Musim kemarau kali ini
sangat panjang sekali. Hampir delapan bulan lamanya musim kemarau melanda desa
Sindangsari. Para petani mulai resah memikirkan sawah mereka yang kekurangan air. Panen terakhir sudah hampir setahun lalu. Musim tanam yang
seharusnya sudah bisa segera dikerjakan jadi terhambat karena tidak adanya air
untuk mengairi sawah mereka. Tanah-tanah sudah retak. Mata air yang menjadi
sumber kehidupan bagi seluruh warga sudah surut. Keadaan itu membuat banyak
warga desa yang mulai dilanda kelaparan karena tidak ada lagi makanan yang bisa
mereka makan. Pak Sujana, kepala desa Sindangsari sangat galau memperhatikan keadaan
desanya. Setiap kali dia berkunjung kerumah warga desanya, yang dilihatnya
adalah warga yang tengah kesulitan dengan kebutuhan pangan. Hingga akhirnya pak
Sujana mengumpulkan warga desanya. Mereka akan mencari sumber mata air baru.
“Dimana kita bisa
mendapatkan sumber mata air baru?” Tanya Parja, salah seorang warga. “Desa kita
dikelilingi gunung-gunung berbatu.”
“Ya. Kita tidak lagi
memiliki sumber mata air.” Sahut Amir.
Pak Kades menatap wajah
warga desa yang menghadiri pertemuan di balai desa. “Wargaku sekalian,
kesulitan yang melanda desa kita ini adalah kesulitan kita semua. Dan kita
semua harus memikirkan jalan keluarnya.” Kata pak Kades.
“Betul, desa kita
dikelilingi gunung berbatu. Gunung cadas yang tinggi dan terjal. Dan kita tidak
memiliki lagi mata air selain mata air yang saat ini menjadi sumber mata air
bagi seluruh penduduk desa kita. Namun dibalik gunung batu itu salah seorang
warga kita yaitu Bardi telah menemukan sebuah sumber mata air yang akan bisa
memenuhi kebutuhan kita semuanya.”
Warga melongo mendengar
penjelasan kepala desa mereka. Mereka belum faham dengan maksud ucapan pak
kades.
Pak Kades menarik napas
dalam. “Saya tahu bahwa hal ini sangat sulit. Menembus bukit berbatu bukan hal
yang mudah. Namun ini satu-satunya yang harus kita kerjakan. Mendobrak gunung
berbatu itu dan membuat terowongan untuk menarik air dari sumber mata air
dibalik gunung batu itu sehingga mengalir ke desa kita.”
Warga masih diam. Seakan
bingung.
“Apakah hal itu mungkin, pak
Kades?” Tanya Amir dengan wajah ragu.
“Ya. Mungkin.” Sahut pak
kades dengan suara pasti.
“Mendobrak bukit berbatu?”
Tanya Amir sekali lagi.
“Ya.” Sahut pak Kades
mantaf.
Warga saling bertukar
pandang. Terbayang oleh mereka gunung berbatu yang tak akan mungkin digali.
Walaupun dibelakang gunung itu ada sebuah harapan baru untuk desa mereka.
“Bagaimana?” Tanya pak
Kades.
“Saya tidak setuju, pak
kades. Hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga saja.” Sahut Barda.
Ucapan Barda disambut
beberapa anggukan dari beberapa warga desa.
“Kita akan bekerja
bersama-sama dan bergotong royong.” Kata pak kades.
“Saya sependapat dengan kata-kata
kang Barda bahwa pekerjaan itu hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga
saja.” Kata Parmin sambil bangkit dan tanpa bicara lagi langsung pergi keluar
dari balai desa. Tindakan Parmin diikuti oleh beberapa warga desa. Mereka satu
persatu keluar dari balai desa.
Pak kades hanya diam saja
memperhatikan beberapa warga desanya yang meninggalkan balai desa. Didalam
ruangan itu sekarang hanya ada tersisa duabelas orang lagi.
“Bagaimana menurut pendapat
kalian?” Tanya pak kades.
“Kami sepakat dengan pendapat
pak kades. Kita akan bekerja bergotong royong menembus gunung berbatu itu dan
menarik air dari balik gunung itu.” Kata Sarja. Ucapan Sarja disambut anggukan
yang lainnya yang masih ada dibalai desa.
“Baiklah kalau begitu, kita
tidak akan membuang-buang waktu lagi. Esok pagi kita mulai bekerja. Dengan
peralatan seadanya yang kita miliki.” Ucap pak Kades dengan suara tersendat
menahan haru.
Esok paginya pak kades dan
keduabelas warganya berjalan beriringan menuju gunung batu. Mereka langsung
bekerja membuat terowongan dengan peralatan seadanya yang mereka miliki. Sementara
ibu kades dan beberapa perempuan desa lainnya sibuk membuat makanan didapur
untuk para pekerja itu.
Pekerjaan itu bukanlah
pekerjaan ringan. Namun semangat warga desa itu ternyata mampu mengalahkan
kekerasan cadas gunung itu. Seminggu lamanya pak kades dan sebagian warganya
bekerja keras. Pekerjaan mereka sudah menunjukan hasil. Gunung batu itu sudah
bisa digali. Warga desa lain yang semula tidak mendukung kegiatan itu
berangsur-angsur ikut bergabung sehingga jumlah pekerja semakin bertambah. Dan
ibu kades semakin sibuk dibantu perempuan desa lainnya menyiapkan makanan untuk
para pekerja itu.
Dihari keduabelas pekerjaan
mereka sudah menunjukan hasil. Sumber mata air itu sudah berhasil ditembus. Air
yang melimpah membuat para pekerja berteriak bersuka cita. Namun pekerjaan
belum selesai. Masih dibutuhkan bambu sebagai talang air yang akan mengalirkan
air dari mata air itu ke desa mereka. Pak kades berembug dengan warga desa.
Membagi-bagi pekerjaan. Sebagian membangun sebuah bak besar yang akan menampung
air didesa mereka. Dan sebagian lagi membuat talang air dari bambu. Hampir
sebulan warga bekerja secara bergotong royong. Akhirnya air yang mereka
butuhkan itu bisa mengalir ke desa mereka. Bak penampungan air menjadi sumber
kebutuhan air sehari-hari bagi seluruh warga desa. Dari sumber mata air itu dialirkan juga kebutuhan air untuk sawah
mereka.
Bukan main bahagia dan
terharunya pak kades melihat air kini sudah mengalir, memenuhi kebutuhan
warganya.
--- 0 ---
ceritanya bagus bagus ..aku suka sekali membacanya..makasih ya
BalasHapussama2... saya jg senang kalo menulis dan ada yg membacanya.. Salam...
Hapus