Sabtu, 20 Mei 2023

Menjadi petani itu berat.... tapi harus tetap bertahan untuk menjaga kelangsungan....

 




Seingatku, sepanjang ingatanku, rasanya sawah bukan hal yang asing bagiku. Melihat hamparan sawah dengan padi yang mulai tumbuh, atau saat padi telah menghijau menyejukan mata, atau saat padi telah menguning menunggu saat panen tiba, rasanya pemandangan itu telah lama kunikmati. Rasanya aku sudah sangat akrab sekali dengan sawah dan pemandangannya. Melihat petani bekerja disawah, menanam padi, tandur, atau panen pemandangan yang biasa kulihat sejak kecil. Bahkan saat masih kecil, saat petani belum banyak yang menggunakan traktor untuk membajak sawah, aku sudah biasa melihat Aki, kakekku, bekerja menggarap sawah dengan menggunakan dua ekor lembu untuk membajak sawah.

Hari-hariku dari kecil adalah sekolah dan belajar (walaupun nilai-nilai sekolahku tak pernah memuaskan, asal cukup saja), namun disaat liburan sekolah, bila pulang ke kampung orangtuaku (kebetulan ayah dan ibuku berasal dari kampung yang sama), sawah menjadi salah satu tujuanku bermain disaat liburan.

Saat itu, aku melihat bekerja sebagai petani biasa-biasa saja. Artinya aku menganggap mereka, yang bekerja sebagai petani, bekerja bagaimana layaknya orang yang bekerja seperti pekerjaan-pekerjaan lain seperti berdagang, pegawai kantoran, atau beragam pekerjaan lainnya. Aku melihat mereka petani, termasuk Aki dan Nini, kakek dan nenek dari ayah dan ibu, bekerja keras menggarap sawah. Dan saat panen tiba mendapatkan hasil yang menggembirakan dari hasil penjualan panen padi. Itu yang kulihat dimasa kecilku bertahun-tahun lamanya.

Bertahun-tahun kemudian saat aku sudah menyelesaikan pendidikan dan sudah bekerja kantoran, beberapa petak sawah yang dulu dimasa kecilku menjadi tempat bermainku, kini berpindah tangan menjadi  milikku, artinya beberapa petak sawah itu diwariskan menjadi bagianku. Dan saat itulah baru aku menyadari ternyata menjadi petani itu berat dan tidak muda.

Sawah yang menjadi bagianku tetap dikerjakan oleh berapa orang petani yang sudah dari dulu menggarap sawah peninggalan Aki dan Nini. Sistemnya bagi hasil. Aku mendapat bagian setengannya dari hasil panen setelah dipotong oleh pupuk, biaya buruh, biaya pemeliharaan dan lain sebagainya. Dan pastinya, bagiaku sangat kecil bila dibandingkan dengan hasil panen yang diperoleh. Itu patut disyukuri karena tidak selamanya petani bisa menikmati panen padi yang bagus. Itulah sebagian dari lika liku pekerjaan petani. Tak jarang saat padi sudah tumbuh bagus, diserang hama. Padi yang siap dipanen akhirnya hanya tinggal sisa-sisa yang diserang hama. Belum lagi apabila sawahya berada didaerah yang penanamannya mengandalkan curah hujan. Bila hujan tidak turun maka para petani tidak ada yang menanam padi. Bila kemaraunya panjang, maka bisa dipastikan selama setahun itu petani yang berada didaerah itu tidak ada yang menanam padi. Lantas bagaimana dengan sawahnya? Dibiarkan begitu saja hingga tak lama kemudian setelah terlantar karena tidak digarap, seluruh permukaannya akan ditumbuhi rumput-rumput liar. Dan itu akan jadi pekerjaan tambahan bagi  para petani nanti bila musim hujan tiba dan mereka akan memulai lagi mengarap sawah, yang pertama dilakukan adalah menggarap sawah menghabiskan seluruh rumput dan tanaman liar itu.  

Pernah terpikir bahwa suatu saat aku akan menggarap sendiri sawah peninggalan Aki dan Nini itu. Aku juga pasti bisa menjadi petani apabila nanti sudah pensiun dan memiliki waktu penuh untuk menjadi petani. Namun pemikiranku ternyata tak semudah apa yang kulihat dilapangan. Menjadi petani itu tidak mudah. Memulai menjadi petani juga tidak mudah. Butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk bisa mempelajari bagaimana menggarap sawah dan mendapatkan hasil yang baik. Andaipun aku terjun langsung ke sawah, tidak mungkin aku bisa mengerjakannya sendirian. Pasti aku tetap butuh bantuan beberapa orang buruh tani untuk memulai pekerjaan menggarap sawah dari memulai membajak, tandur, pekerjaan-pekerjaan lain, hingga akhirnya masa panen nanti tiba. Sungguh pekerjaan yang berat. Baru membayangkannya pun aku sudah merasa berat apalagi bila menjalankannya langsung. Hingga saat ini, menjadi petani masih dalam bayanganku saja. Aku masih tetap hanya bisa menengok sawah yang masih tetap digarap orang lain. Hanya masih bisa berdiri dipinggir sawah melihat hamparan padi yang menghijau, lalu menguning dan akhirnya menunggu siap untuk dipanen tanpa terlibat secara langsung melalui berbagai tahap penanaman padi.

Mungkin... mungkin suatu saat aku juga akan bisa jadi petani. Terjun secara langsung dengan tangan dan kakiku menggarap sawah. Tapi itu baru mungkin karena segala sesuatu itu membutuhkan proses yang lama dan panjang....