Hujan turun begitu derasnya.
Diluar angin bertiup dengan kencang. Pondok bambu tua yang sudah lapuk itu terasa
bergoncang tiap kali angin bertiup
dengan kencangnya. Mira dan Nuri menutup jendela dan pintu rapat-rapat.
Keduanya merasa cemas angin yang bertiup sangat kencang itu akan merobohkan
gubuk mereka.
Sudah hampir tiga bulan
lamanya udara buruk melanda desa mereka. Hampir setiap hari hujan deras disertai dengan
angin ribut menerpa desa mereka. Beberapa tanggul sudah jebol. Sawah –sawah tergenang
banjir sehingga tanaman padi membusuk.
Demikian pula dengan ladang-ladang pun tergenang banjir sehingga segala macam tanaman
menjadi rusak.
Hampir seluruh penduduk desa
dilanda kesusahan. Mereka tidak bisa pergi ke sawah dan ladang mereka karena
cuaca buruk yang melanda desa mereka. Demikian pula dengan Mira dan Nuri.
Mereka tidak berani pergi ke ladang karena khawatir dengan cuaca buruk. Apalagi ibu mereka sudah beberapa waktu
lamanya terbaring sakit. Sehingga mereka
hanya berdiam saja didalam pondok sambil menjaga ibu mereka.
Saat itu hari sudah malam. Langit sangat gelap sekali. Hujan belum juga
berhenti. Sesekali angin bertiup dengan kencang. Setiap kali terdengar bunyi
berderak dari pintu dan jendela, ibu memanggil keduanya dari dalam kamarnya.
“Mira! Nuri! Tutup pintu dan
jendelanya!” kata ibu dengan suara parau.
“Sudah bu, kami sudah
menutup pintu dan jendela. Namun pintu dan jendela sudah rusak, tidak bisa
ditutup rapat-rapat.” Kata Mira dan Nuri bergantian menemui ibunya.
Ibu keluar kamar dengan
langkah tertatih-tatih. Ibu sudah sejak lama menderita sakit. Dulu ibu rajin
pergi ke ladang menggarap sepetak ladang mereka, namun sejak ibu sakit Mira dan
Nuri yang menggantikan pekerjaan ibu. Namun kini hujan turun hampir setiap hari
sehingga Mira dan Nuri pun tidak bisa pergi ke ladang.
Persediaan makanan mereka
sudah semakin sedikit. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan selama musim hujan
ini. Untuk menjaga persediaan makan yang semakin sedikit, Mira dan Nuri sering
hanya membuat bubur saja, dicampur dengan kentang dan wortel. Mira pintar
memasak. Masakannya enak. Walaupun mereka hanya bisa memasak bubur, namun bubur
buatan Mira sudah bisa mengenyangkan perut mereka.
“Ibu lapar, apa yang bisa
kita makan sekarang?” Tanya ibu.
Mira mengambil mangkok besar
berisi bubur yang masih hangat. “Kita masih punya bubur, Bu. Ada campuran
wortel dan kentang yang sudah dihaluskan. Baunya harum. Masih ada sedikit
daging ayam yang saya campurkan. Cobalah.”
Mereka bertiga duduk diatas
tikar sambil menikmati bubur pada piring masing-masing. Pada saat itulah
terdengar ketukan pelan pada pintu dapur. Nuri membukakan pintu. Dia melihat
seorang nenek berdiri diluar dengan tubuh menggigil kedinginan. Tubuhnya basah
kuyup kehujanan.
“Nak, bolehkan nenek menumpang berteduh sebentar
disini?” Tanya nenek itu.
Nuri terdiam sejenak sambil memperhatikan
nenek itu. Mendadak terdengar suara halilintar menggelegar keras mengejutkannya
dan nenek itu. Nuri tidak berpikir lagi, dia langsung membuka pintu gubuknya lebar-lebar.
“Oh, tentu saja nek,
silahkan masuk.” Sahut Nuri.
Nenek itu masuk kedalam gubuk
tua itu. Nenek itu melihat pemilik rumah tengah menyantap bubur. Namun nenek itu
segera duduk sambil menyelunjurkan kakinya. Kelihatannya nenek itu sangat lelah
sekali.
Mira dan ibu bertukar pandang.
Mereka tidak memiliki makanan lain selain bubur itu. Akhirnya Mira mengambil mangkok
buburnya dan menghampiri nenek itu.
“Marilah menikmati bubur
bersama kami, Nek.” Mira menyerahkan mangkok buburnya pada nenek yang kelihatan sangat lelah
dan lapar itu.
“Oh, terima kasih. Bubur ini
milikmu. Kau pasti sangat lapar.” Kata nenek itu menolak pemberian Mira.
Mira tersenyum. “Saya tidak lapar,
nek. Tapi nenek lebih membutuhkan bubur ini. Nenek pasti belum sarapan. Bubur ini
akan cukup mengenyangkan perut nenek.” Kata Mira.
“Kau anak yang baik sekali.”
Kata nenek itu sambil menerima mangkok bubur dari Mira. Nenek itu mulai
menikmati bubur itu dengan lahap. Kelihatannya nenek itu sangat lapar sekali.
Dalam sekejap sepiring bubur sudah habis.
“Sebentar saya akan menyeduh secangkir teh
hangat buat nenek.” Kata Mira sambil pergi kedapur. Dia menyeduh segelas teh hangat buat nenek itu dan
memberikannya pada nenek itu.
“Terima kasih, kalian
sekeluarga baik sekali.” Kata nenek itu yang segera meminumnya hingga habis.
“Oh, nikmat sekali rasanya
bubur dan secangkir teh hangat ini. Tubuhku kini terasa hangat lagi.” Kata nenek
itu.
“Bila nenek akan tidur,
sebentar saya akan menggelar tikar dulu.” Kata Nuri. Dia mengambil sehelai tikar
lalu menggelarnya buat alas tidur nenek itu. Dia lalu memberikan sebuah bantal pada nenek itu. Sementara Mira mengambilkan
selimut tua yang sudah lusuh pada nenek itu.
“Hanya ini yang kami punya, nek.”
Kata Mira.
“Baju nenek basah, tidak nyaman
tidur dengan baju basah seperti itu.” Kata ibu. “Mira, ambilkan baju ibu dan berikan
pada nenek ini untuk gantinya.”
Mira mengambil baju ibunya dan
memberikannya pada nenek itu. Setelah mengganti bajunya, nenek itu membaringkan
tubuhnya dan sekejap saja nenek itu sudah tertidur nyenyak. Selimut tua menutupi
tubuhnya. Sementara diluar hujan masih turun dengan derasnya, sesekali terdengar
suara halilintar menggelegar, namun nenek itu tetap tertidur dengan pulas. Tidurnya
kelihatan tenang sekali. Sementara Mira, Nuri dan ibu hanya duduk saja sambil
memperhatikan nenek itu. Mereka merasa kasihan pada nenek itu dan bersyukur
walaupun mereka sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dimakan namun mereka masih
punya tempat untuk berteduh.
Mendadak terdengar suara
berderak yang sangat keras sekali dibelakang pondok mereka.
“Oh, bunyi apa itu?” seru
Nuri terkejut.
Nenek itu pun terbangun mendengar
suara yang berderak sangat keras diluar gubuk. Nuri dan Mira sambil bergegas
keluar memburu halaman belakang. Keduanya terkejut ketika melihat pohon besar
dihalaman belakang pondok mereka sudah tumbang dihantam angin kencang.
Daun-daunnya berserakan memenuhi halaman belakang.
“Oh, untunglah tidak menimpa
pondok kita.” Kata Mira.
Nenek itu turun dari gubuk dan
memperhatikan daun-daun yang berserakan disekitar halaman belakang gubuk tua itu.
“Kumpulkanlah daun-daun yang
berserakan itu.” Kata nenek itu tiba-tiba.
“Untuk apa daun-daun itu,
nek?” Tanya Mira keheranan.
“Daun-daun itu tidak ada
gunanya, besok saya akan mengumpulkannya dan membakarnya.” Kata Nuri.
“Kumpulkanlah daun-daun itu
sebanyak yang kalian bisa mala mini juga.” Kata nenek itu lagi.
Mira dan Nuri ingin
berbicara lagi namun akhirnya mereka diam. Mereka segera mengumpulkan daun-daun
itu dan memasukannya kedalam sebuah karung. Setelah itu mereka menaruh karung
itu disamping gubuk mereka. Setelah itu mereka
kembali masuk kedalam gubuk dan tidur.
Pagi-pagi nenek itu pamitan. Nuri dan Mira lalu bekerja kembali
seperti biasanya. Mereka lupa pada karung berisi daun itu selama berhari-hari lamanya
hingga suatu hari Nuri tidak sengaja menyenggol karung itu. Karung itu terasa sangat
berat sekali.
“Ah, aku lupa membuang daun-daun
ini.” Kata Nuri sambil membuka karung itu. Mendadak matanya terbelalak. Didalam
karung itu penuh dengan emas berbentuk daun. Jumlahnya sangat banyak sekali, sebanyak
daun-daun yang dimasukan kedalam karung itu.
“Astaga! Daun-daun emas!” Seru
Nuri. Dia segera memanggil Mira. “Mira! Mira! Lekas kemarin! Lihat ini!”
Mira datang menghampiri Nuri.
Dia pun terbelalak kaget melihat isi karung itu yang semula berisi daun kini sudah
penuh dengan emas berbentuk daun.
Mereka segera menggotong karung
itu kedalam gubuk mereka dan memperlihatkannya pada ibunya. Mereka teringat pada
nenek renta yang menumpang istirahat digubuk mereka beberapa waktu lalu. Nenek itulah
yang meminta Mira dan Nuri memasukan daun-daun dari pohon yang tumbang itu kedalam
karung. Dan kini daun-daun itu telah berubah menjadi daun-daun emas yang tidak ternilai
harganya.
Mereka semua sangat bersyukur.
Sejak saat itu hidup mereka menjadi berkecukupan dan sejahtera. Mira dan Nuri membawa
ibunya ke tabib terkenal sehingga penyakit ibunya akhirnya sembuh dan ibunya bisa
pulih kembali seperti sedia kala. Alangkah bahagianya perasaan Mira dan Nuri melihat
ibu mereka telah sembuh kembali.
Walaupun sudah hidup berkecukupan,
mereka tidak pernah lupa dengan kehidupan mereka sebelumnya yang serba kekurangan.
Mereka selalu menyisihkan sebagian harta mereka dan diberikan pada fakir miskin
dan orang-orang yang membutuhkan. Alangkah senangnya bisa hidup berbagi dengan sesama.
--- 0 ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar