Hari itu matahari bersinar cukup
terik. Udara terasa sangat panas dan ngaheab. Kakiku yang beralaskan sandal pun masih dapat
merasakan panasnya pematang sawah yang tengah kupijak. Kening berkernyit menahan
silauan sinar mentari. Sayang aku lupa memakai tudung caping padahal biasanya dengan tudung caping yang lebar itu membuatku terlindung dari panas dan terlihat lebih gaya walaupun tengah berada dipesawahan.... hehe.
Kakiku terus melangkah
diatas pematang sawah menuju saung yang
terletak agak jauh ditengah-tengah pesawahan. Sawah yang akan aku kunjungi bukan sawahku tentu saja, tapi sawah nenekku
yang sudah meninggal dunia yang penggarapannya masih tetap dikerjakan oleh para
penggarap sawah yang sudah bekerja dengan nenekku selama bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun, mungkin, sepanjang beliau masih ada.
Sekian tahun lamanya aku bekerja
dikantoran, terbiasa bersepatu hak tinggi dan menapaki lantai, namun mungkin sebenarnya jiwaku masih menyimpan jiwa sebagai seorang
petani yang merupakan warisan dari aki nini dan leluhurku. Buktinya ketika
kakiku tengah melangkah diatas pematang sawah dan melihat disekelilingku, sejauh
mata memandang hanya melihat sawah dan sawah saja, aku merasa tidak asing dengan yang kulihat, aku merasa diriku menyatu dengan alam sekitarku dan aku sudah merasa diriku adalah sudah menjadi seorang petani…hehe….
Sepanjang jalan menuju sawah
nenekku, dikiri kanan pematang sawah yang
kutapaki, aku melihat banyak petani dan pekerja penggarap sawah lainnya yang tengah
sibuk bekerja disawah-sawah mereka. Musim panen memang telah tiba. Musim panen yang ditunggu oleh hampir semua petani. Saatnya memetik rejeki setelah sekian bulan lamanya membanting tulang disawah. Semuanya sibuk bekerja
dengan hasil panen mereka dengan penuh harapan bahwa musim panen kali ini hasil panen mereka lebih bagus dan lebih melimpah dibandingkan musim-musim panen sebelumnya. Cerita sedih petani bukan hal baru, dari tahun ke tahun sering terjadi hasil
panen seringkali tidak sebagus yang diharapkan. Namun wajah-wajah oftimis itu tetap terpancar diwajah mereka, dengan tetap
giat bekerja dan gembira, dan penuh harapan semoga panen kali
ini hasilnya menggembirakan. Gusti Allah Maha Uninga.
Akhirnya aku tiba di sawah
nenekku. Seperti halnya yang kulihat tadi, beberapa penggarap sawah di sawah milik nenekku pun
tengah sibuk bekerja. Yang seorang
tengah menjemur padi yang baru selesai dipanen. Sementara yang lainnya tengah mengumpulkan jerami dan menumpukkannya dipinggir sawah lalu membakarnya. Pemandangan
yang buatku terasa mengasyikan. Mengasyikan karena aku belajar tentang arti semangat dari mereka yang membanting tulang mengais rejeki ditengah sawah. Angin yang bertiup sepoi-sepoi menghapus keringatku dan merasaka tubuhku terasa lebih segar. Sambil menikmati karunia Illahi dari hembusan angin, lagi-lagi aku merasakan jiwa seorang petani telah menyerap
dalam sanubariku, dan aku merasa diriku yang tengah berdiri diatas pematang sawah adalah seorang petani.. hehe…
Padi-padi kuning yang tengah dijemur terlihat
gemuk. Mang Maman, salah seorang penggarap sawah, berkata bahwa hasil panen
tetap kurang memuaskan. Cuaca yang tak menentu, hujan yang berkepanjangan dan tikus yang memangsa padi yang siap dipanen adalah kendala-kendala yang dihadapi para petani. Aku sendiri kurang faham dengan dunia pertanian, namun
aku mendengarkan saja cerita mang Maman sambil manggut-manggut seolah aku faham
dengan apa yang dikatakannya. (ini akan menjadi pelajaran bagiku, bila kelak
aku ingin menjadi petani, aku harus belajar dan memahami seluk beluk pertanian
agar aku tidak menerima saja apa yang diceritakan oleh penggarap sawah).
Edisi memperhatikan kegiatan petani sudah cukup buatku. Dan aku merasa senang dengan cerita-cerita yang disampaikan mereka. Bukankah bila kelak aku ingin menjadi seorang petani aku harus tahu dulu seluk beluk dunia tani? Bila ke sawah tak lengkap
rasanya bila tidak ngaliwet. Ngaliwet sudah menjadi keharusan bila sedang ke sawah. Setelah berlelah-lelah sebentar berjalan-jalan
kesana kemari, membiarkan keringat membanjiri tubuhku, akhirnya saat ngaliwet pun tiba. Di saung sudah ada kastrol
untuk ngaliwet. Ada tungku yang terbuat dari batu. Ada suluh alias kayu bakar
yang bertumpuk. Acara ngaliwet pun dimulai. Bi Inah, istrinya mang Maman yang
bertugas untuk ngaliwet. Beras hasil panen tentu saja yang akan dijadikan
liwet.
Tak lengkap ngaliwet tanpa ditemani lauk
asin. Untunglah ada warung, walaupun cukup jauh, yang jualan lauk asin. Ikan
asin itu dipanggang. Caranya memanggangnya dengan menaruhnya diatas genteng
yang diletakkan diatas tungku. Baunya harum dan sangat menggugah selera. Tak
percaya? Silahkan mencoba sendiri dan rasakan kenikmatannya. Aku sendiri kebagian membuat sambel terasi.
Terasinya dibakar. Aku mengulek cabe
rawit segenggam, terasi, gula merah, bawang merah dan hasilnya, secowet sambel
terasi yang sangat pedas sekali. Ada yang bilang, sambel ulekan buatanku uenak sekali....hehe...
Udara siang yang panas terik dan
menyengat, tak mampu mengurangi kenikmatan ketika mulai berkumpul bersama para
penggarap sawah sambil mulai menikmati nasi liwet, ikan asin bakar dan sambel yang pedas menyengat lidah. Dan tak ketinggalan pula air teh panas yang
dibuat mendadak. Teh tubruk yang mendadak diseduh dengan air mendidih yang baru
diangkat dari perapian. Sambil makan, sambil menunggu teh tubruknya agak mendingin.
Begitu selesai makan, hemmmm….. nikmat bukan main diakhiri dengan segelas teh
tubruk hangat. Alhamdulillah Yaa Allah atas segala nikmat dan rejeki yang telah Engkau berikan padaku....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar