Menjadi petani merupakan pekerjaan yang tak pernah terbayang
dalam benak saya walaupun saya merupakan keturunan petani. Dari Aki Nini hingga
buyut saya keatas merupakan petani. Sementara ayah saya adalah seorang pegawai
negeri, demikian juga saya. Menjadi seorang pegawai negeri hal yang patut saya
syukuri. Bukan hal yang mudah buat saya untuk menjadi seorang pegawai negeri,
apalagi saya memulainya dari seorang
tenaga kontrak di pemda. Dan masa penantian saya untuk menjadi pegawai negeri
sipil tidaklah sebentar. Butuh belasan tahun saya menunggu hingga akhirnya saya
menjadi seorang pegawai negeri. Disini
saya tidak akan membicarakan mengenai pekerjaan menjadi pegawai negeri. Namun
saya ingin bercerita apabila saya kelak menjadi petani setelah saya pensiun.
Menjadi petani, pekerjaan yang sepanjang hidup Aki Nini dan
buyut serta leluhur saya merupakan pekerjaan utama mereka. Ayah saya total
menjadi pegawai negeri. Bahkan setelah pensiun pun ayah saya menikmat masa
pensiunnya, sama sekali tidak turun menjadi petani. Artinya sawah yang
dimilikinya digarap oleh penggarap sawah sementara ayah saya menerima bagi
hasil dari panen. Begitulah ayah saya.
Kembali pada saya. Masa pensiun tinggal beberapa tahun lagi.
Rasanya saya juga sudah ingin segera menikmati masa pensiun saya. Namun apa
yang akan saya kerjakan apabila saya telah pensiun nanti? Menjadi petani. Hanya
itu yang ada dalam benak saya. Menjadi petani meneruskan pekerjaan yang sudah
dirintis oleh Aki Nini serta buyut saya. Bicara memang mudah. Namun
kenyataannya menjadi petani itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Namun
kembali saya ingat, pekerjaan apa yang mudah dan tidak ada kesulitannya? Setiap
pekerjaan pasti ada kesulitan dan ada tantangannya. Apalagi menjadi petani.
Pekerjan yang sangat sulit buat saya.
Saya ambil contoh hal sederhana. Bertanam disekitar rumah.
Entah sudah berapa puluh kali saya mencoba bercocok tanam, dalam polybag
ataupun dalam pot (karena lahan rumah saya cukup sempit). Rasanya saya sudah
cukup benar melakukan pekerjaan saya. Saya menyiapkan tanah yang cukup baik,
juga membeli tanah dari penjual tanaman untuk mendapatkan hasil yang baik. Saya
menyiapkan pot dan polybag secukupnya. Saya juga membeli beragam bibit tanaman
secara online. Dan mulailah saya bercocok tanam. Saat itu rasanya saya sudah
merasa setengah menjadi petani. Tentu
saja pakaian yang saya kenakan pun menyesuaikan seperti petani diluar negeri. Celana
panjang dan kemeja. Lengkap dengan dudukuy, ciri khas petani Indonesia.
Dihari libur selama dua hari itu
saya tekun mengerjakan pekerjaan saya. Akhirnya selesai juga saya menanam benih pada pot dan polybag.
Jumlahnya cukup banyak. Puluhan pot dan polybag. Saya menatap senang pada
jejeran pot dan polybag. Tentu saya tak lupa menyiraminya. Saat menanam itu
saat musim hujan. Jadinya saya cukup terbantu dengan curah hujan sehingga saya
tidak perlu menyiram tanaman saya setiap hari. Saya merasa rileks dan tentunya
dengan harapan yang cukup tinggi bahwa semua tanaman saya akan tumbuh dengan
baik dan nanti 3 atau 4 bulan lagi saya akan panen, panen cabe rawit, cabe
merah, paria, tomat, terong, waluh dan beragam sayuran lagi. Saat itulah saya
pasti akan merasa menjadi seorang petani sukses, sukses menanam di pot dan
polybag.
Namun ternyata khayalan dan harapan
saya ketinggian. Karena kesibukan yang lain sebenarnya saya nyaris tidak betul-betul
mengurus semua tanaman saya. 3 bulan lewat, 4 bulan lewat, baru saya ingat
dengan tanaman saya. Dan saya meringis. Ternyata tak ada satupun tanaman saya
yang tumbuh. Ah, sedihnya.
Namun saya tidak patah semangat.
Saya kembali menanam dihari libur. Dan kembali setelah selesai saya lupa lagi. 3
kali begitu dan begitu terus. Akhirnya saya punya kesimpulan bahwa apapun
memang harus diurus. Termasuk juga bertanam. Itu adalah cerita saya bertanam di
pot dan di polybag. Maksud saya pengalaman itu akan menjadi perbandingan bila
kelak saya menjadi petani, turun ke sawah dan bertanam padi.
Andaikan saja misal, tanah sawah
yang saya miliki itu luasnya 50 bata. 50 bata kira-kira luasnya ; 50 X 14 meter
= 700 meter persegi (Maaf bila saya salah berhitung). Bayangkan apabila saya
menggarap sepetak sawah dengan luas 700 meter persegi, betapa beratnya
pekerjaan itu karena bertanam dipot dan di polybag juga tidak mudah. Apalagi
bila saya memilii beberapa petak sawah. Misalkan 5 petak sawah dengan luas yang
berbeda-beda. Dan saya mengerjakannya sendirian tanpa bantuan orang lain, atau
bantuan buruh tani. Kembali saya meringis dengan bayangan saya itu.
Tapi itu pemikiran dan dugaan saya
saja. Karena kenyataannya, bagi petani, tanah garapan kecil atau luas, mereka
tetap bisa menggarapnya dengan baik karena bertani sudah menyatu dengan jiwa mereka. Mereka, para petani tulen itu, tetap
tekun menggarap tanah garapan mereka, bertanam padi. Sudah tidak ada keluhan lagi
punggung terbakar teriknya panas matahari ditengah hari, atau diguyur hujan saat tengah bekerja
disawah. Semua dilakoni dengan tekun dan ikhlas. Apapun hasil panen nanti,
apakah panen akan baik atau tidak.
Mereka tetap tekun bekerja. Apakah saya juga
akan bisa seperti itu? Hanya waktu yang akan bisa membuktikannya
kelak. Yang jelas, jiwa petani sudah saya rasakan, tertanam dalam jiwa saya.
Minimal itu akan menjadi bekal saya kelak bila saya benar-benar terjun jadi
petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar