para penggarap padi yang sudah sejak jaman Aki Nini saya hingga orangtua saya mereka bekerja menggarap sawah turun temurun ini. Ditambah dengan membuka Google dan membaca masalah pertanian padi. Yang akhirnya cukup membuat saya jadi meringis. Apakah saya akan sanggup mengerjakaan semua pekerjaan itu yang ternyata tidak gampang. Namun kembali, pekerjaan apa yang mudah? Bukankah semua pekerjaan itu akan mudah bila sudah terbiasa dilakoni? Baik, saya tetap banyak bertanya seputar masalah pertanian. Siapa tahu saya akan sanggup mengerjakan semua pekerjaan itu.

Untuk menggarap sawah dan menanam padi membutuhkan banyak sekali proses dan pekerjaan yang harus dikerjakan. Sawah harus dibajak dulu, baik dengan traktor, atau kerbau, atau sapi atau juga dengan dicangkul. Membayangkannya saja saya sudah merasa pegal-pegal dan linu. Lalu membersihkan sawah dari rumpur liar.

Selesai dibajak, sawah dialiri air supaya gembur. Bila sumber air ada berarti pekerjaan lancar. Namun bila sumber air jauh, terpaksa mencari jalar agar aliran air bisa sampai mengaliri sawah yang kita garap.

Selesai digarap, sawah yang tergenang air harus dibiarkan dulu sekitar 2 mingguan.

Selesai urusan lahan, pekerjaan masih dilanjut dengan pemilihan benih padi. Benih padi yang bagus akan mempengaruhi keberhasilan panen nanti.

Setelah memperoleh bibit yang bagus dilakukan persemaian. Persemaian adalah tempat untuk memproses benih menjadi bibit yang siap ditanam.  Persemaian dilakukan sekitar 25 haria sebelum masa tanam. Setelah persemaian siap, barulah dipindahkan ke lahan utama dan mulai menanam padi di sawah.

Setelah selesai menanam padi, pekerjaan masih lanjut dengan perawatan padi. Mulai dari penyiangan dua minggu sekali, kemudian pengairan sesuai kebutuhan supaya tanaman tetap mendapat air dan tidak kering. Lalu dilakukan pemupukan dari mulai usia satu mingg berlanjut hingga usia 30 hari. Setelah itu apakah pekerjaan selesai? Oh ternyata belum.

Pekerjaan lain masih menunggu. Padi yang kita tanam rawan terserang hama. Hama yang sering menyerang padi adalah belalang, tikus, wereng. Untuk mencegahnya harus digunaan pestisida. Dan seperti yang sudah dilakukan petani sejak jaman dulu, untuk mencegah datangnya burung, digunakan orang-orangan sawah. Baju-baju bekas yang sudah rombeng jangan dibuang. Bisa digunakan untuk membuat orang-orangan.

Akhirnya saat panen pun tiba. Impian semua petani. Bila padi sudah menguning dan merunduk,  terasa keras dan berisi, telah berusia 35 hari, sebagian daun kering, gabah rontok dengan remasan tangan, itulah sebagian ciri-ciri padi sudah siap dipanen.

Cara memanen padi masih banyak yang menggunakan cara tradisional, dengan menggunakan ani-ani, sabit atau juga menggunakan mesin. Setelah selesai dipanen, hasil panen dijemur selama 2 hingga 3 hari. Setelah kering gabah disimpan ditempat yang kering.

Itulah hasil saya bertanya dan bercakap-cakap dengan penggarap sawah saya yang sudah berpengalaman bertani padi selama berpuluh-puluh tahun yang selama ini menggarap sawah sejak Aki Nini saya masih ada hingga akhirnya sawah itu diwariskan pada saya. Dan juga hasil membaca di Google, mengingat jaman sekarang apabila kita ingin bertanya apapun yang ingin kita ketahui, cukup klik Google dan hasilnya langsung bisa dibaca.

Yang jadi pertanyaan saya kemudian, apakah saya akan sanggup mengerjakan semua pekerjaan itu dari awal hingga akhir?

Ternyata saya menyerah sebelum sempat mencoba. Butuh waktu bertahun-tahun lamanya bagi saya bila ingin terjun langsung menggarap sawah. Lebih baik untuk saat ini saya serahkan dan percayakan dulu pada ahlinya, para penggarap sawah yang sudah berpengalaman berpuluh-puluh tahun lamanya menggarap sawah. Mereka sudah banyak berkerja sejak jaman Aki dan Nini masih ada. Artinya sejak usia muda para penggarap sawah itu sudah bekerja disawah.

Kelak saya juga akan mencoba menggarap sawah saya sendiri. Tapi bukan sekarang. Saya masih harus banyak belajar teori dan belajar melihat dulu bagaimana para pengarap sawah itu bekerja disawah. Kelak, mungkin saya juga akan bisa menggarap sawah sendiri.