Ditepi
pantai Pangandaran yang panas bermandikan sinar mentari yang terik, Bima,
pemuda jangkung berambut gondrong, menarik layang-layang besar diantara ratusan
layang-layang lainnya dengan berbagai ukuran dan bentuk yang memenuhi langit biru
yang cerah. Intan, gadis cantik berambut ikal sebahu, menemani Bima sambil membantu menggulungkan benang dan mengawasi layang-layang mereka yang
melayang-layang di langit. Keduanya
asyik bermain layang-layang berbaur dengan peserta lainnya di arena festival
layang-layang yang diadakan di tepi pantai Pangandaran.
Ratusan
layang-layang beragam ukuran dan bentuk memenuhi langit yang biru dan jernih.
Udara sangat panas. Matahari bersinar terik. Namun keduanya tak menghiraukan panasnya udara
dan teriknya sinar mentari. Keduanya ceria dan gembira. Beragam bentuk layang-layang
dan berbagai ukuran memenuhi langit. Layang-layang berbentuk naga, ular,
topeng, wayang dan aneka bentuk layang-layang lainnya menghiasi langit.
Seharian itu semuanya larut dalam kegembiraan bersama.
Sore
harinya Bima dan Intan duduk berdampingan di tembok ditepi pantai
sambil menghadap ke laut. Debur ombak sesekali memecah pantai meninggalkan
buih-buih putih seperti kapas. Langit semburat merah dengan lembayung.
“Barangkali
ini terakhir kali kita liburan bersama sebelum kita berpisah, Tan. Kau kuliah
di Bandung dan aku kuliah di Jogya. Kenapa kita tidak bisa terus bersama
seperti ini, Tan?” ucap Bima separuh
mengeluh.
Intan
menatap jauh ke laut hingga ke batas cakrawala. Ada kesedihan yang mengusik
perasaannya mendengar ucapan Bima. Tenggorokannya terasa sakit menahan tangis
yang ditahannya. Tidak, aku harus kelihatan tegar. Aku tak boleh kelihatan
bersedih. Bima pasti akan terpengaruh bila melihat aku menangis. Intan membatin dalam hatinya.
“Kita
turuti saja keinginan ayah, Bima. Bukankah kita masih bisa bertemu walaupun
kita sudah terpisah? Bandung dan Jogya tidak jauh. Kita masih bisa bertemu
kapanpun bila kita ingin bertemu. Dan tentunya tempat kita pulang masih tetap
Sumedang. Di Sumedang kita masih akan selalu bertemu.” Ucap Intan lirih.
“Sejak
dulu aku sudah punya rencana ingin
kuliah di Bandung bersamamu walaupun missal kita tidak kuliah di perguruan
tinggi yang sama. Kenapa ayah harus memisahkan kita seperti ini? Tidak adakah
cara lain yang lebih baik selain memisahkan kita?”
“Kita
saudara, Bima. Itu yang harus kau
sadari.”
“Kita
ini hanya saudara angkat, Tan. Itu tidak salah bila kita saling mencintai.”
“Tapi
ayah kita sama, Bima.”
“Memang
betul ayah kita sama, Intan. Tapi aku
anak kandung ayah sementara kau hanya anak angkat ayah. Itu berbeda, Tan.
Kita tidak memiliki hubungan darah. Ayah tahu ini. Kenapa ayah mencoba mengingkari kenyataan ini? Tak ada
yang salah apabila kita saling mencintai.”
Debur
ombak semakin keras memecah bibir pantai. Suara deburannya menggetarkan
perasaan. Intan diam. Matanya terasa pedih. Angin bertiup kencang mempermainkan rambut
mereka.
“Ayah,
ibu Winda dan mamaku harus tahu, tidak
ada yang salah dengan cinta kita, Tan. Ayah
memiliki dua istri dan memiliki dua anak dalam perkawinan yang
berbeda. Aku anak kandung ayah dengan
mamaku sementara kau anak angkat ayah dengan ibu Winda. Ayahku adalah ayah angkatmu. Bagaimanapun kita tetap bukan
saudara kandung. Kita tidak punya hubungan darah. Kau dan aku saudara
angkat. Tak ada yang salah bila kita saling mencintai.
“Bima,
aku tak berani melawan ayah. Aku juga tak bisa menentang pada ibu Winda dan mama Ratna. Mereka semua tak setuju
kita menjalin hubungan. Ini menyangkut masa depan kita, Bima. Apa yang terjadi
dengan kita, dengan masa depan kita, apabila kita tetap memaksakan berhubungan
sementara orangtua kita tidak menyetujui hubungan kita? Aku takut dan aku tak
berani membantah sedikitpun.” Airmata Intan berlinang. Kini dia sudah tak bisa lagi
menahan tangisnya. Dadanya terasa sesak. Betapapun kesedihan dan kekecewaan
yang tengah dirasakan Bima, dirasakan pula olehnya. Dia mengerti dengan segala
kesedihan dan kekecewaan Bima.
“Bima,
ayah dan ibu Winda sudah memberikan segalanya yang terbaik
untukku. Aku dirawat sejak bayi oleh ibu Winda dan ayah. Ibu Winda dan ayah memberikan kasih sayang yang tulus yang
membuatku tak percaya ketika kemudian ayah dan ibu Winda memberitahuku bahwa aku sebenarnya bukan anak
kandung mereka.” Intan terisak pelan. “Ibu
kandungku melahirkanku dirumah ayah dan ibu
Winda. Ibu Winda yang membantu
persalinanku. Ibuku meninggal. Hingga sekarang aku tidak tahu wajah ibu
kandungku yang telah melahirkan aku. Ayahku pergi entah kemana. Hingga saat ini
aku tidak tahu dimana ayah kandungku berada. Kenyataan itu sudah membuatku
sakit dan sedih, Bim. Namun semua itu terobati karena ayah dan ibu Winda sangat menyayangi aku seperti menyayangi
anak kandungnya sendiri.”
Bima
terdiam. Tatapannya jauh melayang ketengah lautan yang biru. Senja semakin merambat.
Matahari sebentar lagi akan terbenam. Senja akan segera berganti malam. Namun
sepanjang pantai semakin banyak wisatawan yang duduk-duduk disepanjang tepi
pantai memperhatikan detik demi detik tenggelamnya sang mentari.
“Semuanya
harus mau memahami bahwa kita saling mencintai, Intan.” Ucap Bima pelan.
“Itu
tidak mudah, Bima. Kau berharap mereka semuanya mau memahami kita, namun kenapa
kita sendiri tidak bisa memahami bagaimana galaunya perasan mereka ketika
mereka mengetahui kita saling mencintai? Dapatkah kita memahami kecemasan dan
kekhawatiran mereka dalam menghadapi dan menyikapi hubungan kita? Setiap kali
kita bersama, mereka selalu merasa cemas dan khawatir. Dan ini sudah
berlangsung bertahun-tahun lamanya. Bima, kita harus menghormati keputusan
mereka. Orangtua pasti punya alasan kenapa mereka tidak menyetujui hubungan
kita ini. Ini menyangkut kehormatan dan harga diri keluarga kita. Apa jadinya
bila kedua anaknya, walaupun saudara angkat, saling mencintai?”
Bima
diam. Wajahnya kelihatan muram.
“Bima,
sebaiknya kita menuruti keinginan ayah. Ayah
sudah menyiapkan masa depan yang baik untuk kita. Kasihan ayah. Ayah sudah
bersusah payah menyediakan biaya untuk menyekolahkan kita yang tentunya bukan
biaya yang sedikit menyekolahkan dua anaknya sekaligus di perguruan tinggi.
Kewajiban kita saat ini adalah kita bersekolah dan menyelesaikan pendidikan
dengan sebaik-baiknya. Kedepannya kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi
dengan kehidupan kita dimasa depan. Biarkanlah waktu berjalan dan kita
menjalaninya dengan sebaiknya-baiknya. Bila Allah mentakdirkan kita untuk tetap
bersama, Allah akan mengatur segalanya yang terbaik untuk kita dan akan
memberikan jalan.”
“Sejak
dulu aku ingin kuliah di Bandung bersamamu, Tan. Namun setelah ayah tahu kita berhubungan, ayah tidak setuju aku kuliah di Bandung. Ayah memutuskan aku harus kuliah di Jogya seperti ayah
dulu kuliah di Jogya. Itu cara ayah
untuk memisahkan kita. Kalau saja kau juga kuliah di Jogya bersama aku, aku pasti akan betah disana.”
Intan
tersenyum mendengar ucapan Bima. “Ayah sudah memutuskan yang terbaik untukmu,
Bima.”
“Aku
pasti tidak akan betah di Jogya. Aku pasti ingat kamu terus dan ingin sering mengunjungimu
ke Bandung.”
“Itu
ucapanmu sekarang, Bima. Kau yakin di Jogya kau tak akan betah? Hem, aku tidak
percaya dan tidak yakin. Disana kau kau akan menemukan banyak pengalaman baru
dan bertemu banyak gadis-gadis yang menarik dan akan membuatmu lupa pulang.”
Intan mencubit pipi Bima membuat pemuda itu jadi tersenyum.
“Tapi
pastinya tidak ada yang sepertimu.” Ucap Bima merajuk.
“Itu
gombal. Setelah kau tinggal di Jogya, pikiranmu akan segera berubah. Kehidupan
selalu menyediakan banyak pilihan buat kita. Bertemu dengan teman baru, tinggal dalam
lingkungan baru, bertemu dengan kehidupan sosial yang berbeda akan membuatmu berubah pikiran. Aku tak ingin kamu menjadi
lelaki cengeng, Bima. Kau tahu sendiri kehidupanku tidak seindah yang
kuinginkan. Namun aku selalu bersyukur aku punya ayah dan ibu Winda yang menyayangi aku seperti pada anak
kandungnya sendiri. Namun disisi lain aku tumbuh menjadi gadis yang sering merenungi
kehidupanku sendiri. Dapatkah kau mencoba sejenak saja menempatkan dirimu
seandainya kau yang menjadi aku? Aku tak
pernah tahu wajah ibuku yang telah melahirkanku, aku tak tahu dimana ayahku kini
berada. Namun kehidupanku harus terus berjalan. Aku tak boleh terus menerus
merenungi nasibku. Aku harus terus melangkah dan mengisi hidupku dengan
sebaik-baiknya.” Airmata Intan berlinang
membasahi pipinya.
Bima
memegang tangan Intan. “Intan, kau mau
menunggu aku hingga aku selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan? Setelah aku
mendapatkan pekerjaan, aku ingin segera menikah denganmu. Itu tekadku.”
“Ya,
Bima. Aku mau menunggumu. Berapa tahun aku harus menunggumu? Lima tahun hingga
kita selesai sekolah? Ataukah tujuh tahun? Ataukah sepuluh tahun?” Intan
memandang Bima terharu dengan kesungguhan pemuda itu.
“Aku
berjanji akan menyelesaikan kuliahku tepat waktu dan segera mencari pekerjaan.
Aku punya impian dan harapan indah bersamamu, Intan. Tidak
ada yang mudah didunia ini, Tan. Dan aku ingin engkau tetap percaya bahwa aku
mencintaimu dan siap menghadapi semua halangan dan rintangan yang akan kita
hadapi. Apa yang tengah kita hadapi saat ini adalah ujian untuk menguji
kesungguhan kita dalam menjalani hubungan ini.”
“Aku percaya padamu, Bima. Itu sebabnya aku mau
menunggumu.” Intan tersenyum dalam
deraian airmatanya.
“Sungguh?”
“Ya.”
“Walaupun
nanti ayah, ibu Winda dan mamaku tetap
tak akan menyetujui hubungan kita?” desak Bima.
“Itu
masalah nanti. Masalah kita sekarang adalah kuliah dan membuktikan pada
orangtua kita bahwa kita akan tekun menuntut ilmu. Oke?”
Bima
tersenyum. Dia memeluk Intan dan mencium pipinya. “Intan, tahu enggak, kenapa aku yakin bahwa masa
depanku akan bahagia bila bersamamu?”
“Pasti
gombal lagi.” Intan tertawa.
“Aku
serius, Tan. Aku tahu engkau akan selalu menjadi penyemangat dalam hidupku. Aku
percaya kamu, Tan. Kita bersama-sama sudah tidak terhitungan hari. Sejak kecil kita sudah
bersama. Dan engkau selalu hadir menjadi penyemangatku dikala aku tengah sedih atau terpuruk.”
Intan
hanya tersenyum mendengar ucapan Bima. Debur
ombak memecah pantai. Langit merah dengan lembayung. Beberapa nelayan tengah
menarik sampannya ketepi pantai. Bima
dan Intan berjalan disepanjang tepi pantai
sambil berpegangan tangan. Angin laut yang keras menerpa rambut mereka. Hidup
terasa indah saat tengah bersama seperti ini. Sayang segalanya sekarang akan
segera berakhir.
Bima
semakin erat menggenggam tangan Intan. Intan membalas genggaman tangannya.
Tuhan, andaikan kehidupan ini selalu sesuai dengan keinginan dan harapan,
rasanya aku tak ingin berpisah dengan Bima, aku hanya ingin terus sepanjang
hari bersamanya, menikmati hari-hari selalu bersama-sama seperti waktu-waktu
kami selama ini yang selalu bersama-sama. Langkah kakinya terasa lemah
mengikuti langkah kaki Bima yang terus melangkah sepanjang tepi pantai. Angin
laut terasa berhembus kencang. Keduanya saling berpegangan tangan erat. Rasanya
berat menghadapi perpisahan yang terpaksa harus dihadapi. Mata Intan memerah.
Dia ingin menangis. Namun dia tak ingin terlihat rapuh didepan Bima. Dia harus
terlihat tegar agar ketegarannya mampu membangkitkan semangat Bima kembali.
-----
0 ----
Intan
memasukan baju-bajunya kedalam tas besar
dan sebuah koper. Winda masuk kedalam
kamar anaknya. Winda duduk ditepi tempat tidur memperhatikan Intan yang tengah sibuk mengepak barang-barang yang akan
dibawanya.
“Intan,
ibu percaya engkau mengerti dengan
keadaan ini. Konsentrasilah dengan kuliahmu
di Bandung. Lupakan Bima.” Ucap Winda. Matanya merah bekas menangis. Sepanjang
hari ini dia menangis terus. Naluri keibuannya terasa terkoyak. Dia sangat
memahami bagaimana Intan dan Bima saling mencintai. Mungkin cinta itu sudah
jauh-jauh hari ada diantara mereka, jauh sebelum orangtua mereka menyadari hal
itu. Dan sekarang cinta itu terpaksa harus diputuskan. Sebagai orangtua, Gilar,
Ratna dan dirinya sangat khawatir dengan hubungan mereka. Namun sebagai seorang
ibu, dia sendiri tidak tega memutuskan cinta keduanya. Kenapa dia tak bisa
membiarkan cinta kedua anak itu terus tumbuh dan bersemi dengan indah. Mereka
tidak melakukan cinta terlarang. Hubungan Bima dan Intan hanyalah sebagai
saudara angkat saja. Mereka bisa terus melanjutkan hubungan mereka. Namun
Gilar, suaminya tak setuju dengan hubungan keduanya dan menganggap hal itu
sangat mencoreng kehormatan keluarga.
“Ya,
bu.” Intan menyahut pelan tanpa mengalihkan perhatiannya dari pekerjaannya.
Hanya beberapa setel baju yang dibawanya.
“Kau
kuliah di Bandung. Bima kuliah di Jogya.
Ini sesuai dengan keinginan ayah. Jarak akan membuat kalian saling melupakan.”
Ucap Winda. “Ayah tidak salah bila ayah menentang hubungan kalian. Walaupun kau dan
Bima tidak ada hubungan darah, namun sejak bayi kalian sudah saudara. Kalian
saudara angkat. Betapa malunya ayah dan ibu
bila kalian saling menjalin hubungan
sementara semua orang tahu kalian adalah anak ayah walaupun berbeda ibu.”
Bunyi sepasang ukiran merpati kayu yang tergantung dilangit-langit kamarnya
beradu lembut dihembus angin. Intan menatap sepasang merpati kayu itu. Sepasang merpati kayu yang diukir dengan
halus. Damanik, seorang pengukir, teman Bima,
membuatkan ukira sepasang merpati kayu itu untuk Bima. Bima
menghadiahkan ukiran sepasang merpati untuknya. Bima sendiri yang membuatkan
rantai pada sepasang merpati kayu itu dan menggantungkannya dilangit-langit
ditengah kamarnya. Bila angin berhembus, sepasang merpati itu beradu lembut.
Intan
memegang kedua merpati kayu itu dengan
kedua tangannya. Dia memanjat keatas kursi dan melepaskan kaitannya pada
langit-langit kamarnya. Dia akan
memasangnya dikamar kostnya di Bandung nanti. Dimasukannya sepasang ukiran merpati kayu itu kedalam kopernya.
Intan
memeluk Winda. Sepasang matanya membasah. “Ibu percaya padaku. Aku akan selalu
menuruti keinginan ayah dan ibu.”
Winda
membalas pelukan Intan. “Ibu percaya kamu, Intan. Kamu pasti bisa memahami
keinginan ayah. Semua tergantung kamu. Bila kamu menjauhi Bima, Bima pasti
tidak akan memaksamu. Bima pasti akhirnya akan mengerti juga bahwa hubungan
kalian ini sesuatu yang tidak mungkin.”
“Ya,
bu.” Intan menyahut lirih. Menahan rasa pedih yang terasa mengoyak dadanya.
Winda
tersenyum memeluk Intan. “Ibu tahu kamu pun mencintai Bima. Namun kau harus
memahami, jangan sampai cinta kalian membuat keadaan keluarga kita menjadi
kacau.”
“Ya,
bu.”
“Mang
Udin akan mengantarmu sampai ketempat kostmu di
Bandung. Lusa mungkin Bima pun akan berangkat ke Jogya. Kalian akan
belajar saling melupakan dan menghadapi kenyataan. Nanti kalian akan bertemu
dengan yang lain dan menjalin hubungan dengan yang lain.”
“Ya,
bu.” Intan melayangkan pandangannya keluar jendela kamarnya. Pada rumah
sebelah. Pada kamar dilantai atas yang jendelanya terbuka separuh. Itu kamar
Bima. Matanya membasah. Perlahan dia menutup jendela kamarnya dan menarik
gorden.
Mobil
sudah menunggunya dihalaman rumah yang akan mengantarnya ke Bandung. Winda
mengantar Intan sampai teras depan. Intan masuk kedalam mobil. Perlahan mobil itu meninggalkan halaman rumah.
Intan termenung didalam mobil. Matanya
melayang keluar jendela mobil. Airmatanya mengalir. Ini kali pertama dia jatuh
cinta, namun ternyata cintanya jatuh pada tempat yang salah.
Mang
Udin menyetir tanpa banyak cakap. Namun sesekali matanya melihat pada kaca dan
melihat Intan yang duduk diam dijok
belakang. Dari Minah, dia mendengar bahwa keluarga majikannya sedang galau
karena kedua anaknya saling mencintai. Dari Minah pula mang Udin baru tahu
bahwa sebenarnya Intan bukan anak kandung bapak Gilar dan bu Winda. Perasaannya
trenyuh. Intan gadis yang baik. Dan sekarang gadis yang baik itu tengah duduk
di jok belakang sambil melamun dengan tatapan yang sedih. Mobil melaju semakin
kencang. Mang Udin seakan turut merasakan kesedihan yang tengah dirasakan
Intan.
“Mudah-mudahan
kuliahnya segera selesai ya, neng.” Kata Mang Udin mengusik lamunan Intan.
Intan
tersenyum. “Kuliahnya juga baru mau masuk, mang Udin. Iya mudah-mudahan saya
bisa tepat waktu menyelesaikan sekolah saya.” Ucap Intan. Dia menghapus
airmatanya.
“Neng
jangan sedih begitu. Neng bisa sering pulang ke Sumedang bila neng mau.
Sumedang kan dekat dari Bandung.”
“Iya,
mang. Saya sedih karena saya pasti selalu kangen pada Sumedang.” Ucap Intan
lirih.
Mobil
melaju semakin kencang. Intan kembali melayangkan tatapannya keluar jendela.
Bukan meninggalkan Sumedang yang membuatku sedih dan menangis, mang Udin. Namun
perpisahan dengan orang yang kucintai yang membuatku sedih dan menangis. Intan
menghapus airmatanya kembali.
-----
0 -----
Bima
melewati ruangan tengah menuju kamarnya yang dilantai atas. Gilar, ayahnya
tengah duduk disana sambil merokok.
“Bima,
segala sesuatunya sudah kau persiapkan untuk keberangkatanmu besok ke Jogya?”
tegur Gilar ketika melihat anaknya berjalan melintas.
“Sudah,
yah.” sahut Bima.
“Ayah
yakin, kau pasti akan betah kuliah di Jogya. Ayah juga dulu kuliah di Jogya.”
Ucap Gilar seakan ingin mencairkan kebekuan hubungannya dengan Gilar yang
akhir-akhir ini terasa tegang.
Bima
tidak menyahut. Dia terus melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya. Gilar
ingin memanggil anaknya, namun Ratna, istrinya yang tiba-tiba muncul memberi
isyarat agar dia tidak banyak bertanya pada anaknya.
“Sudah,
yah. Biarkan Bima membereskan apa yang akan dibawanya ke Jogya besok.” Ucap
Ratna.
“Anak
itu marah sama ayah.” Ucap Gilar seperti kesal merasa tidak digubris oleh anak
laki-lakinya.
Ratna
tidak berkomentar. Dia menaruh secangkir kopi hitam yang masih mengepul panas diatas
meja dihadapan suaminya. Dia sudah malas membicarakan persoalan Bima dengan Intan yang terus menerus dibahas oleh
suaminya yang menjadi marah-marah terus.
Didalam
kamarnya dilantai atas, Bima mengepak baju-bajunya kedalam koper. Sesaat
dipandangnya sketsa-sketsa lukisannya yang belum selesai. Dia sudah kehilangan
semangatnya lagi untuk merampungkan lukisan-lukisannya yang biasanya dia
kerjakan diwaktu senggangnya. Biasanya Intan suka menemaninya menyelesaikan lukisan-lukisannya.
Namun kini gadis yang selalu menemaninya telah pergi lebih dahulu ke Bandung.
Mereka harus berpisah untuk waktu yang lama. Bima merenung sejenak. Akhirnya
dia mengumpulkan juga kuas-kuas dan peralatan melukisnya dan memasukannya
kedalam ranselnya. Siapa tahu di Jogya dia kangen ingin melukis dan bisa
mengisi waktu senggangnya dengan melukis. Siapa tahu melukis bisa melupakan
rasa kangennya pada Intan.
Bima
membuka jendela kamarnya. Matanya
melayang pada kamar dirumah sebelah yang juga terletak diloteng. Jendela
kamarnya berhadapan dengan jendela kamar itu. Kamar Intan. Kamar dirumah sebelah itu sudah terlihat sepi.
Lampunya padam. Gordennya tertutup rapat. Dia sudah tidak akan saling melihat
lagi bersama Intan. Intan sudah berangkat ke Bandung. Bima menarik napas dalam. Ratna, ibunya masuk
kedalam kamar. Ratna memperhatikan Bima
yang terlihat murung sambil memandang keluar kamarnya. Ratna tahu kemana
arah pandangan Bima. Dia mengelus bahu anaknya.
“Jangan
murung begitu, Bima. Intan sudah berangkat ke Bandung kemarin. Lupakanlah
Intan. Dia bukan gadis untukmu. Diluar sana masih banyak gadis lain yang akan
segera engkau temukan. Kuliahlah dengan
baik. Masa depanmu masih panjang. Di
Jogya kau pasti betah. Jangan kecewakan ayahmu, Bima.”
Bima
menatap ibunya. Dia duduk ditepi tempat tidur sambil memandang ibunya.
“Ma,
mama bilang aku jangan mengecewakan ayah? Namun ayah telah membuatku kecewa.
Apa salahnya aku dan Intan saling mencintai? Aku dan Intan hanya saudara angkat. Kenapa cinta kami harus
diputuskan dan dijauhkan seperti ini? Kenapa ayah dan mama tidak menyadari bahwa aku dan Intan
saling mencintai dan kami sudah berjanji untuk tetap bersama.”
“Jangan
dibahas lagi. Semuanya sudah selesai. Ini keputusan ayah, Bima. Demi kebaikan
kita semua.”
“Demi
kebaikan kita semua? Apakah dengan memisahkan aku dan Intan adalah
jalan yang terbaik? Kenapa sih Ma, aku dan Intan harus
dipisahkan seperti ini? Sejak dulu aku ingin sekolah di Bandung. Kebetulan Intan
pun ingin sekolah di Bandung. Kenapa aku
harus merubah keinginanku dan terpaksa harus kuliah di Jogya mengikuti kemauan ayah
hanya karena Intan kuliah di Bandung? Di Bandung pun banyak
perguruan tinggi yang menyediakan jurusan Ekonomi. Ini sangat menyakitkan
sekali buat aku.” Mata Bima memerah.
Perasaan
Ratna terasa disayat ribuan pisau tajam. Hatinya ikut terluka. Namun dia tak
berdaya melawan keputusan suaminya. Dia hanya sanggup menahan kesedihannya.
“Bima,
Mama tidak mau lagi membicarakan masalahmu dengan Intan. Masalahmu dengan Intan
sudah selesai. Kau sudah dewasa. Kau
sudah bisa mengerti dengan keputusan ayah ini. Mama tahu keputusan papa melukai
perasaanmu. Namun cobalah kau mengerti. Ayah sayang pada kalian semua. Ayah hanya ingin yang terbaik buat kalian berdua.”
“Belum,
ma. Masalahku dengan Intan belum
selesai.” Tukas Bima. Nada suaranya marah dan kecewa. “Apakah dengan memisahkan aku dan Intan
tinggal berjauhan seperti ini mama kira hubungan
aku dan Intan akan terputus begitu saja?”
“Bima,
ini sudah sesuai dengan keinginan ayah. Kau kuliah di Jogya dan Intan sudah
berangkat ke Bandung kemarin. Jangan membicarakan Intan lagi. Lupakan dia. Kau
akan bertemu banyak gadis lain di Jogya atau dimanapun juga. Kau bisa menjalin
hubungan dengan gadis manapun yang kau sukai, namun bukan Intan.”
“Ma,
apa salahnya aku dan Intan saling
mencintai? Apakah ada yang salah dengan cinta kami? Aku mencintai Intan dan Intan
pun mencintai aku. Aku dan Intan tumbuh bersama-sama sejak kecil. Aku tahu Intan
anak pungut ayah dengan ibu Winda. Dan cinta yang tumbuh dalam hatiku
telah ada sejak pertama aku mengenal cinta. Hatiku sakit kenapa orangtua tidak
mau memahami perasaan kami?”
“Bima,
bagaimanapun Intan adalah saudara angkatmu. Ayah pasti tidak setuju dengan pilihanmu. Sudah
sering mama ceritakan riwayat dimasa lalu ini berulang kali kepadamu. Dulu,
perkawinan ayah dengan ibu Winda sudah
berjalan belasan tahun dan belum juga dikaruniai anak. Lalu ayah menikah dengan mama. Pada malam saat mama baru beberapa jam
melahirkanmu, pada saat itu Arni, yang
tengah hamil tua dan melarikan diri dari rumah suaminya karena sering disiksa
suaminya, pergi kerumah ibu Winda dan
melahirkan Intan dirumah ibu Winda. Arni meninggal beberapa saat setelah
melahirkan Intan. Intan lalu diangkat
anak oleh ayah dan ibu Winda. Ayah pasti tidak setuju bila kau dan Intan menjalin hubungan karena bagaimanapun kalian
saudara angkat.”
“Ma,
aku dan Intan hanya punya hubungan sebagai saudara angkat
saja. Kenapa cinta aku dan Intan harus dihalangi dan dijauhkan seperti ini? Aku
terlahir sebagai anak mama dan ayah. Dan Intan terlahir sebagai anak angkat ayah dan ibu Winda. Ayah memiliki dua perkawinan. Perkawinan ayah dengan ibu Winda dan perkawinan ayah dengan mama. Kita memang satu keluarga, namun Intan
tetap sebagai saudara angkatku. Tidak
ada yang salah bila kami saling mencintai.”
“Bima,
ayah tidak setuju kau berhubungan dengan
Intan. Jangan menentang ayahmu, Bima. Ayah
sangat sayang pada Intan. Kau bisa
melihat sendiri bagaimana sayangnya ayah pada Intan, sama seperti ayah menyayangimu.
Namun ayah tidak ingin kau
menjalin hubungan dengan Intan. Carilah gadis lain, Bima. Siapapun gadis
pilihanmu, ayah dan mama pasti akan
menyetujui. Asal bukan Intan.”
“Ma,
aku bisa mencari gadis lain, namun aku belum tentu bisa mencintainya seperti
halnya aku mencintai Intan. Apakah cinta bisa dipaksakan?”
“Segeralah
berkemas. Begitu sampai di Jogya, kau pasti
melupakan Intan. Kau belum tahu bagaimana keadaan di Jogya nanti.
Terlalu banyak gadis yang bisa engkau pilih disana dan dijadikan kekasih atau
calon istrimu.”
“Tidak
akan. Aku akan bertahan dan menunggu hingga aku bisa kembali bersama Intan.”
Sahut Bima keras.
“Turutilah
keinginan papa, Bima. Mama tidak mau lagi membicarakan soal kau dan Intan.
Semuanya sudah selesai. Segera tidur.
Besok pagi kau sudah harus berangkat ke Jogya.”
“Ayah
sengaja ingin menjauhkan aku dengan Intan.”
Ucap Bima mulai uring-uringan lagi. “Sejak
dulu aku dan Intan sudah punya rencana
yang sama ingin kuliah di Bandung.”
“Mama
tidak ingin membicarakan masalahmu dengan Intan lagi. Besok malam kau sudah tiba di Jogya.
Jogya akan membuatmu berubah pikiran. Itu pasti. Mama dan ayah pasti akan menengokmu bila kau sudah berada di
Jogya.”
Ratna
keluar dari kamar anaknya. Bima membanting ranselnya dengan kesal. Dia sudah
membayangkan tidak akan sanggup betah di Jogya. Hatinya sudah tertaut di
Bandung sana bersama Intan.
-----
0 -----
Besok
paginya Bima sudah siap akan berangkat ke Jogya. Ratna mengantar Bima sampai
teras depan.
“Baik-baik
disana.” Pesan Ratna.
“Ya,
ma.” Sahut Bima tak bersemangat.
“Jangan
telat makan. Jangan tidur kelewat larut malam. Jangan terlalu sering begadang.
Melukislah bila ada waktu senggang, jangan sampai melukis membuatmu lupa
belajar. Ingat, kuliahmu lebih penting.”
Bima
hanya tersenyum mendengar ucapan ibunya.
Bima
berjalan melewati rumah Winda yang bersebelahan dengan rumahnya. Dia melihat
rumah itu. Dia melangkah masuk kedalam
rumah yang terletak disamping rumahnya. Dia berjalan lewat pintu samping.
Dilihatnya Winda tengah duduk termenung diteras belakang.
“Bu……
“
Winda
menatap Bima. Airmatanya berlinang melihat Bima.
“Bima,
kau berangkat ke Jogya sekarang?”
“Iya,
bu.”
Winda
memeluknya sambil menangis. “Maafkan ibu,
Bima.”
“Tidak
ada yang harus dimaafkan, bu.”
“Intan
sudah berangkat ke Bandung kemarin.”
“Ya,
aku tahu.”
Winda
mengelus rambut Bima yang gondrong.
“Ibu
memahami kegalauan perasaanmu, Bima. Ibu juga berada dalam posisi yang serba
salah. Namun ini keinginan ayah. Jangan sampai membuat ayah terus marah.
Turutilah keinginannya.”
“Aku
bersekolah ke Jogya bukan keinginanku, bu. Ini keinginan ayah.”
“Ayah
tak ingin engkau kuliah di Bandung bersama-sama dengan Intan. Ayah sangat cemas
melihat hubungan kalian selama ini. Itu yang jadi awal persoalannya.”
Bima diam.
“Bima,
ibu turut merasa bersalah dalam hal ini. Ibu tahu bagaimana kau dan Intan saling mencintai.
Sejak kalian kecil, ibu bisa merasakan kalian berdua saling menyayangi. Itu
sudah ibu lihat dan ibu rasakan sejak
dulu. Namun ibu tidak siap menerima
kenyataan ketika dimasa dewasa kalian, apa yang ibu lihat dan ibu rasakan sejak kalian kecil dulu itu menjadi
kenyataan.” Winda menangis.
“Ibu
sadar, cinta bisa tumbuh pada siapa
saja. Tidak ada yang salah dengan cinta kalian. Kau dan Intan hanyalah sebagai
saudara angkat saja. Tidak ada hubungan darah antara kalian. Hanya saja, karena
kau anak ayah dan mama Ratna, dan Intan anak angkat ayah dan ibu, apa yang semestinya bisa terjadi dan
menjadi hak kalian untuk bisa saling mencintai, tidak bisa diterima oleh ayah.”
“Bu,
sebetulnya aku sungguh sangat beruntung.
Dalam hidupku aku memiliki dua ibu. Yang satu ibu kandungku, yang satu lagi
adalah ibu tiriku, ibu Winda yang sangat
menyayangi aku. Mestinya aku sangat bersyukur dengan hal ini. Aku tak ingin
membuat mama terus bersedih. Aku akan pergi ke Jogya, kuliah disana seperti
keinginan ayah. Aku hanya ingin ayah tahu bahwa aku sayang ayah. Demi ayah aku rela
melepaskan keinginanku kuliah di Bandung dan kuliah di Jogya agar aku berjauhan
dengan Intan seperti keinginan ayah.”
“Maafkan
ayah, Bima. Kau jangan marah pada ayah. Ayah melakukan hal ini untuk kebaikan kalian semua.”
“Aku
tidak marah sama ayah, hanya aku tak mengerti kenapa ayah harus marah dan
melarang aku menjalin hubungan dengan Intan.”
Bima memeluk Winda. “Di Jogya aku pasti kangen pada ibu Winda.”
“Ibu
juga pasti akan selalu kangen padamu, Bima. Kabari ibu bila kau sudah sampai di Jogya.”
“Iya,
bu. Itu pasti.”
Keduanya
berpelukan. Sambil menangis, Winda mengelus kedua belah pipi Bima yang basah
oleh airmata.
Bima
naik bis menuju Jogyakarta. Sepanjang perjalanan Bima hanya melamun. Dia tahu,
dia tidak akan betah di Jogya. Minggu depan dia akan pulang lagi ke Sumedang.
-----
0 -----
Intan
membereskan barang-barang bawaannya
didalam kamar kosnya. Memasukan baju-bajunya kedalam lemari. Dia memasang
kaitan diatas langit-langit kamarnya dan menggantungkan rantai gantungan ukiran
merpati kayu dilangit-langit kamarnya. Dipegangnya sepasang
merpati kayu yang tergantung itu. Dia
tersenyum sedih. Bima, aku masih ingat. Suara
sepasang merpati kayu ini tiap kali
beradu dihembus angin selalu membuatku ingat kepadamu. Kau bilang, merpati satu-satunya binatang
yang tak pernah berganti pasangan. Intan tersenyum.
Pintu
kamar kosnya diketuk dari luar. Intan membuka pintu. Seorang gadis berparas manis berkulit
sawo matang dengan rambut hitamnya yang digelung, tersenyum sambil mengulurkan
tangannya.
“Halo.
Salam kenal. Penghuni kos baru ya? Namaku Lastri. Aku sudah setahun disini.
Ambil jurusan apa?”
“Ekonomi.”
“Sama.
Aku juga jurusan ekonomi. Aku kakak kelasmu dikampus. Semoga betah ya.”
“Terima
kasih. Namaku Intan.”
“Aku
dari Jogya. Kamu?”
“Sumedang.”
“Oh,
Sumedang. Kamarku tepat didepan kamarmu.
Kalau kamu membutuhkan bantuanku, ketuk
saja kamar yang ada didepan kamarmu ini ya. Ini kamarku.” Lastri menunjuk kamar
didepan kamar Intan.
“Oke.
Terima kasih, mbak Lastri.”
“Warung
nasi disebelah tempat kos ini tempat aku biasa makan. Aku jarang masak. Kalau
kau mau makan bareng aku, kau bisa memanggil aku.
“Oke,
aku masih membereskan barang-barangku dulu. Sebentar lagi beres. Setelah itu kita keluar
ya. Aku juga sudah lapar.”
Lastri
memperhatikan kamar Intan. Dia melihat sepasang merpati kayu yang tergantung dilangit kamar yang baru
selesai digantung Intan pada langit-langit kamar. Dia memegang sepasang merpati
kayu itu sambil tersenyum. “Cantik
sekali. Ukirannya sangat halus sekali. Pasti dibuat oleh seorang pemahat yang
sudah ahli.” Katanya.
Intan
tersenyum. “Itu pemberian Bima. Temannya yang membuatkan ukiran sepasang
merpati itu, dan Bima memberikannya padaku.”
“Siapa
Bima? Pacarmu?”
“Dia
saudara angkatku.”
“Oh,
pastinya dia sangat sayang kepadamu.” Lastri tersenyum.
“Begitulah.”
Sahut Intan. “Dia seumuran denganku. Sekarang dia kuliah di Jogya.”
“Oh
ya? Kau bisa ikut denganku bila aku pulang ke Jogya dan bertemu dengan saudara
angkatmu itu. Siapa tadi namanya? Bima? Nama yang bagus. Orangnya pasti gagah,
segagah namanya.”
“Kami
bisa bertemu di Sumedang.”
“Tidak
apa-apa sesekali kau mengunjunginya bila kau sedang ke Jogya. Bima pasti senang
bila dikunjungi saudaranya, bukan?”
Intan
tersenyum mendengar ucapan Lastri.
Lastri keluar kamar. Intan melanjutkan
kembali pekerjaannya. Intan menaruh
buku-bukunya diatas meja. Pekerjaannya akhirnya selesai juga. Dia keluar kamar
dan mengetuk kamar Lastri.
“Aku
sudah selesai beres-beres. Kita makan sekarang yuk.”
Lastri
membuka kamarnya. Intan masuk kedalam
kamar Lastri. Dia melihat batik tertumpuk rapi pada meja disudut kamar. “Apa
ini? Batik. Kamu jualan batik?”
“Ya. sambil kuliah aku jualan batik. Dikirim dari
Jogya. Ini batik tulis. Keluargaku di Jogya pedagang batik.”
“Orang
tuamu pedagang batik?”
“Pedagang
sekaligus perajin batik. Usaha turun temurun. Dari nenek buyutku semuanya sudah
berkutat dengan membatik.”
Intan
memperhatikan batik-batik yang bertumpuk dikamar Lastri. “Batikmu sangat
cantik-cantik.”
“Ini
batik tulis. Ini pesanan dosenku, Bu Marina namanya. Dia sangat suka batik
tulis.”
“Kau
bisa membatik?”
“Aku
sudah membatik sejak di sekolah dasar. Dilingkunganku, hampir semuanya bisa
membatik. Sejak kanak-kanak kami sudah diperkenalkan dengan kegiatan membatik. Kapan-kapan
kalau aku ke Jogya, kau ikut pulang bersama aku. Kau nanti bisa lihat kegiatan
membatik dirumahku.”
“Menyenangkan
bisa kuliah sambil mencari uang.”
Lastri
tertawa. “Aku sudah jualan batik sejak SMP. Saat ini berjualan secara online
merupakan sebuah pilihan untuk memasarkan jualan kita. Aku juga berjualan lewat
dunia maya, facebook. Hasilnya lumayan. Kita berjualan dengan menampilkan
foto-foto jualan kita.”
Warung
nasi itu tidak jauh dari rumah kos mereka. Tempatnya sederhana. Menu masakannya
beragam. Dan harganya sesuai dengan isi dompet mahasiswa yang terbiasa hidup
sederhana. Beberapa mahasiswa lain tengah makan disana. Suasananya cukup ramai.
“Aku
paling sering makan disini. Harganya cukup murah. Cocok dengan dompet mahasiswa
perantau seperti aku. Dan yang jelas disini selalu ada gudeg. Gudeg selalu jadi
salah satu menu pilihan aku. Kangen dengan kotaku. Tidak seenak gudeg dikotaku,
tapi lumayan untuk mengobati kerindukanku dengan kota kelahiranku.” Kata Lastri
sambil memilih tempat duduk dipojok.
Intan
duduk disamping Lastri. Mereka memesan makanan. Seorang pelayan mencatat
pesanan mereka dan pergi. Tak lama pesanan mereka sudah datang. Keduanya makan.
Selesai makan mereka jalan-jalan menikmati suasana jalanan di kota Bandung
menjelang sore. Malamnya Intan termenung sendirian didalam kamarnya. Dia
teringat Bima.
-----
0 -----
Bima
tiba di Jogya. Atas bantuan teman
ayahnya dia mendapatkan tempat kos yang tidak terlalu jauh dari kampusnya.
Rumah kosnya sebuah rumah tua yang terawat baik
dengan jendela-jendela yang
tinggi. Kamar kosnya sederhana dan tidak
terlalu besar namun cukup untuk menampung aktifitasnya sehari-hari termasuk
melukis. Bima membuka jendela kamarnya. Setelah
membenahi kamarnya, Bima keluar.
Bima melangkahkan kakinya disepanjang
jalan trotoar menelusuri jalanan menikmati suasana. Suasana Jogya yang ramai
membuatnya merasa akan betah. Setelah lelah berjalan-jalan tanpa tentu arah, dia
mampir diwarung makan sambil menikmati suasana disekitar jalanan dan
mendengarkan pengamen jalanan. Menu yang dipilihnya gudeg. Dia jadi teringat pada
Intan. Sambil makan, diambilnya teleponnya. “Halo. Intan, aku sudah tiba di Jogya.”
“Syukurlah.
Aku yakin kau pasti betah di Jogya.”
Intan tertawa.
Bima
tertawa. “Yah, akhirnya aku di Jogya. Bukan di Bandung seperti keinginanku
semula.”
“Bandung
atau Jogya tidak ada bedanya. Dimanapun tujuannya sama, kuliah.”
“Bedanya,
di Bandung ada kamu, di Jogya aku tak punya seseorang yang biasa menemani
hari-hariku. Ini sungguh tidak adil. Kita seperti boneka yang diatur ayah.”
“Nah,
mulai lagi membahas keputusan ayah. Ayah hanya ingin yang terbaik buat kita, Bima. Ayah
sangat sayang pada kita berdua.”
“Aku
habis jalan-jalan. Sekarang aku lagi di warung makan.”
“Makan
sama apa?”
“Gudeg
saja sama kerupuk. Sederhana ya? Air
tehnya manis. Aku harus membiasakan diri minum teh manis usai makan. Kalau
tidak mau pake gula, harus pesan sama pelayannya, minta teh tawar. Agar tidak
pakai gula. Tapi aku ternyata lebih enak minum teh manis. Membuat tubuh terasa
segar setelah makan.”
Intan
tersenyum. “Itu baru permulaan. Menyesuaikan diri dengan makanan di Jogya.
Nanti banyak hal yang harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
Bangun jangan kesiangan melulu. Mandi sehari dua kali. Dan cuci sendiri
pakaianmu. Kalaupun ada pelayan ditempat kosmu, luangkan waktu untuk mencuci
sendiri pakaianmu.”
Bima
tertawa. “Rasanya kau sekarang berubah menjadi cerewet. Oh ya, waktu tadi
jalan-jalan, aku melihat beberapa pelukis jalanan, mereka melukis dijalanan.
Ini menarik sekali. Intan, aku membawa peralatan melukisku, aku bisa kembali
melukis disini.”
“Kau
pasti akan bertemu banyak seniman di Jogya, Bim. Jogya gudangnya seniman. Kau bisa lebih mengembangkan bakatmu. Namun
jangan lupakan kuliahmu. Aku bangga bila engkau bisa terus mengembangkan
bakatmu sambil menyelesaikan kuliahmu. Juga buatlah ayah merasa bangga memiliki
anak lelaki sepertimu.”
“Aku
akan berusaha kuliah selesai tepat pada waktunya, aku hanya ingin kembali
bersamamu, Intan. Kita punya masa depan yang akan kita jalani bersama.”
“Semoga
Allah mendengar do’a dan harapanmu.” Ucap Intan.
“Kau
sendiri berdo’a dong. Masa aku saja yang rajin berdo’a?”
Intan
tertawa. “Kok berdo’a disuruh-suruh sih? Isi do’aku mungkin berbeda dengan
do’amu.”
“Memangnya
kau berdo’a apa?”
“Masa
aku harus mengumumkan isi do’aku padamu sih?”
Bima
tertawa. “Aku yakin kau pasti berdo’a yang terbaik untuk kita.”
“Tentu.
Itu pasti.” Intan tersenyum.
“Tan,
kamu tahu engga? Aku tiap saat kangen sama kamu terus.” Celoteh Bima.
“Hemmm…”
sahut Intan.
“Waktu
di Sumedang kamu sering mengomeli aku karena hampir tiap hari bangun kesiangan.
Di Jogya, aku malah kangen mendengarkan omelanmu itu.”
“Hemmm….”
“Kamu
tahu engga, aku suka marah sama kamu kalau kamu mencereweti aku terus, di Jogya
aku malah suka teringat terus bila tengah dicereweti kamu.”
“Hemmm….”
“Kamu
masih ingat engga, bila aku tidur kelewat larut malam, kau suka menimpuk
jendela aku hingga aku sadar sudah waktunya aku tidur, di Jogya aku berharap
ada yang menimpuk lagi jendela kamarku bila aku belum tidur juga padahal malam sudah
hampir lewat.”
“Hemmm….”
“Kenapa
sih kok tanggapanmu hemmm melulu? Apa kau tak percaya dengan kata-kataku?” Mendadak
Bima menjadi sewot.
“Aku
percaya karena memang semua yang kau ucapkan itu betul. Hanya aku pikir kukira
kau tak pernah mengingat saat-saat itu.” Intan tertawa.
“Tan,
kenapa ya semua kenangan bersamamu bermunculan lagi justru setelah kita
berjauhan.” Tanya Bima.
“Hemmm….”
“Kenapa
sih kau tak serius mendengarkan aku?” lagi-lagi Bima sewot.
“Aku
serius mendengarkan setiap kata yang kau ucapkan, hanya saja aku sedang
berpikir, apakah beberapa bulan lagi atau mungkin setahun lagi, apakah kau
masih akan mengucapkan kata-kata itu lagi kepadaku?”
“Maksudmu?”
“Hemmmmm…..”
“Aku
serius akan menimpuk kamu dengan bantal kalau kamu masih juga bilang hemmmmm.” Kali
ini suara Bima kedengaran geram.
“Timpuk
aja. Mana bisa kau menimpuk aku dengan bantal dari Jogya.” Intan tertawa
berderai.
“Kau
seperti tak percaya lagi padaku.” Gerutu Bima.
“Aku
percaya. Dan akan tetap percaya padamu. Hanya waktu mungkin yang akan
membuktikan apakah segalanya akan tetap sama seperti ini ataukah berubah.”
-----
0 -----
Dikamarnya
Bima termenung sambil menatap peralatan melukisnya. Bila tengah melukis dia
sering kali lupa waktu. Namun disana dia serasa menemukan dunianya. Diambilnya peralatan
lukisnya. Dia mulai melukis lagi. Pintu kamarnya diketuk dari luar. Arya, teman
kuliahnya, masuk kedalam kamarnya. Arya
tercengang melihat apa yang sedang dikerjakan Bima.
“Kau
pelukis rupanya?” ucap Arya.
“Hanya
kegiatan diwaktu senggang saja.” Sahut Bima.
“Kau
bilang ini kegiatanmu dikala senggang? Kau bercanda. Lukisanmu hidup dan ini
adalah goresan seseorang yang sangat berbakat.” Cetus Arya sambil memperhatikan
lukisan Bima.
“Bakat?
Aku kurang percaya dengan bakat. Aku melukis karena aku senang dengan lukisan.
Dari situ timbul keinginanku untuk belajar melukis. Aku berlatih dan sering
melukis walaupun mungkin aku tidak memiliki bakat.” Sahut Bima.
Arya
tertawa. “Berbakat atau tidak, yang jelas kau sudah bisa dikatakan sebagai
seorang pelukis. Aku akan memperkenalkanmu pada salah seorang pelukis
kenalanku. Barangkali kau bisa bertukar pikiran dengannya. Namanya Mas Pengkuh.”
Rumah
Pengkuh terlihat artistis sekali. Suasananya teduh dan nyaman. Banyak
pohon-pohon besar dihalaman depan rumahnya. Arya membawa Bima kerumah Pengkuh
dan memperkenalkannya pada Pengkuh. Perkenalan dengan Pengkuh membuat Bima
memiliki kegiatan lain. Selesai kuliah dia senang berkunjung ke rumah Pengkuh
dan memperhatikannya saat Pengkuh tengah melukis.
“Aku
sendiri punya mimpi, suatu saat nanti aku bisa melukis dan menjual lukisanku.”
Ucap Bima.
“Kenapa
tidak? Semuanya bisa berawal dari mimpi. Melukislah dan buatlah karyamu yang
terbaik. Suatu saat nanti akan banyak orang yang akan mencari dan membeli
lukisanmu.” Sahut Pengkuh sambil memperhatikan anak muda itu.
“Aku
memerlukan seorang guru agar aku bisa mewujudkan mimpiku.”
Pengkuh
menatap Bima, lalu tersenyum.
“Aku
selama ini melukis hanya sekedar melukis. Melihat mas Pengkuh melukis, aku
tahu, aku memerlukan seorang guru yang akan membawaku menjadi lebih baik. Guru
itu adalah mas Pengkuh.”
Pengkuh
tersenyum.
“Aku
bangga punya murid yang memiliki kemauan untuk belajar sepertimu.”
Sejak
hari itu, waktu Bima banyak dihabiskan dirumah Pengkuh. Dibawah bimbingan Pengkuh,
lukisan-lukisan Bima terlihat semakin hidup dan berkarakter. Pengkuh selalu
menjadi teman diskusinya. Bima sangat senang dipertemukan dengan Pengkuh.
Disela-sela waktu kuliahnya, dia semakin tekun menekuni hobinya melukis yang
sekarang bukan lagi sebagai hobi. Menjadi pelukis adalah tujuannya.
Diantara
teman kuliahnya, ada gadis manis bernama Ratih. Gadis berambut panjang itu
cantik dan menarik. Dari Arya, Ratih
tahu Bima seorang pelukis. Suatu hari, sepulang kuliah Ratih menemui Bima
dirumah Pengkuh.
“Aku
mendengar dari Arya katanya kau seorang pelukis.” Kata Ratih sambil
memperhatikan lukisan Bima.
Bima
hanya tersenyum. Ratih baik dan perhatian. Dia juga menyukai gadis itu. Namun
sayang, hatinya sudah tertambat pada Intan. Dia tak ingin mengkhianati cintanya
pada Intan. Dia ingin belajar setia. Walaupun kesetiaannya tergoda oleh bunga
lain. Namun dia akan mencoba bertahan.
Ratih
menaruh dua gelas plastik berisi jus jeruk dan jus melon.
“Hem,
aku membeli jus jeruk dan jus melon. Kau mau yang mana?” tanya Ratih sambil
menyodorkan kedua jus itu kehadapan Bima.
“Yang
mana aja deh.” Sahut Bima.
“Aku
mau kamu memilih.” Ucap Ratih sambil tersenyum.
“Aku
jus melon saja deh.” Sahut Bima sambil mengambil jus melon dari tangan Ratih
dan menyedotnya. Dingin dan segar.
“Kamu
di kampus kok dingin banget sih. Temanmu hanya Arya saja. Kenapa sih kau tidak
seperti yang lain? Bergaul dengan banyak teman. Belajar bersama dengan teman
lain, makan bersama dengan teman lain di kantin kampus. Atau kadang sepulang
kuliah jalan-jalan bareng rame-rame kesana kemari. Tapi kau hanya dengan Arya
terus. Apa tidak bosan? Aku aja bosan lihat kamu sama Arya terus?” celoteh
Ratih sambil memperhatikan Bima yang tengah mulai melukis lagi.
“Kan
sekarang temanku sudah bertambah. Engga melulu sama Arya terus.” Sahut Bima
santai sambil menggoreskan kuasnya.
“Oh
ya? Siapa temanmu itu?” tanya Ratih.
Bima
menoleh pada Ratih. Dan tersenyum. “Kamu.”
Ratih
mendadak tersenyum. Matanya berbinar senang. “Oh ya? Senangnya, akhirnya kau
punya teman lain selain Arya. Padahal aku sudah khawatir melihat kau selalu
nempel sama Arya terus. Dimana ada Arya disana ada kamu. Dimana ada kamu disana
ada Arya. Aku sudah berpikir,
jangan-jangan kau tidak suka pada gadis….”
“Pikiranmu
kacau. Nyatanya aku sekarang berteman denganmu.” Bima tertawa.
“Aih
senangnya punya teman seorang pelukis.” Kata Ratih. “Tapi aku pasti bosan bila
hanya duduk saja menunggu kamu menyelesaikan lukisanmu sepanjang hari.”
“Hem.
Yang engga bikin bosan itu ngapain misalnya?”
“Ya
banyaklah. Jalan-jalan kek. Atau makan diluar kek. Atau ngapain aja selain
duduk-duduk seperti ini.” Ratih tersenyum.
Sejak
saat itu Bima merasa hari-harinya berbeda dari hari-hari biasanya. Kini ada
Ratih yang selalu bersamanya. Dikampus mereka lebih sering bersama. Sambil
belajar sambil bertukar pikiran. Sambil makan sambil saling menyelami isi hati.
Ratih seorang penari. Dia sering
berlatih menari disanggar tarinya. Sesekali Bima mengantar jemput Ratih bila
sedang latihan. Dan menghadiri pagelaran tarinya. Dua bulan bersama-sama dengan
Ratih, Bima merasa perasaannya berbeda pada teman kuliahnya ini. Bukan hanya
perasaan pada seorang teman. Namun kini perasaannya telah berubah. Ratih telah
membuatnya jatuh cinta. Dan cintanya bersambut. Perlahan, Bima mulai bisa
melupakan cintanya pada Intan. Dia lebih menikmati hari-harinya bersama Ratih.
Dan mencoba merajut asa bersama teman kuliahnya ini. Dia teringat dengan keinginan ayahnya dan
kedua ibunya yang menghendakinya mencari gadis lain. Bukan Intan. Hatinya
terasa pedih. Namun ini kenyataan yang harus dihadapinya.
-----
0 -----
Telepon
dari Bima semula masih rutin menyapanya. Bahkan kadangkala sehari bisa sampai
beberapa kali Bima meneleponnya, hanya untuk memastikan dirinya baik-baik saja
atau hanya sekedar ingin tahu apa saja kegiatannya sehari itu. Hingga akhirnya hampir dua bulan lebih Bima tak
pernah meneleponnya lagi. Dia mencoba berulangkali menelepon Bima namun
teleponnya tak pernah diangkat. Bahkan pesan singkat pun tak pernah dibalas. Intan
merasa Bima telah melupakannya. Banyak syak wasangka yang memenuhi pikirannya
walaupun dicoba disingkirkannya. Dia percaya pada Bima. Dia masih percaya Bima
masih mencintainya. Dia masih percaya tak mudah bagi mereka untuk menghapus
rasa cinta yang ada dalam hati mereka. Namun kenyataannya benar saja syak wasangkanya,
ketika akhirnya Bima meneleponnya.
“Jogya
ternyata telah membuatku merasa betah dan nyaman, Intan. Aku betah dan
menikmati hari-hariku di Jogya. Kuliah, berkumpul bersama teman dan banyak
berdiskusi banyak hal. Aku punya teman, namanya Arya. Dia memperkenalkan aku
pada mas Pengkuh. Mas Pengkuh seorang pelukis. Karyanya banyak yang membeli. Aku
belajar melukis pada mas Pengkuh.” Cerita Bima setelah sekian bulan tak pernah
meneleponnya lagi.
“Jangan
sampai mengganggu kuliahmu, Bima. Kuliahmu lebih penting daripada
kegiatan-kegiatanmu yang lainnya. Ingat, ayah sangat mengharapkan kau bisa
menyelesaikan sekolahmu dengan baik.” Ucap Intan, berdegup senang mendengar
suara Bima terdengar lagi.
“Aku
bisa membagi waktuku. Sumpek dong bila aku hanya belajar melulu.”
“Aku
senang, kau ternyata tidak seperti yang aku bayangkan semula. Kukira kau tidak
akan kerasan di Jogya. Itulah kenapa ayah tahu apa yang terbaik buatmu. Ayah tahu kau pasti akan betah di Jogya karena ayah
juga bertahun-tahun kuliah di Jogya. Ayah
sudah tahu bagaimana suasana disana.
Jangan suka meremehkan pendapat dan keinginan orang tua. Orangtua sudah punya
pengalaman sementara kita masih mencari pengalaman.”
“Makin
lama kau kelihatan makin dewasa saja.”
“Sejak
dulu aku sudah dewasa. Masa tak kau sadari?” Intan tertawa. “Dan kau lupa
bercerita tentang satu hal lagi kepadaku…. “
“Apa?”
“Kau
pastinya sudah bertemu dengan gadis lain disana, dan kau sengaja tak mau
bercerita kepadaku.”
Bima
tertawa. “Bila aku cerita, apa yakin kau tak akan cemburu?”
“Tentu
tidak.” Sahut Intan tak pasti dengan apa yang diucapkannya.
“Ya.
Aku sudah bertemu seorang gadis. Cantik. Baik. Dan tentunya sudah membuat aku
bisa jatuh cinta.” Bima tertawa berderai. Terdengar riang dan gembira.
Terasa
ada sesuatu yang menusuk perasaannya. Intan tertegun sejenak. Bertahan sekuat
tenaga agar tidak terpengaruh dengan ucapan Bima, namun kenyataannya dia mendadak
merasa cemburu mendengar suara Bima yang terdengar begitu riang dan bahagia.
“Oh…
“
“Kenapa
hanya ‘Oh” saja? Kau senang bukan aku punya seseorang disini yang setiap hari
menemani aku?”
“Tentu
saja.”
“Kau
kedengarannya kurang gembira mendengar aku sudah punya seseorang disini.”
“Biasa
saja. Aku senang dan gembira. Akhirnya…..”
“Yah,
akhirnya kita memang harus menyadari bahwa keinginan ayah itu memang cukup rasional.
Ayah memisahkan kita juga rasional. Ayah ingin kita membuka mata dan pikiran
kita. Ternyata ayah benar. Bila kita tetap bersama, hubungan kita akan
mencoreng nama baik keluarga kita walaupun cinta kita tidak salah. Namun ini
adalah kenyataan yang harus kita sadari. Ayah ingin aku mencari gadis lain dan
engkau mencari pemuda lain. Aku sudah bertemu dengan Ratih. Bersama Ratih aku
akan mencoba melupakanmu. Dan akupun ingin engkau segera menemukan pemuda lain
dan melupakan aku.”
Setiap
kata yang terucap dari mulut Bima terasa bagaikan sayatan seribu pisau yang
menorah perasaannya. Tak diduga, Bima akan sanggup mengucapkan kata-kata itu
kepadanya. Lutut Intan terasa lemas. Dia terduduk dilantai kamarnya. Tangannya
menggenggam erat teleponnya.
“Ya,
Bima. Kau benar. Bersama yang lain, kita akan belajar saling melupakan……”
“Kau
senang mendengar aku sudah punya kekasih?”
“Ya.”
“Intan?”
“Ya.”
“Kau
baik-baik saja?”
“Ya,
aku baik-baik saja. Kau percaya padaku, Bima. Oke, aku senang bila kau senang
disana. Nanti aku telpon lagi ya. Bye.” Bergegas Intan menutup telepon.
Intan
termenung dengan air mata yang perlahan membasahi pipinya. Kenapa hatinya
merasa sedih mendengar cerita Bima? Bukankah dia yang selama ini selalu
menyemangati Bima bahwa di Jogya Bima akan bertemu gadis lain dan melupakannya?
Kenapa setelah Bima mendapatkan gadis yang lain, justru perasaannya terasa
sedih dan merasa kehilangan? Intan menatap keluar jendela kamar. Dia menghapus
airmata yang membasahi pipinya.
-----
0 -----
Disela-sela
waktu senggangnya, Intan belajar membatik pada Lastri. Lastri membawa peralatan
batik dari Jogya. Dibelakang rumah kost mereka ada teras. Disana Lastri suka
membatik. Intan semula hanya memperhatikan saja bila Lastri tengah membatik.
Namun akhirnya dia tertarik dan ingin belajar membatik. Ternyata membatik itu tidak mudah. Namun
Lastri sangat tekun mengajarinya.
“Aku
juga dulu waktu mulai belajar membatik, menemukan banyak kesulitan. Itu hal
biasa. Tidak ada orang yang pintar dan ahli dengan tiba-tiba. Semuanya
membutuhkan proses dan waktu. Begitu pula dengan membatik. Orang tidak akan
bisa belajar membatik hanya dengan sekali belajar. Membatik itu membutuhkan
ketekunan. Kau membutuhkan banyak waktu agar
benar-benar bisa membatik.” Ucap Lastri.
“Lastri,
kamu baik sekali. Aku sangat senang engkau memperkenalkan aku dengan kegiatan
membatik. Aku senang bisa belajar membatik padamu. Aku serius ingin benar-benar
bisa membatik.”
Lastri
menjadi temannya dirumah. Mereka sering makan bersama diluar atau jalan-jalan
dan nonton film. Lastri sudah lama menjalin hubungan dengan Eko, teman
kuliahnya. Mereka sama-sama berasal dari Jogya dan sekarang sama-sama kuliah di
Bandung. Bila tidak sedang bersama Eko, Lastri sering menghabiskan waktu
senggangnya dengan Intan.
-----
0 ----
Saat
liburan Intan ikut berlibur kerumah Lastri di Jogya. Di rumah lastri, Intan
melihat kegiatan para pegawai yang
tengah membatik. Beberapa wanita tengah duduk mencanting. Bau malam merebak
memenuhi halaman belakang yang dipakai sebagai tempat bekerja.
“Nah,
inilah kegiatan sehari-hari dirumahku, Intan. Kami memiliki pegawai dengan
tugasnya masing-masing. Ada yang mencanting, ada yang bertugas melakukan
pencelupan pewarnaan. Semua kegiatan itu adalah bagian dari usaha kami.”
Intan
menelepon Bima.
“Bima,
aku sekarang sedang berada di Jogya. Aku menginap dirumah Lastri. Lastri
temanku satu kos.”
“Intan,
aku minta alamat rumah Lastri. Aku akan segera menjemputmu. Aku ingin bertemu
denganmu.” Ucap Bima.
Ketika
Bima datang, Lastri tersenyum melihat Bima dan berbisik pada Intan.
“Intan,
aku tak akan menyalahkanmu bila kau jatuh cinta pada saudara angkatmu itu.”
Intan
tersenyum.
“Bima
mengajakku jalan-jalan. Aku pergi dulu, ya.”
Seharian
itu Intan dan Bima keliling-keliling Jogya naik motor. Mereka ke candi
Borobudur, ke candi Prambanan, makan di
angkringan dan menikmati suasana Jogya.
Intan tak bisa mengingkari, dia bahagia bisa bersama-sama dengan Bima kembali.
Walaupun hanya untuk beberapa hari saja. Dia pun melihat Bima kelihatan gembira
dan bahagia saat tengah bersama-sama dengannya.
“Aku
sangat senang bertemu kamu lagi.” Kata Bima.
Intan
tersenyum. “Aku tahu kamu sudah melupakan aku.”
“Bagaimana
aku bisa lupa? Aku setiap hari memikirkanmu.”
“Bagaimana
dengan gadismu? Ratih namanya, bukan?”
“Ya.
Aku masih berhubungan dengan dia. Aku sudah memberitahu ayah dan mama bahwa aku sudah memiliki seorang
kekasih di Jogya. Ibu Winda juga sudah
kuberitahu. Semuanya senang dan gembira.”
“Pastinya.”
“Dan
mereka semuanya tidak tahu bahwa aku menjalin hubungan dengan Ratih hanya untuk
melarikan kekecewaanku saja, Intan. Aku hanya ingin ayah tahu bahwa aku sudah tidak berhubungan lagi
denganmu.”
“Kalau
begitu kau mempermainkan Ratih.”
“Aku
tidak mempermainkan Ratih. Ratih baik dan perhatian padaku. Aku belajar
mencintai Ratih. Dan kenyataannya aku…. Aku tidak bisa, Intan.”
Bima
memegang tangan Intan erat. “Kenyataannya aku hanya mencintaimu, Intan.
Tunggulah aku hingga aku nanti selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Aku
akan segera melamarmu. Aku hanya ingin menikah denganmu, Intan.”
Intan
terdiam. “Itu masih lama, Bima.”
“Kau
tak mau menunggu aku?”
“Bukan
masalah aku mau atau tidak menunggumu, Bima. Namun aku khawatir, apa yang akan
kita perjuangkan akan sia-sia.”
Bima
mengajak Intan ke tempat kosnya. Intan takjub melihat lukisan-lukisan Bima yang
berserakan di lantai.
“Lukisanmu….
Ini luar biasa sekali, Bima. Aku takjub. Kau banyak kemajuan disini. Jogya adalah tempatmu yang sesungguhnya. Ayah tidak salah
memilihkan Jogya sebagai tempatmu melanjutkan pendidikan. Kenyataannya
disini kamu bisa lebih mengembangkan bakat melukismu. Aku suka sekali melihat
semua ini, Bima. Ayah pun pasti bangga
bila melihat karyamu ini.”
“Aku
sangat berterima kasih pada guruku, mas Pengkuh. Dia yang memberikan banyak
pelajaran dan menjadi kritikus bagi semua karya-karyaku.”
Intan
memperhatikan lukisan seorang gadis yang duduk ditepi pantai. Tatapan mata
gadis itu melayang jauh keseberang lautan. “Lukisan ini bagus sekali.”
Bima
tersenyum menatap Intan. “Itu lukisan kamu, Intan.”
“Lukisan
aku?”
“Kau
masih ingat waktu kita liburan ke Pangandaran? Kau duduk ditepi pantai.
Memandang jauh ke lautan. Seakan ada yang tengah engkau pikirkan. Saat itu aku
memperhatikanmu diam-diam dibelakangmu. Rambutmu yang tergerai tertiup angin
laut. Gaya dudukmu diatas pasir ditepi pantai. Tatapan matamu yang melayang
jauh. Semuanya itu masih terekam jelas dalam benakku. Dan aku menuangkannya
dalam lukisanku.”
Intan
memperhatikan lukisan itu. “Kau hebat, Bima. Kau bisa menjadi seorang pelukis
terkenal. Sudah ada yang membeli lukisanmu?”
Bima
tertawa mendengar pertanyaan Intan. “Di
Jogya gudangnya seniman lukis. Namun aku juga masih kecipratan rejeki. Ada
beberapa lukisanku yang sudah laku terjual. Jangan tanya berapa harganya. Aku
bukan seorang pelukis terkenal yang bisa mematok harga yang tinggi. Itu masih
lama.”
“Bima,
semua orang sukses memulai segalanya dari bawah dulu. Kau tak perlu berkecil
hati. Untuk sampai kepuncak gunung kita mesti menginjak dulu kaki gunung. Saat
ini mungkin lukisanmu belum bisa kau jual dengan harga tinggi, tapi tidak ada
yang tahu apa yang akan terjadi dengan dirimu dimasa depan. Aku bermimpi, suatu
hari nanti kau menjadi pelukis terkenal.”
Bima
tertawa. “Hidup memang perlu bermimpi dulu, Intan. Dari mimpi kita bisa
mengejar impian kita.”
Dihari
kedua Intan di Jogya, sepulang mereka berjalan-jalan dan kembali ke tempat kost
Bima, mendadak muncul seorang gadis manis dengan rambut panjang hitam kelam.
“Oh
Bima. Kau tak memberitahu aku bila kau sedang kedatangan tamu.” Ucap gadis itu
dengan wajah kurang senang.
Intan
menatap gadis itu dan bertanya dalam
hati. Dia menatap Bima. Pemuda itu sejenak seakan salah tingkah. Namun hanya
sejenak. Bima cepat menguasai keadaan dengan gayanya yang kalem.
“Ratih,
kenalkan. Ini Intan. Saudaraku yang kuliah di Bandung. Dia sedang liburan di
Jogya beberapa hari.” Kata Bima tenang.
“Oh,
saudara angkatmu yang pernah kau ceritakan padaku itu?” Ratih menatap Intan.
Dengan tatapan yang seksama.
“Intan,
ini Ratih.”
Kedua
gadis itu berjabat tangan. Intan merasa sikap Ratih terasa kaku. Mendadak
perasaannya menjadi tidak enak. Apalagi ketika kemudian Ratih tergesa-gesa
pamitan kembali.
“Diakah yang pernah kau ceritakan itu, Bim?”
“Ya.”
“Dia
cantik. Dia pasti cemburu melihatmu bersama aku.”
“Aku
nanti akan menjelaskannya pada Ratih.”
-----
0 -----
Malam
itu Ratih datang kembali ke tempat kost Bima. Wajahnya terlihat murung.
“Itukah
gadis yang pernah engkau ceritakan padaku, Bima?” tanya Ratih.
“Ya.”
Bima menyahut singkat dan merasa bahwa Ratih cemburu.
“Kau
bilang bahwa engkau sudah tidak ada hubungan apapun dengan saudara angkatmu
itu.”
“Dia
sedang liburan di Jogya dirumah sahabatnya.”
“Dan
engkau memberikan keistimewaan selama dia liburan disini. Mengajaknya
jalan-jalan, memberinya kenangan indah selama di Jogya sini.”
“Aku
hanya ingin menyenangkannya, Ratih. Dan ini tidak setiap hari. Baru kali ini
dia datang ke Jogya dan salahkah aku bila hanya beberapa hari saja mencoba
menyenangkan perasaannya selama dia berada disini?”
“Menyenangkannya
dan menghabiskan waktu bersamanya selama beberapa hari ini bersama dia? Aku tak
bisa menerima alasanmu, Bima. Aku tahu kamu masih mencintai Intan. Engkau tak
bisa membohongi aku. Aku tak pernah melihatmu sebahagia itu seperti ketika
engkau bersamaku. Aku tahu, aku selama ini sangat mencintaimu. Aku selalu ingin
memberikan banyak waktuku untukmu namun kau tak pernah punya waktu untukku.
Namun kini mataku melihat, untuk Kintan ternyata engkau memiliki banyak waktu.
Ini adalah kenyataan yang membuatku sadar bahwa ternyata engkau tak pernah
mencintaiku. Kau menjadikan aku kekasihmu karena engkau gamang dengan
perasaanmu. Pada siapa sebenarnya hatimu ingin diberikan.”
“Maafkan
aku Ratih bila aku membuatmu kecewa. Aku
sayang padamu. Tak pernah aku mengucapkan kata-kata yang akan membuatmu
terluka.”
“Aku
bisa merasakan kau memang sepertinya sayang padaku. Kau sangat sopan dan
santun. Namun aku tahu aku tak bisa dapat merengkuh hatimu. Apa yang kau
berikan kepadamu penuh dengan kehati-hatian. Kau seakan ingin menjaga
perasaanku agar aku jangan sampai terluka. Namun kenyataannya kau tak
mencintaiku.” Ratih menghapus
airmatanya.
Bima
hanya diam. Ratih mengambil tasnya dan bergegas pergi. Bima hanya menatap tanpa
beranjak dari tempat duduknya.
-----
0 -----
Bima
menemui Intan kerumah Lastri. Intan tengah membantu Lastri melipat-lipat batik.
Batik-batik cantik bertumpuk diantara kedua gadis itu. Keduanya terlihat
gembira. Ketika melihat kedatangan Bima, Lastri memberi isyarat pada Intan agar
menemui Bima. Rumah Lastri memiliki halaman yang luas. Ada kursi kayu dengan
meja yang terbuat dari kayu jati tua berukir didekat halaman. Intan mengajak
Bima duduk disana. Bima menceritakan pembicaraannya dengan Ratih. Intan
termenung mendengar cerita Bima tentang Ratih.
“Bima,
aku akan mencoba menjelaskan pada Ratih. Jangan sampai hubungan kalian menjadi
rusak gara-gara aku.” Ucap Intan pelan. Dia sendiri bingung dengan perasaanya
sendiri. Benarkah dia sudah tidak mengharapkan Bima lagi? Benarkah perasaan
cintanya kepada Bima sudah terpupus begitu saja? Kenyataannya dia tak bisa
mengingkari, dia bahagia bisa bertemu kembali dengan Bima dan melewatkan waktu
bersama dengan lelaki itu. Kebahagiaan yang sama yang pernah dirasakannya
ketika mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama ketika masih di Sumedang
dulu.
“Tak
ada yang perlu dijelaskan pada Ratih. Dia sudah tahu bahwa aku memang tidak
mencintainya. Aku tak ingin membuatnya semakin sakit hati, Intan.” Ucap Bima
pelan. Dia menatap Intan. Menatap dengan cara yang sama seperti dulu.
“Besok
aku akan kembali ke Bandung. Aku sangat menyesalkan kejadian ini, Bima. Aku tak
bermaksud menyakiti perasaan Ratih. Aku bisa memahami perasaannya. Dia pasti
cemburu melihat engkau bersama aku. Aku bersalah. Tak seharusnya aku
memberitahumu aku berada di Jogya.”
“Aku
pasti kecewa bila kau tak memberitahuku bila kau tengah berada di Jogya. Kita
selama ini terpisah cukup lama. Baru sekarang kita bisa bersama-sama lagi. Aku
senang bisa bersama-sama denganmu lagi walaupun hanya sebentar saja.” Ucap
Bima. “Besok aku akan mengantarmu sampai statsiun.”
“Tidak
usah.”
“Aku
besok akan menjemput kalian berdua. Aku akan meminjam mobil Arya dan
mengantarkan kalian hingga ke statsiun.” Kata Bima.
Intan
tersenyum. “Aku senang kau kelihatannya betah disini. Ayah dan ibu kita pasti
kangen padamu karena kau jarang pulang ke Sumedang.”
Pagi-pagi
Bima sudah berada dirumah Lastri. Dia meminjam mobil tua Arya dan mengantarkan Intan
dan Lastri sampai statsiun.
“Aku
bisa memahami bila kau jatuh cinta pada saudara angkatmu itu.” Ucap Lastri setelah
mereka duduk didalam kereta dan
memperhatikan Bima yang masih berdiri dipinggir statsiun menunggu mereka hingga
kereta berangkat.
Intan
memperhatikan Bima. Perasaannya terasa pedih.
“Cinta
memang tak akan bisa berdusta. Aku tahu kau dan Bima saling mencintai. Terjang
saja segala halangan dan rintangan. Bukankah cinta membutuhkan juga halangan
dan rintangan untuk menguji kesungguhan cinta kita?”
Kereta
api bergerak perlahan. Intan melambaikan tangannya pada Bima. Bima membalas
lambaian tangannya. Intan sadar, dia memang mencintai Bima dan sulit baginya
mencari pengganti lelaki itu seandainya dia bertemu dengan lelaki lain
sekalipun. Airmatanya mendadak akan runtuh. Dia teringat pada ayah yang sangat
menyayanginya. Hatinya tak rela bila dia harus melukai perasaan ayahnya
walaupun dia mencintai Bima.
-----
0 -----
Ibunya
menelepon Bima mengabarkan ayahya sakit. “Ayah sakit. Pulanglah. Ayah ingin
bertemu denganmu.” Kata Ratna.
Ketika
Bima pulang ke Sumedang, dia melihat
ayahnya yang tengah terbaring sakit.
“Kau
menjadi pelukis? Apakah pekerjaan itu memberikan masa depan buatmu?”
“Melukis
panggilan hati, yah. Aku akan menekuni melukis sebagai profesiku kelak.”
“Bagaimana
kuliahmu? Ayah tetap ingin kau
menyelesaikan kuliahmu.”
“Kuliah
saya pasti akan selesai, Yah. Saya bertanggungjawab dan tetap akan
menyelesaikan sekolah saya.”
“Ayah
ingin engkau bekerja dikantoran. Bekerja dikantoran masa depanmu lebih jelas.
Melukis hanya sebagai hobi saja.”
“Ayah
segera sembuh. Ayah tak usah khawatir dengan masa depan saya. Saya bertanggung
jawab dengan masa depan saya sendiri.”
Dikamarnya,
ibunya menemuinya.
“Jangan
membuat ayah kecewa, Bima. Ayah ingin engkau menyelesaikan sarjanamu, lalu
melanjutkan kembali pendidikanmu. Ayah ingin engkau bekerja dikantoran.”
“Ma,
kenapa sih harus selalu bekerja dikantoran saja? Untuk sekedar gengsi? Lapangan
kerja masih terbuka luas, bukan hanya sebagai pegawai kantoran saja. Banyak
sarjana menganggur justru karena selalu bermimpi ingin menjadi pekerja
kantoran. Aku akan tetap menekuni melukis. Apapun yang akan kuhadapi nanti, aku
yakin aku bisa hidup dengan melukis.”
“Oh,
Bima. Kau hanya akan membuat ayah merasa kecewa. Menjadi pelukis? Dan berjualan
lukisan? Pikirkan lagi. Segera selesaikan kuliahmu dan segera mencari pekerjaan
yang layak.” Tukas ibunya.
“Oh
ya, ayah bilang mobil yang hitam itu bawa saja olehmu. Sudah sejak lama ayah
menyuruh mama memberikan kunci mobil itu kepadamu untuk membantu kegiatanmu
sehari-hari disana. Sengaja mama tahan. Mama ingin engkau mandiri.” Ratna
menyerahkan kunci mobil pada Bima.
“Tidak
usah, ma. Aku bisa naik motor kemana-mana.”
“Motormu
tinggalkan disini. Motor itu sudah tua. Bawalah mobil itu.” Ratna mengambil
kunci motor dan menaruh kunci mobil diatas meja.
Bima
hanya diam saja. Bukan ini yang kuminta. Aku hanya ingin ayah setuju aku
menikah dengan Intan. Namun kalimat itu ditelan kembali.
-----
0 -----
Waktu
begitu cepat berlalu. Empat tahun seakan kilatan cahaya. Hari berganti begitu
cepat. Tak terasa Intan sudah lebih dahulu menyelesaikan pendidikannya. Dia
kembali ke Sumedang. Disusul Bima. Mereka kembali menempati kamar mereka masing-masing.
Tak ada pembicaraan lain selain topik mendapatkan pekerjaan setelah selesai
kuliah dan menikah. Tak pernah sekalipun orangtua mereka membicarakan lagi
mengenai hubungan Bima dan Intan. Mereka mengira bahwa dengan panjangnya
perjalanan waktu dan terpisah cukup lama, Bima dan Intan sudah bisa saling
melupakan dan menemukan cinta yang lain. Kenyataannya mereka keliru. Bima dan
Intan masih saling memperhatikan.
Bima
memperhatikan Intan yang tengah membatik. Dia melukis Intan yang tengah
membatik. Intan dilukiskan memakai kain dan kebaya dengan rambutnya yang diikat
diatas membentuk sanggul. Ketika lukisan itu telah selesai, Intan memajangnya
di ruangan tempat dia menyimpan batik.
Suatu
hari seorang pengusaha bernama Andika melihat lukisan itu dan membelinya. Dari
Andika yang memiliki gallery lukisan, datang permintaan untuk melukis dengan
latar kegiatan membatik.
“Ini
menarik sekali. Lukisan dengan latar kegiatan membatik.” Kata Andika.
Intan
mendiskusikan hal itu pada Bima memacu semangat Bima untuk terus berkarya.
Gilar yang melihat apa yang dikerjakan Bima dan Intan akhirnya mendukung usaha
kedua anaknya itu. Paviliun disamping rumah dibenahi. Dua buah ruangan
dibongkar menjadi satu hingga menjadi ruangan yang cukup luas untuk menjual
batik dan memajang lukisan. Pengunjung bisa datang untuk melihat batik
sekaligus lukisan.
-----
0 -----
Winda
memperhatikan Bima dan Intan sepertinya sudah tidak bisa dipisahkan lagi. Dia
sedih dengan keadaan ini. Begitu sulitkah bagi kedua anak itu untuk menemukan
cinta yang lain diluar sana?
“Ayah,
haruskah kita tetap bertahan dengan penentangan kita pada mereka? Bima dan Intan
saling mencintai sejak lama. Keteguhan mereka yang tak bisa mencari yang lain
sudah cukup membuka mata kita bahwa mereka berdua saling menunggu.” Kata Winda
akhirnya setelah tak bisa lagi menahan perasaannya.
Gilar
melayangkan pandangannya keluar jendela. Dari loteng rumahnya dia melihat Intan dan
Bima yang tengah sibuk mengatur ruangan faviliun samping keluar masuk favilliun.
Keduanya terlihat gembira bersama-sama.
“Lihatlah
mereka. Mereka kelihatan bahagia sekali. Pernahkah kita melihat Bima segembira
itu? Bima menemukan kegembiraannya bila tengah bersama dengan Intan. Dan ini
sudah sejak lama kurasakan. Jauh sebelum mereka tumbuh dewasa.” Ucap Winda.
Tatapan matanya ikut melayang kebawah. Pada Bima dan Intan yang tengah berada
di faviliun samping rumah.
Maafkan
ayah, Bima. Selama ini ayah terlalu egois dan tak mau memahami perasaan kalian
berdua. Gilar menangis. Dia merasa bersalah pada kedua anaknya.
Winda
mengelus bahu suaminya. “Seringkali apa yang terjadi tidak sesuai dengan
harapan kita. Kita harus sadar bahwa segala sesuatunya sudah ada yang mengatur.
Bagaimanapun kita mencoba memisahkan mereka berdua, namun kenyataannya mereka
tetap bertemu dan bersama lagi. Ini yang harus kita sadari. Sebelum akhirnya
kita menyesal sendiri dengan apa yang sudah kita lakukan buat mereka berdua.”
-----
0 -----
Hubungan
Lastri dan Intan tidak putus walaupun mereka sudah sama-sama lukus dan kembali
ke kota kelahiran mereka masing-masing.
“Lastri,
aku mengembangkan usaha batik. Aku sangat berterima kasih kepadamu. Kau
mengajarkan aku membatik. Aku ingin mengembangkan usaha sendiri di kotaku di
Sumedang. Sumedang bukan daerah dengan tradisi membati. Saat ini ada beberapa
perajin yang sudah membuka usaha sebagai perajin batik. Namun jumlahnya masih
bisa dihitung dengan jari. Ini peluang usaha buatku.” Kata Intan mengabari
sahabatnya semasa kuliah.
“Aku
mendukungmu. Bila kau perlu bantuan jangan segan menghubungi aku. Mengembangkan
usaha batik kau membutuhkan pekerja yang sudah terlatih. Aku bisa membantumu.
Beberapa pegawaiku bisa aku kirim ke tempatmu untuk membantu usahamu sekaligus
memberikan pelatihan.” Kata Lastri.
“Aku
ingin mencoba mengembangkan batik motif daerah. Untuk saat ini aku masih
kesulitan untuk memproduksi sendiri. Bagaimana bila kita bekerja sama. Kau yang
memproduksinya ditempatmu dan aku mencoba mengenalkan dan memasarkannya?”
“Dengan
senang hati. Kita mulai dengan membicarakan motif.”
Hampir
setiap hari Lastri dan Intan berkomunikasi membicarakan motif yang akan mereka
buat.
“Motif-motif
bunga Wijayakusumah, bunga teratai, kujang, kereta nagapaksi, kuda renggong,
hanjuang, daun boled, adalah motif-motif yang akan kita buat. Aku akan kirim
gambarnya lewat ponsel. Kau bisa melihat motif yang aku buat. Mana
yang perlu dikoreksi dan diperbaiki.”
Beberapa
motif selesai dibuat.
“Aku
sudah selesai memesan cantingnya. Yang akan kita produksi adalah batik cap
kombinasi tulis.” Kata Lastri.
“Untuk
produksi pertama, kita buat seratus potong dulu. Dengan beberapa motif. Aku
sendiri akan mencoba membuat motif-motif yang sama disini.”
Kerjasama
dengan Lastri membuat Intan bisa lebih leluasa mengembangkan usahanya.
-----
0 -----
Bima
memperhatikan motif-motif batik di gallery Intan. “Seni lukis dan membatik bisa
dipadukan. Sekarang banyak inovasi membatik dengan menerapkan seni lukis pada
batik.”
Intan
memperhatikan Bima mengerjakan seni lukis batik. “Seni lukis batikmu punya nial
jual, Bima.”
“Kau
bisa menjualkannya untukku?”
“Akan
aku coba.”
Intan
memajang seni lukis itu pada facebooknya. Salah seorang teman fesbuknya melihat
lukisan itu. Namanya Bismet. Bismet meminta teleponnya. Dia datang dan membeli
lukisan itu. Kedatangan Bismet bukan
hanya itu. Dia tertarik pada Intan. Intan sendiri menyukai Bismet. Hubungan
mereka semakin dekat. Hampir setiap waktu Bismet mengunjungi Intan. Intan
kelihatannya senang dan bahagia dekat dengan Bismet. Bima merasa tersisih
dengan kehadiran Bismet. Apalagi Bismet menunjukan keseriusannya dalam
mendekati Intan. Bima tahu hubungan Intan dengan Bismet semakin dekat. Dia
cemburu. Dan akhirnya dia berhenti melukis.
“Jujur,
aku tak bisa mengandalkan hidupku dari melukis. Aku akan mencari pekerjaan di
Jakarta. Atau kembali ke Jogya.” Kata Bima suatu hari dengan wajah muram.
“Lukisan-lukisanmu
laku, Bima. Ini permulaan yang bagus. Memang sangat sulit menjual lukisan. Tapi
lukisanmu mulai dikenal orang. Dan Bismet bilang……”
“Kenapa
selalu saja membawa-bawa nama Bismet dalam pembicaraan kita?”
“Oh,
kau tak suka pada Bismet? Dia seorang pengusaha. Dan dia ternyata bisa
menjualkan lukisanmu pada rekan-rekannya.”
“Aku
tidak bilang aku tidak suka pada Bismet. Namun aku merasa rasanya aku jadi ikut
mengandalkan hasil jualanku pada Bismet. Aku tak suka dengan kondisi seperti
ini. Tanpa Bismet pun aku bisa menjual lukisanku sendiri.”
Intan
terdiam. Dan mencoba mengerti.
Bima
mencari pekerjaan. Lamarannya diterima pada salah satu perusahaan pengembang di
Jakarta. Dia pergi ke Jakarta tanpa memberitahu Intan. Intan merasa Bima marah
dan kecewa kepadanya. Namun dia tak bisa berbuat apa selain menerima keadaan
itu. Dan tetap mengurus usaha batiknya. Walaupun ada perasaan kehilangan karena
sudah tidak ada Bima lagi yang menemaninya dalam menjalankan usahanya ini. Bila
ada lukisan Bima yang terjual, dia mentransfer uangnya ke rekening Bima.
“Kau
masih tertarik untuk kembali melukis?” Intan menelepon Bima suatu hari.
“Aku
sudah bekerja. Aku lebih baik menekuni pekerjaanku dan berkarier dengan baik.”
Sahut Bima datar.
Intan
tidak tahu, sepulang kerja, Bima semalam suntuk hingga pagi menyelesaikan
lukisan-lukisannya. Kamarnya penuh dengan lukisan-lukisan. Dia hanya
menyimpannya dan berharap suatu saat dia akan mengirimkannya pada Intan. Dia
menahan rasa rindunya. Dia tak ingin terluka. Hubungan Intan dan Bismet
terlihat serius. Karena itu dia mencoba menghindar dari Intan.
-----
0 -----
Bismet menatap cincin yang telah dipersiapkannya
untuk Intan. Dia tak akan menyerahkan cincin itu buat Intan. Intan tidak
mencintainya. Cinta Intan untuk Bima. Andaikan Intan dan Bima dipisahkan ribuan
kilometer antara dua benua, cinta mereka tak akan pernah terpisahkan lagi. Berbulan-bulan lamanya dia mencoba merajut
harapannya bersama Intan. Dia yakin, cintanya pada gadis itu akan sanggup
meluluhkan perasaan gadis itu. Intan baik dan perhatian. Dia menikmati
hari-harinya bila tengah bersama Intan. Intan pun seorang teman yang enak
diajak diskusi. Bersama Intan dia menemukan seorang kawan bicara yang
menyenangkan dan tidak kaku. Dia merasa yakin bahwa Intan adalah gadis yang
dicarinya selama ini. Gadis yang akan mendampinginya hingga masa tua nanti. Namun
kenyataannya dia merasa kecewa ketika dia mendapati kenyataan bahwa Intan masih
memikirkan Bima.
“Maafkan
aku, Bismet. Aku mungkin mencintaimu, namun kenyataannya aku tak bisa melupakan
Bima. Dia begitu marahnya pada aku sehingga dia kini bahkan tak mau pulang
karena bila pulang dia pasti akan bertemu dengan aku.” Ucap Intan suatu hari.
Perasaan
Bismet tersingggung mendengar ucapan Intan. Saat itu juga dia memutuskan tak
akan menemui gadis itu lagi. Saat hatinya tengah kecewa oleh Intan, justru dia menemukan
cintanya bersama Della. Della selalu ada
untuknya. Orangtuanya tidak salah telah memilihkan Della untuknya. Pilihannya
sendiri kenyataannya membuatnya sering sakit hati. Bila dia mencintai gadis
lain belum tentu dia mendapatkan perhatian yang begitu besar seperti della
memperhatikannya.
“Aku
mungkin bukan wanita terbaik yang pernah engkau kenal, namun aku selalu ingin
memberikan yang terbaik untukmu, Bismet.” Ucap Della. Lembut dan keibuan.
Bismet sadar, Della-lah untuknya.
------
0 -----
Lima
tahun berlalu. Intan masih meneruskan usahanya menjadi pengusaha batik. Intan
dan Lastri masih sering berhubungan. Bila ada waktu, Intan suka pergi ke Jogya
dan melihat kesibukan Lastri sebagai pengusaha batik.
“Akhirnya
batik juga yang jadi pekerjaanku. Aku tak bisa meninggalkan usaha keluargaku
ini. Kau lihat, dari sehelai batik ini banyak menyerap tenaga kerja. Aku harus
menghidupi banyak pekerja yang selama bertahun-tahun lamanya mengabdikan
dirinya bekerja pada keluargaku. Ibuku sudah tua dan sudah ingin beristirahat.
Aku tak mencari pekerjaan kantoran. Aku memilih meneruskan usaha keluargaku
ini. Dan kenyataannya aku nyaman dengan pekerjaanku ini.”
Lastri
telah menikah dengan Eko, kekasihnya semasa kuliah dulu. Mereka sudah punya
anak. Intan melihat kehidupan Lastri dan Eko terlihat tentram dan bahagia.
“Kapan
kau menyusul?”
“Belum
ada jodohnya.”
“Bagaimana
dengan Bima?”
“Dia
sudah bekerja di Jakarta. Aku sendiri jarang bertemu dengan dia.”
“Yang
namanya jodoh tidak akan kemana. Bila memang Bima jodohmu, dia pasti akhirnya
akan kembali kepadamu.”
“Aku
tak mau terlalu banyak berharap. Sudah terlalu lama aku dan Bima tak pernah
lagi membicarakan antara aku dan dia. Mungkin Bima sudah menemukan wanita lain.”
“Apakah
Bima pernah membawa seseorang yang diperkenalkan secara istimewa pada
keluargamu?”
“Kurasa
belum pernah.”
“Barangkali
Bima pun sulit menemukan wanita yang cocok dengan dirinya. Setiap orang
mencari-cari pasangan hidupnya. Dan perjalanan setiap orang tidak sama. Ada
yang jalannya lebih pendek dan langsung menikah. Ada yang jalannya panjang dan
penuh liku sebelum akhirnya menemukan tambatan hatinya. Tiap orang punya
jalannya masing-masing.”
-----
0 ----
Bima
menikmati kesibukannya bekerja pada sebuah perusahaan pengembang di Jakarta. Kesibukan yang membuatnya lupa untuk
memikirkan seorang wanita. Berulangkali Ratna dan Winda menanyakan hubungan
Bima dengan calon pasangan hidupnya. Namun jawaban Bima seakan tidak memuaskan.
Winda khawatir Bima menjadi patah hati karena cintanya yang ditentang bersama Intan.
Ketika Bima pulang, Winda mencoba bicara.
“Ibu
sudah ingin melihatmu menikah, Bima.”
“Belum,
Bu.”
“Sudah
adakah gadis yang serius ingin kau nikahi?”
Bima
hanya tersenyum.
“Kecemasan
itu selalu ada dalam hati ibu. Juga mungkin dalam hati mama Ratna dan ayah.
Kami khawatir kau patah hati.”
“Hatiku
sejak dulu sudah patah, bu. Bila saat ini membicarakan masalah patah hati,
semuanya sudah lewat.” Bima tersenyum. Senyum pedih.
Airmata
Winda berlinang. Dia memahami perasaan Bima.
“Bima, usiamu sudah cukup untuk berumah
tangga. Selama ini ayah tak pernah
melihatmu membawa gadis kerumah.”
“Belum
ketemu saja dengan jodohnya, yah.”
“Bima,
apakah kamu masih memikirkan Intan?”
“Kenapa
ayah bertanya begitu?”
“Ayah
khawatir, kau tak pernah berhubungan dengan gadis lain karena hanya Intan yang
ada dalam hatimu.”
“Ayah,
andaikan aku berbicara jujur pada ayah, apakah ayah akan setuju? Apakah bila
aku mengatakan bahwa memang hanya Intan yang ada dalam hatiku ini apakah hati ayah
akan luluh? Terlalu panjang perjalananku selama ini. Namun aku selalu menyimpan
semua ini sendirian saja.”
Gilar
menangis. “Maafkan ayah, Bima. Sungguh ayah merasa sangat berdosa selama ini
telah memisahkan kalian berdua. Bila memang Allah mentakdirkan kalian berjodoh,
ayah memberikan restunya kepada kalian.”
-----
0 -----
Ketika
Bima pulang ke Sumedang, Intan masuk ke kamar Bima. Dia melihat begitu banyak lukisan
yang selama ini tak pernah diperlihatkan Bima kepadanya.
“Aku
masih tetap melukis. Semua ini lukisanku yang aku simpan selama dua tahun ini.
Aku menyimpannya untukmu.” Ucap Bima pelan.
“Kenapa
kau tak pernah menyerahkannya kepadaku?
Aku bisa menjualkan lukisanmu. Banyak yang suka menanyakan lukisanmu.”
“Aku
tak ingin menyerahkan lukisan lagi
kepadamu bila hanya membuat hatiku luka.”
“Kau
cengeng.”
“Laki-laki
juga bisa menangis, Intan.”
“Aku
ingin engkau lelaki tegar.”
“Aku
berjuang dengan hidupku. Namun salahkah bila dalam hidupku ada saat-saatnya aku
ingin menangis dan menumpahkan perasaanku dengan airmataku?”
Intan
memegang tangan Bima. “Aku kenal kamu selama berpuluh tahun lamanya, sejak kita
masih sama-sama kecil, kita sudah bersama dan saling mengenal. Jangan simpan
airmatamu. Kau percaya padaku, kan?”
Keduanya
berpelukan. Dan sama-sama menangis. Pedih.
-----
0 -----
Mereka
bertemu di Bali tanpa sengaja. Intan menghadiri pameran batik di Bali bersama
Lastri, diajak Lastri. Sementara Bima tengah mendapat tugas dari kantornya.
Mereka bertemu di hotel yang sama. Dari
Bali keputusan itu diambil.
“Aku
tak tahu kau berada di Bali.” Kata Bima.
“Aku
kerja sambil liburan.”
“Kapan
kau akan pulang kembali ke Sumedang?”
“Lusa
aku akan kembali ke Sumedang.”
“Ada
hal yang ingin aku bicarakan denganmu.”
“Apa?”
“Pernahkah
terpikir olehmu, bahwa perjalanan kita ini sudah lama sekali sejak kita
sama-sama meninggalkan Sumedang, meninggalkan keluarga kita untuk mencari masa
depan kita?”
“Ya,
sudah lama sekali.” Sahut Intan.
“Dan
kita seakan terbius mencari yang disebut dengan masa depan itu. Dan yang
disebut masa depan itu adalah sekarang, saat ini yang sedang kita jalani.”
“Ya.”
“Pernahkah
terpikir olehmu bahwa usia kita telah semakin menanjak? Hidup kita sudah lama
sekali kita jalani dan kita belum juga bertemu dengan pasangan hidup kita.”
Intan
diam.
“Terpikirkah
olehmu jodoh itu adalah takdir dari Allah?”
“Ya.”
“Andaikan
seseorang memang ditakdirkan untuk berjodoh, berapapun rentang jarak yang
memisahkan mereka, betapapun lamanya waktu yang telah memisahkan mereka, mereka
akhirnya akan bertemu kembali dan bersatu. Itulah yang disebut jodoh.”
“Ya.”
“Aku
tahu, kita pernah saling mencintai. Dan kenyataannya cinta itu tetap masih ada
dihatiku kepadamu, Intan. Betapapun orangtua kita menentang cinta kita,
bagaimanapun ayah telah mencoba
memisahkan kita, namun kenyataannya aku tetap tak bisa melupakanmu. Aku tetap
menempatkanmu dalam hatiku.
Intan
meneteskan airmatanya. “Bima, apa yang salah dengan perasaanku? Kenyataannya
aku pun tetap tak bisa menerima lelaki lain dalam hatiku. Aku tak ingin
mengingkari perasaanku, kenyataannya aku hanya bisa menerimamu dalam hatiku
sebagai satu-satunya lelaki yang bisa mengisi setiap rongga dalam hatiku.”
Bima
memegang tangan Intan. “Lalu, apa lagi
yang harus kita tunggu. Ayah sudah
merestui hubungan kita. Intan, tak ada lagi yang akan menghalangi cinta kita.
Allah memberikan ujian pada kita untuk menguji cinta kita. Lusa kita pulang
sama-sama ke Sumedang. Aku akan melamarmu dan kita akan melangsungkan
pernikahan. Tak ada yang salah dengan cinta kita.”
Intan
membalas genggaman tangan Bima. Dan tak ingin melepaskannya lagi. Untuk
selamanya.
------
0 ------
Ket : Foto diambil dr google.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar