Mawar Jingga menaruh bakul berisi
pakaian kotor diatas batu besar ditepi sungai. Beberapa orang temannya sudah
datang lebih dahulu ke sungai dan tengah mencuci pakaian. Pagi terasa begitu
segar dan cerah. Matahari yang baru terbit terasa hangat menyinarkan cahayanya.
“Tidak lama lagi kita tidak akan
bisa lagi mencuci pakaian di sungai ini.” Kata Kemala.
“Kenapa?” tanya Menik dan Anggun
hampir bersamaan.
“Kemarin aku mendengar percakapan
antara kepala desa dan beberapa warga katanya Raja ingin membendung sungai ini
dan akan mengalirkan sungai ini melalui taman dibelakang istana.” Kata Kemala.
“Oh tidak mungkin” ucap Mawar
Jingga. “Bagaimana mungkin Raja akan membendung sungai ini dan mengalirkannya
ke istana? Bagaimana dengan kehidupan rakyat yang mengandalkan air sungai ini
untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan sehari-hari.”
“Kita tidak mungkin menolak
keinginan Raja. Perintah Raja harus dipatuhi dan dilaksanakan.” Kata Menik.
Keempat gadis itu mencuci pakaian
tidak seperti hari-hari biasanya. Biasanya
mereka sambil mencuci suka sambil bercanda. Kali ini keempatnya hanya diam dan
sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Pulang kerumahnya Mawar Jingga
menceritakan percakapannya kepada ayahnya.
“Ya.” Kata ayahnya. “Itu adalah
titah Raja yang harus kita patuhi.”
Beberapa bulan kemudian Mawar
Jingga melihat penduduk mulai bekerja membendung sungai dan mengalihkannya
kearah taman istana. Oh, bukan main sedihnya Mawar Jingga karena kita dia tidak
akan bisa mencuci lagi di sungai. Akhirnya dia mencuci di jamban dibelakang
rumahnya.
Suatu hari Mawar Jingga
berjalan-jalan ketempat dia biasa mencuci. Tak lama dia bertemu Kemala, Menik
dan Anggun. Mereka berjalan menyusuri sungai yang mengarah ke taman istana.
Ketika tiba disungai yang melintasi taman istana, mereka melihat seorang gadis
cantik jelita dan berambut panjang tengah bermain-main bersama beberapa orang inangnya
dipinggir sungai. Mawar Jingga dan teman-temannya memperhatikan gadis itu.
“Siapakah gadis itu? Cantik
sekali.” tanya Menik.
“Dia adalah Puteri Prambani.”
Sahut Kemala.
“Oh, diakah Puteri Prambani yang
sangat terkenal itu? Kudengar dia seorang puteri yang baik hati.” Ucap Anggun.
Keempat gadis itu tetap berdiri
ditempatnya. Mereka melihat Puteri Prambani turun ke sungai dan bermain-main
air sungai dengan riang gembira. Keempat inangnya mengikuti Puteri Prambani
turun ke sungai dan bermain-main bersama sang puteri. Tiba-tiba Mawar Jingga dan ketiga temannya melihat Puteri Prambani naik keatas batu besar
dipinggir sungai dan menjerit-jerit ketakutan sambil menginjak-nginjakan
kakinya ke batu dengan keras. Beberapa
inang ikut naik keatas batu besar itu dan berjongkok memperhatikan betis sang
puteri. Oh, rupanya ada beberapa ekor lintah
sungai yang menempel pada kaki dan betis Puteri Prambani dan menyedot darah
Puteri Prambani.
“Tolonglah aku. Aku takut.” Jerit
Puteri Prambani.
Mawar Jingga dan ketiga temannya
bergegas menghampiri Puteri Prambani.
“Biarkan saja lintah itu. Nanti
juga dia akan lepas sendiri bila sudah puas menyedot darah tuan puteri.” Kata
Mawar Jingga.
“Apa? Membiarkan binatang ini
menyedot darah tuan puteri? Kau berbicara sembarangan. Tuan Puteri seorang
berdarah biru. Tidak mungkin kita biarkan lintah menyedot darahnya.” Ucap salah
seorang inang dengan marahnya.
“Walaupun Tuan Puteri seorang
berdarah biru namun tetap saja darah yang dihisap lintah itu berwarna merah.”
Ucap Menik.
“Tuan Puteri tidak usah takut,
darah yang dihisap oleh lintah itu adalah darah kotor. Bila darah kotornya
sudah dihisap oleh lintah itu, Tuan Puteri akan merasa lebih segar dan sanggup
berjalan jauh tanpa merasa lelah.” Kata Mawar Jingga.
“Oh, benarkah? Aku selama ini
tidak pernah berjalan jauh karena aku selalu cepat merasa lelah.” Kata Puteri
Prambani.
“Nah, setelah darah kotor itu
dihisap oleh lintah itu, Tuan Puteri akan sanggup berjalan jauh dan lebih
kuat.” Kata Mawar Jingga.
Puteri Prambani terlihat masih
ketakutan dan merasa jijik melihat lintah yang menempel pada betisnya namun
akhirnya dia membiarkan saja lintah itu menyedot darah dibetisnya. Tak lama
kemudian lintah itu sudah penuh dengan darah dan lepas dengan sendirinya dari
betis Puteri Prambani.
“Lihatlah darah yang dihisap
lintah itu berwarna merah seperti darah kita juga.” Kata Anggun sambil melirik
salah seorang inang. Inang itu hanya melongo melihat lintah yang penuh
menghisap darah tuan puterinya.
“Kalian siapa?” tanya Puteri
Prambani sambil turun dari batu besar dan menghampiri keempat gadis desa itu.
Keempat gadis itu memperkenalkan
dirinya. Mereka juga bercerita bahwa sebelum sungai dibendung dan dialihkan ke
taman istana, mereka biasanya mencuci pakaian disungai.
“Oh, sayang sekali aku sudah
membuat kalian bersedih. Akulah yang meminta ayahku untuk mengalihkan aliran
sungai ini melintasi taman istana.” Kata Puteri Prambani. “Namun kalian tidak
usah khawatir. Aku memberikan ijin kepada kalian untuk mencuci pakaian
disekitar istana ini. Bukankah sungai ini masih cukup dekat dari tempat tinggal
kalian?”
“Oh, terima kasih Tuan Puteri.”
Kata keempat gadis itu bersama-sama.
Beberapa hari kemudian Mawar
Jingga dan ketiga temannya mencuci disungai tidak jauh dari istana. Suatu hari
Puteri Prambani dan inang-inangnya datang menghampiri keempat gadis desa yang
tengah mencuci itu.
“Mawar Jingga, ucapanmu ternyata
betul. Aku sekarang merasa lebih sehat. Dan kemarin aku sengaja berjalan kaki
menuju hutan bersama inang-inang, dan tahukah kau ternyata aku yang paling kuat
berjalan.” Puteri Prambani tersenyum.
Sejak saat itu keempat gadis itu
berteman baik dengan Puteri Prambani yang cantik jelita dan baik hati.
Hari-hari tertentu ketika keempat gadis desa itu tengah mencuci pakaian
disungai, Puteri Prambani kerap datang bersama para inangnya dan bermain-main
disungai. Kini Puteri Prambani tidak merasa takut lagi pada lintah walaupun
kadang sang Puteri bergidik bila ada lintah sungai yang menempel pada betisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar