Keluarga Laras
1. Pindah Rumah.
Sebuah truk besar
yang penuh dengan muatan beragam perabotan rumah itu berhenti dijalan didepan
rumah. Bapa sudah lama menunggu kedatangan truk itu. Ketika melihat truk itu
datang, Bapa memanggil Laras agar memberitahu Mamah bahwa truk yang mengangkut
segala macam perabotan dan barang mereka dari rumah kontrakan mereka sudah
datang.
“Laras, beritahu
mamah, truknya sudah datang.” Kata Bapa sambil menghampiri truk itu. Supir
memarkir truk itu merapat ke pinggiran jalan.
Laras masuk kedalam
rumah memberitahu Mamah. “Mah, truknya
sudah datang.”
"Ya."
sahut Mamah sambil bergegas keluar rumah menghampiri Bapa dan memperhatikan
truk itu yang maju mundur merapatkan
badannya kepinggir jalan. "Sebaiknya perabotan-perabotan langsung
ditempatkan ditempatnya masing-masing agar kita tidak dua kali bekerja
memindah-mindahkan perabotan-perabotan itu."
"Ya. Bapa
sudah mengaturnya." sahut Bapa.
Kernet dengan dua
orang pekerja turun dari atas truk dan mulai menurunkan beragam macam perabotan
rumah yang dibawa dari rumah kontrakan satu persatu. Lemari, meja, kursi,
kasur, lemari pakaian, dan banyak dus yang berisi perabotan pecah belah, beragam
peralatan dapur yang dimasukan kedalam beberapa buah karung, koper pakaian dan
juga kardus-kardus berisi buku dan segala macam barang. Semuanya diturunkan dan dibawa masuk kedalam rumah satu
persatu. Laras, Mala dan Dina ikut memperhatikan
para pekerja itu yang tengah menurunkan perabotan sementara Bapa sibuk memberitahu ketiga
pegawai itu dimana saja perabotan-perabotan itu harus diletakan.
"Kursi dan
meja itu disimpan diruangan depan. Lemari itu masuk keruangan tengah. Tempat
tidur yang itu masuk kekamar depan, dua tempat tidur itu masuk kekamar tengah.
Lemari yang itu juga disimpan diruangan tengah.
Lemari pakaian besar itu masuk kekamar tidur depan. Lemari pakaian yang
itu masuk kekamar tidur anak-anak." Bapa memberitahu sambil menunjuk
perabotan-perabotan itu.
Mamah ikut sibuk
mengatur. Dus-dus yang jumlahnya cukup banyak semuanya dibawa masuk keruangan
tengah dan ditumpuk pada disudut ruangan. Akan membutuhkan banyak waktu untuk
menata kembali semua barang yang ada didalam kardus itu. Dan itu bisa
dikerjakan nanti bila semua perabotan sudah masuk kedalam rumah. Mamah masih
ikut sibuk mengatur dimana perabotan-perabotan itu diletakan. Bapa ikut
mengatur.
"Sisakan
ruangan kosong diruangan tengah ini." kata Bapa. "Diruangan ini kita
akan menaruh meja makan."
"Meja makan,
Pa?" tanya Dina antusias.
"Ya, kalau ada
rejeki nanti kita akan membeli meja makan jadi nanti kita bisa makan sambil
duduk dikursi dan tidak lagi duduk bersila
diatas karpet." kata Bapa sambil tersenyum.
"Kapan membeli
meja makan itu, Pa?" tanya Dina tak sabar.
"Tunggu, nanti
kalau sudah ada rejekinya." kata Mamah. "Pekerjaan kita masih banyak.
Kita masih harus membereskan dulu semua yang kita angkut dari rumah kontrakan
kita. Dan kau pastinya harus ikut bekerja membantu Mamah."
"Ya,
Mah." sahut Dina. Dia begitu gembira pindah rumah kerumah baru, dan lebih
gembira lagi karena akan ada perabotan baru dirumah mereka, meja makan dan
kursinya. Sudah lama dia ingin sekali
makan di meja makan seperti yang dilihatnya bila tengah bermain-main dirumah
teman-temannya. Mereka rata-rata semuanya makan dimeja makan. Tidak seperti
dirinya sekeluarga yang makan diatas karpet. Sering dia mengatakan hal itu pada
Bapa dan Mamah. Bapa dan Mamah hanya menjawab, “Ya, nanti kita juga beli meja
makan, saat ini kita masih mengontrak rumah, tempatnya sempit, tidak ada tempat
untuk menaruh meja makan.”
Laras melihat tiga
orang pekerja itu masih sibuk mondar mandir naik keatas truk dan masuk kedalam
rumah sambil menggotong dan mengangkuti barang-barang dan segala macam
perabotan satu persatu. Dia belum tahu apa yang akan dikerjakannya dan bisa
dilakukannya. Mamah juga masih berdiri memperhatikan para pekerja itu yang
sibuk menaruh perabotan satu persatu seperti yang diperintahkan Bapak. Mereka
semua menunggu hingga semua perabotan masuk kedalam rumah, barulah mereka tahu
apa yang akan mereka kerjakan.
Dalam hatinya Laras
terus menerus mengucapkan rasa syukur, akhirnya mereka sekeluarga bisa tinggal
dirumah sendiri, bukan lagi menempati rumah kontrakan. Ketika tinggal dirumah
kontrakan, rumah itu kecil dan sederhana. Lingkungannya menyenangkan. Tetangga-tetangga
baik-baik dan ramah-ramah. Laras punya beberapa orang teman dilingkungan
rumahnya yang menjadi teman bermainnya. Namun rumah itu bukan rumah mereka
sendiri. Setiap tahun Bapa dan Mamah harus menyimpan uang untuk membayar rumah
kontrakan mereka. Sekarang akhirnya mereka bisa menempati rumah sendiri. Rumah
ini kecil namun tentunya lebih besar daripada rumah kontrakan mereka. Selain
itu rumahnya lebih bagus bila
dibandingkan dengan rumah kontrakan mereka. Ada sebuah ruang tamu yang cukup
memuat seperangkat kursi dan meja tamu, ada tiga kamar tidur yang menurut mamah yang satu untuk
kamar mamah dan bapa, yang satunya lagi untuk diisi Laras, Mala dan Dina, dan
kamar tidur satunya lagi untuk kamar tamu bila ada sanak saudara yang menginap.
Selain itu ada ruangan tengah, sebagai ruangan untuk mereka sekeluarga bila
sedang bersantai. Sebuah dapur dibagian paling belakang rumah yang membuat
mamah kelihatan sangat senang sekali. Dapur itu memiliki tempat menaruh kompor,
tempat semacam meja dimana mamah bisa menaruh beraneka macam bumbu dan
peralatan dapur, juga tempat mencuci piring yang terbuat dari keramik yang
sangat cantik sekali dengan keran tempat air mengalir. Dan dua buah kamar mandi,
kamar mandi yang satu terletak dibelakang didekat dapur, dan kamar mandi
satunya lagi dikamar tidur Bapa dan Mamah. Dibagian paling depan dan paling
belakang rumah ada teras. Dan mamah sudah berkali-kali mengatakan sudah tak
sabar ingin segera mengisi teras depan dan teras belakang itu dengan aneka
macam tanaman pada pot. Mamah sangat senang bertanam, namun ketika masih
tinggal di rumah kontrakan dengan teras yang begitu sempit, keinginan mamah
menanam beragam macam tanaman dalam pot menjadi tertahan.
“Bukan hanya
tanaman dalam pot, lahan yang kita miliki masih memungkinkan buat kita menanam
beberapa macam pohon yang nanti akan tumbuh besar dan meneduhi rumah ini.” Kata
Bapa ketika mendengarkan keinginan Mamah yang akan menanam banyak tanaman pada
pot. “Bapa akan menanam pohon mangga arumanis didepan dan dibelakang rumah ini.
Sekian tahun kemudian pohon-pohon itu akan semakin tinggi dan daun-daunnya yang
rimbun akan meneduhi rumah ini dibagian depan dan dibagian belakang.”
Laras, Mala dan
Dina rasanya tidak sabar ingin segera melihat Bapa menanam pohon mangga itu dan
membayangkan bila pohon mangga itu telah tumbuh tinggi dan berbuah mereka bisa
memetika buah mangga arumanis yang manis dan harum itu dengan sesuka hati.
Namun saat itu masih lama. Saat ini hanya masih sebatas angan saja. Namun
angan-angan itu begitu manis. Siapa tahu kelak angan-angan itu akan menjadi
kenyataan.
Walaupun tidak memiliki banyak tetangga
seperti ketika masih tinggal di rumah kontrakan, namun Laras tahu Bapa dan
Mamah pasti sama senangnya dengan anak-anaknya, akhirnya mereka bisa menempati
rumah mereka sendiri.
Bapa bekerja
sebagai pegawai negeri di pemerintah daerah Sumedang dengan gaji yang selalu
pas-pasan setiap bulannya. Mamah selalu berusaha mengatur sebaik mungkin gaji
Bapa untuk segala macam kebutuhan mereka sehari-hari, juga segala macam
keperluan yang tak terduga. Dan juga menabung sekian lamanya sehingga akhirnya
bisa membeli tanah dan membangun rumah ini, rumah yang sekarang akan ditempati
oleh mereka. Dimata Laras, Mamah seorang ibu
yang sangat bertanggung-jawab dengan segala macam urusan dalam rumah
tangga sambil mengurus tiga orang anak perempuannya, Laras, Mala dan Dina. Mamah tidak pelit, namun
Mamah selalu mengajarkan pada mereka untuk membeli barang-barang apa saja yang
betul-betul mereka butuhkan. Dan anak-anak mengerti karena Mamah saat ini belum
memiliki uang berlebih.
Matahari bersinar
cerah. Udara terasa panas. Musim kemarau sudah berlangsung sekian bulan
lamanya. Tanah-tanah mulai terasa kering
dan gersang. Pohon-pohon yang tumbuh tidak jauh dari rumahnya daunnya kelihatan
telah kuning mengering karena lama sekali tidak disiram hujan. Walaupun udara
terasa gerah, namun Laras hari ini merasa
sangat bahagia sekali. Ini hari pertama mereka akan menempati rumah baru mereka
setelah selama ini mereka mengontrak rumah.
Laras berdiri di
teras rumah, dia memperhatikan kesekeliling rumahnya. Dia hanya melihat ada
tiga buah rumah lain yang letaknya cukup berjauhan dengan rumahnya. Selebihnya
masih berupa tanah kosong dan kebun.
Suasana disekelilingnya terasa sepi dan sunyi. Hanya dirumahnya saja
yang terlihat tengah terjadi kesibukan karena sedang pindahan. Tiga buah rumah
yang bertetangga dengan mereka terlihat sunyi. Pagar-pagar kayu tertutup rapat.
Suasananya jelas sangat jauh berbeda dengan saat mereka masih mengontrak rumah,
dikiri kanan rumah mereka, juga didepan dan dibelakang rumah, mereka memiliki
banyak tetangga. Banyak orang lalu lalang setiap harinya. Suasana selalu hangat
karena banyak orang. Tapi disini, hanya kesunyian dan desir angin saja yang
dirasakannya.
"Kita tidak
memiliki banyak tetangga ya, Pa." kata Laras ketika bapa keluar rumah
sambil membawa dompetnya.
Bapa mengangguk.
"Ya, ini masih daerah baru. Belum
banyak orang yang berniat membangun rumah disini. Kau lihat, kita hanya memiliki tiga rumah yang
bertetangga. Tapi tunggu dan lihatlah sepuluh tahun yang akan datang, didaerah
ini akan dipadati dengan rumah-rumah penduduk." kata Bapak sambil
mengeluarkan uang dari dalam dompetnya dan menghitungnya.
Akhirnya selesai
sudah semua barang yang diangkut dari rumah kontrakan masuk kedalam rumah. Bapa
membayar uang sewa truk dan upah untuk para pegawai yang telah bekerja mengangkuti
barang dan perabotan. Sementara itu Mamah mulai sibuk didapur bersama Laras dan Mala. Mamah
sedang menanak nasi sambil menggoreng ayam. Sementara Laras dan Mala membuka
sebuah dus dan mengeluarkan beberapa buah piring dan gelas dari dalam dus. Laras
mencuci piring dan gelas itu sementara Mala menyapu ruangan tengah yang akan
dipakai untuk tempat makan. Laras senang mencuci piring dan gelas pada tempat
cucian didapur rumah baru mereka. Dia hanya perlu berdiri sambil mencuci dan
air yang jernih keluar dari keran. Di rumah kontrakan dulu, bila mencuci piring
dan perabotan yang kotor lainnya, dia harus duduk berjongkok ditempat cucian didapur dimana biasa mencuci
pakaian disana, dan mencuci piring dari air yang diambil dari dalam ember.
"Nah, selesai sudah
semua yang kita angkut dari rumah lama sudah masuk semua." kata Bapa,
kelihatan lega, menemui Mamah yang tengah sibuk didapur.
"Saatnya
membereskan semua barang-barang ini agar tidak berserakan." kata Mamah,
ikut merasa lega. "Tapi sebaiknya kita makan dulu. Kita semua pasti sudah sangat lapar sekali."
"Ya, aku
sangat lapar sekali." kata Mala.
"Nasi sudah
matang. Kita makan duduk dilantai saja seperti biasa. Ayo Laras, ambilkan
karpet dan pasang disini." kata Mamah.
Laras mengambil
karpet yang terlipat disudut ruangan tengah lalu dihamparkannya ditengah
ruangan. Mamah membawa nasi panas yang masih mengepul
didalam mangkok besar. Mamah menaruh
mangkok nasi diatas lantai. Lalu menaruh ayam goreng kampung. Laras menaruh
piring-piring didekat tempat nasi. Dia membawa ceret air teh yang masih panas
didekat gelas lalu mengisi tiap gelas itu dengan air teh yang masih panas.
"Isi
setengahnya saja, Laras. Air teh itu masih panas. Yang setengahnya lagi isi
dengan air dingin." kata Mamah.
Mamah sudah menyiapkan
beberapa buah air dingin didalam beberapa botol. Laras mengisi gelas-gelas itu
separuhnya dengan air dingin.
"Alhamdulillah,
akhirnya kita sudah pindah ke rumah kita yang baru." kata Bapa ketika
mereka semua sudah duduk melingkar dilantai. "Kita harus bersyukur kepada
Gusti Allah, akhirnya rumah yang kita idam-idamkan ini sekarang sudah menjadi
kenyataan. Dan sekarang mari kita makan, ini adalah kali pertama kita makan
dirumah baru kita."
Mamah mengambilkan
nasi buat Bapak dan menaruh ayam goreng diatas nasi. Setelah itu Laras dan Mala
mengambil nasi sendiri. Mamah mengambilkan nasi buat Dina. Dan terakhir Mamah
mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Makan terasa sangat nikmat sekali
walaupun lauk pauknya hanya satu macam, ayam goreng saja. Namun ayam goreng itu
sangat lezat sekali. Ayam kampung. Dagingnya sangat enak dan empuk. Bumbu yang
dibuat Mamah sangat pas sekali. Dan untuk Bapak, Mamah tidak lupa menyediakan
sambal goang yang sangat pedas sekali. Setiap kali makan siang, bapa selalu
ingin ada sambal. Dan sambal buatan Mamah, menurut Bapa, rasanya sangat lezat
sekali. Sambal terasi, sambal goang,
sambal jahe, sambal kecap buatan mamah, memang rasanya sangat lezat sekali.
Selalu sangat pedas, namun pedasnya itu yang membuat makan jadi terasa semakin
nikmat.
Akhirnya makan
siang selesai. Mamah mengambil satu kantong plastik dan mengeluarkan isinya,
jeruk. Mamah menaruh semua jeruk diatas piring besar. Mereka menikmati jeruk
yang manis dan segar itu. Acara makan selesai dan banyak sekali pekerjaan tengah
menanti mereka semua. Laras dibantu Mala
mengumpulkan piring, gelas dan perabotan bekas makan yang kotor dan menaruhnya
pada tempat cucian piring. Lalu laras yang
mencuci piring dan gelas yang kotor sementara Mala membereskan bekas
makan di ruangan tengah, menyapu lantai dan melipat kembali karpet lalu
menaruhnya disudut ruangan. Dina membantu Mala melipat karpet dan menaruhnya
disudut ruangan. Mamah menaruh mangkok
nasi didapur dan ditutup dengan sehelai serbet bersih. Piring yang masih berisi
sisa ayam ditutup dengan piring lagi sehingga terhindar dari debu.
"Sekarang kita
membereskan kamar tidur kita masing-masing. Bersihkan dulu tempat tidur sebelum
memasang kasur. Lalu pasang sprei, menyapu lantai dan mengepel." kata
Mamah sambil mengambil sapu dan mulai membereskan kamar tidurnya.
Sapu hanya ada satu
untuk dibagian dalam rumah yang sedang dipakai mamah sehingga Laras dan Mala
menunggu sapu selesai dipakai sambil mulai mengelap tempat tidur kayu mereka
sebelum dipasangi kasur. Kamar yang mereka tempati cukup memuat dua buah dipan
tempat tidur. Tempat tidur yang satu untuk Laras, sedangkan tempat tidur
satunya lagi untuk Mala dan Naila. Laras
membuka jendela yang terletak diantara kepala kedua dipan itu. Halaman kecil
didepan jendela masih kosong. Nanti bila semua pekerjaan didalam rumah sudah
selesai, dia ingin menanami halaman kecil itu dengan beberapa macam tanaman.
Atau menaruh beberapa buah pot tanaman disitu.
Ketika Mamah, Laras
dan Mala sibuk bekerja dikamar tidur, Bapa mendorong lemari diruang tengah
seperti sesuai dengan keinginannya. Lemari itu masih kosong sehingga mudah
digeser kesana kemari. Semua ruangan
dirumah baru itu sudah terisi penuh. Ruangan tamu sudah diisi dengan meja dan
kursi tamu. Ruangan tengah diisi dengan meja makan dan dua buah lemari yang
nanti akan diisi dengan buku dan perabotan. Kamar depan yang bersebelahan
dengan ruangan depan menjadi kamar tidur Bapa dan Mamah. Sementara kamar
satunya lagi menjadi kamar Laras, Mala dan Dina. Ketika Laras, Mala dan Dina bekerja, Mamah
mengambil gorden dan memasang gorden pada semua jendela kamar. Gorden-gorden
itu semuanya baru dan motifnya sama. Sementara gorden tipisnya terbuat dari
bahan gorden halus berwarna putih yang sedikit berkibar ditiup angin dari luar
kamar.
“Ah, gordennya
cantik sekali, Mah.” Puji Laras, merasa senang melihat motif gorden itu, warna
dasarnya merah hati dengan motif bunga.
“Ya, untuk semua
kamar, mamah memilih gorden dengan motif bunga-bunga, biar kelihatan segar.”
Sahut Mamah sambil turun dari kursi. Memasang gorden kamar sudah selesai.
Sekarang tinggal memasang gorden pada jendela depan dan jendela diruang tengah.
Warna dasarnya sama merah hati tapi dengan motif bambu.”
Mamah mengeluarkan
lagi gorden-gorden dari kantong plastik yang berbeda dan mulai memasang
gorden-gorden itu di kaca jendela ruang tamu dan jendela ruangan tengah. Rumah
kelihatan semakin cantik setelah dipasangi gorden. Sementara untuk jendela
kecil didapur tidak dipasangi gorden.
“Jendela dapur
tidak perlu memakai gorden karena jendelanya kecil.” Kata Mamah.
Ketika melihat
rumah yang semakin cantik setelah dipasangi gorden, Bapa memuji Mamah yang
pandai memilih gorden-gorden yang cantik-cantik itu. Mamah hanya tersenyum
mendengar pujian Bapa.
Dapur pun sudah
tertata dengan baik. Ada lemari es dan juga rak tempat menyimpan beragam
peralatan yang akan dipakai sehari-hari. Sebuah lemari rak juga terpasang
didapur yang akan menyimpan beragam macam perabotan yang tidak akan dipakai.
Dikamar Mamah dan
Bapa ada kamar mandinya, sehingga kamar
mandi yang dibelakang yang didekat dapur akan menjadi kamar mandi buat
anak-anak. Jadi sekarang Bapa tidak akan rebutan kamar mandi lagi dengan ketiga
anaknya seperti ketika masih tinggal dirumah kontrakan. Laras senang sekali memperhatikan kamar mandi
mereka yang masih baru itu. Masih bersih. Dan harum, karena Mamah sudah
menggantungkan pengharum kamar mandi didindingnya.
Waktu berjalan
terasa begitu cepat. Mungkin karena semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing
sehingga tak terasa waktu berjalan dengan cepatnya. Tidak terasa hari sudah
menjelang sore dan rumah sudah selesai dibenahi. Gorden-gorden pada setiap
jendela sudah dipasang. Perabotan sudah diletakan ditempatnya masing-masing.
Mamah baru saja memasang karpet diruangan tengah dan menaruh dua buah bantal
besar disana.
"Bila sudah
selesai pekerjaan kalian, sebaiknya kalian segera mandi, hari sudah sore."
kata Mamah.
"Aku mandi
duluan. Rasanya gerah sekali." kata Mala.
"Ya, nanti
giliran aku." kata Dina. Dia mengeluarkan bajunya dari dalam lemari.
Daster dengan motif bunga-bunga kecil kesukaannya.
Laras mandi yang terakhir.
Tubuhnya terasa segar dibasuh air dingin yang segar. Dan setelah semua selesai, dia baru
memperhatikan kembali keadaan disekitar rumahnya. Terasa sunyi dan sepi. Hanya
desir angin yang berhembus kencang yang membuatnya merasa dingin. Rumah baru
mereka berada ditempat yang kebanyak tanah-tanahnya masih kosong. Hanya ada tanda-tanda bahwa
tanah itu ada pemiliknya, berupa kebun yang ditanami beberapa tanaman seperti
singkong, ubi atau tanaman-tanaman lain sebagai ciri. Hanya ada tiga buah rumah yang sudah berdiri
yang menjadi tetangga mereka. Dan
letaknya cukup berjauhan. Diujung jalan ada sebuah pabrik penggilingan padi.
Sebuah truk kelihatan parkir dihalaman pabrik itu dan beberapa orang pekerja
keluar masuk kedalam pabrik itu. Suara mesin dari pabrik terdengar sampai
kerumahnya. Untung aku punya Mala dan Dina, pikir Laras. Jadi aku tidak akan
kesepian karena aku punya teman bermain, adik-adikku sendiri. Laras teringat
ucapan Bapa tadi, sepuluh tahun yang akan datang ditempatnya sekarang ini akan
banyak dipadati rumah penduduk. Laras setuju. Penduduk akan terus bertambah dan
mereka akan selalu membutuhkan tempat baru untuk bermukim.
"Apakah dari
sini jauh ke sekolahku, Mah?" tanya Laras.
"Tidak terlalu
jauh. Jaraknya ada sekitar sekilo. Kau cukup berjalan kaki sekitar dua puluh
menit dan akan segera sampai ke sekolah." sahut Mamah. "Kau lihat
jalan besar itu, letaknya seperti jauh dari sini, tapi bila kau sudah terbiasa
berjalan kaki melewati jalan besar itu, maka jarak ke sekolahmu itu akan terasa
dekat."
"Ya, lagi pula
aku tidak akan berjalan sendirian ke sekolah." sahut Laras. "Aku
pastinya akan berangkat bersama-sama dengan Mala dan Dina. Tapi apakah Dina
akan cukup kuat berjalan ke sekolah, Mah?"
Mamah tersenyum.
"Tentu saja kuat. Dina sudah kelas dua. Dia sudah cukup kuat berjalan kaki
ke sekolah. Dan jarak itu tidak akan terasa jauh karena dia pergi bersama-sama
denganmu dan Mala. Pulangnya Dina juga sudah bisa sendiri karena jalanannya
lurus dan dia hapal dimana dia berbelok menuju pulang ke rumah."
"Ya,
Mah." Laras mengangguk. Dina bubar sekolah jam 10. Biasanya mamah akan
menjemputnya jam 10. Mungkin sekarang Dina sudah bisa pulang sendiri karena jalanan
yang harus dilaluinya lebih mudah untuk dihapal. Namun sekarang masih liburan
sekolah. Masih dua minggu lagi untuk memulai sekolah. Laras lebih suka diam
dirumah dan menikmati rumah barunya.
Laras masih berdiri
diteras rumahnya ketika seorang wanita seusia ibunya, bersama anak perempuannya
seusia dirinya, lewat didepan rumahnya, tersenyum padanya. Lara membalas
senyumannya. Mungkin rumahnya disekitar sini, pikir Laras.
“Oh, neng penghuni
rumah baru ini, ya?” Wanita itu menyapa ramah.
“Ya, bu. Hari ini
kami mulai menempati rumah ini.” Sahut Laras.
Dia menyambut
uluran tangan wanita itu yang mengajak bersalaman. Juga anak perempuannya.
“Mana ibumu? Kami
juga tinggal disini. Itu rumah kami.” Kata wanita itu sambil menunjuk rumah
yang terletak diujung kebun.
“Oh, ya.” Sahut
Laras sambil bergegas masuk memanggil ibunya didapur. Tak lupa dia
mempersilahkan wanita itu dan anaknya masuk kedalam rumah. Tak lama Laras
keluar lagi diikuti ibunya.
“Oh, Bu. Mari
masuk.” Sambut Mamah dengan gembira, akhirnya bertemu juga dengan tetangga
pertama dirumah baru mereka.
“Saya ibu Nanih.
Rumah saya yang itu. Kapan-kapan mampir ya, Bu. Kita sekarang bertetangga.”
Kata bu Nanih ramah.
“Oh, iya. Insya
Allah, kapan-kapan saya akan kerumah ibu. Senang rasanya akhirnya saya bertemu
juga dengan tetangga saya.” Kata Mamah. “Niat saya juga besok atau lusa akan
berkunjung kerumah tetangga-tetangga disini satu persatu sambil memperkenalkan
diri sekeluarga.”
“Disini tetangganya
masih jarang, Bu. Hanya ada tiga rumah yang sudah berdiri disini. Tapi bila
kita melewati kebun-kebun itu, kita akan menemui banyak rumah-rumah lain.” Kata
bu Nanih.
“Ya, memang tempat
ini masih baru. Sementara yang dibelakang kebun-kebun itu mungkin sudah sejak
lama ditempati dan banyak yang membangun rumah disana.” Kata Mamah.
Mamah dan Bu Nanih
bercakap-cakap sebentar. Bu Nanih tak lupa memperkenalkan putrinya yang tengah
bersamanya pada Laras dan Mamah.
“Ini putri saya,
putri kedua saya, namanya Viena.”
“Ini putri saya
yang sulung, namanya Laras.”
“Kelas berapa?”
tanya bu Nanih.
“Kelas enam. Dan
Viena?”
“Sama kelas enam
juga. Sekolahnya dimana?”
“Di SD
Sindangraja.”
“Lha, kalau begitu
Laras satu sekolah dengan Viena. Mungkin juga mereka nanti akan sekelas. Kalian
bisa berangkat sekolah bersama-sama.” Kata Bu Nanih.
“Ya.” Sahut Mamah.
Laras dan Viena hanya mengangguk. Mereka masih malu-malu karena baru
berkenalan.
Mamah dan bu Nanih
bercakap-cakap sebentar lalu Bu Nanih pamit. Tak lupa Bu Nanih mengajak Laras
main kerumahnya.
“Ya, kapan-kapan.”
Sahut Laras sambil tersenyum pada Viena.
“Kita juga nanti
bisa belajar bersama, Laras. Apalagi bila kita nanti ternyata satu kelas.” Kata
Viena. Sekarang sikapnya sudah tidak kaku lagi.
“Ya.” Sahut Laras.
Hari itu Bapa
pulang dari kantor dengan membawa majalah anak-anak. Laras dan Mala suka
berebutan membacanya, dan sekarang setelah Dina sudah belajar membaca, dia pun
sering ingin membuka majalah itu.
"Hati-hati,
nanti sobek. Kalian bisa membacanya bergiliran." tegur Mamah yang keluar
masuk rumah beberapa kali. Mamah sedang menata tanaman-tanaman dalam pot yang
dibawa dari rumah kontrakan mereka. Ada beberapa tanaman yang dikeluarkan dari
dalam pot dan ditanam didalam tanah, menghiasi halaman rumah mereka yang masih
kosong. Kemarin Bapa membawa rumput pemberian dari salah seorang temannya.
Rumput-rumput itu sudah disebar menutupi halaman depan rumah. Perlu menunggu
lama namun rumput-rumput itu nanti akan tumbuh subur dan membuat rumah terasa
sejuk dengan hijaunya rumput.
Selesai mengurus
tanaman Mamah kembali sibuk didapur, memasak untuk makan siang. Mamah membuat
sayur lodeh, menggoreng ikan asin dan membuat asinan. Saat makan siang, Laras,
Mala dan Dina menikmati makan siang mereka. Mamah menunggu Bapa pulang dari
kantor dan menemani Bapa sambil makan siang bersama. Hanya saat makan malam
saja mereka bisa duduk bersama lengkap sekeluarga.
Esok paginya,
pagi-pagi sekali Laras terbangun. Dia sudah mendengar kesibukan diluar
kamarnya. Waktu menunjukan pukul empat lewat sepuluh menit. Mamah sudah bangun
sejak dini hari, sambil menyiapkan makanan didapur, mamah membereskan rumah. Membuka semua
jendela, menyapu lantai dan mengepel. Laras membantu Mamah meneruskan menyapu
dan mengepel. Rumah baru terasa lebih bersih. Udara pagi menerebos masuk lewat
jendela-jendela yang terbuka lebar. Mamah memanggil Mala untuk membantu
mengepel didapur. Dina tidak mau ketinggalan. Dia membantu membereska
majalah-majalah yang berserakan bekas dibaca kemarin dan menumpuknya pada meja
disudut ruangan.
Jam sembilan lebih
Mamah terlihat rapi. Mamah memakai baju untuk keluar rumah dan berdandan.
"Mamah dan
Bapa akan pergi dulu. Kalian tinggal disini, jangan kemana-mana." kata
Mamah.
Bapa mengeluarkan
motornya, motor vesva berwarna hijau. Motor
Vesva itu kebanggaan Bapa. Bapa membelinya beberapa tahun lalu.
"Mamah mau
kemana?" tanya Dina.
"Kalian tunggu
saja. Dan lihat nanti apa yang Mamah bawa." kata Mamah sambil tersenyum.
Mamah duduk pada boncengan. Tak lama kemudian Vesva yang dikemudikan Bapa sudah
melaju meninggalkan rumah.
Selama menunggu
Mamah dan Bapa pulang, Laras mengajak Mala dan Dina membereskan buku-buku pelajaran
mereka yang masih tersimpan didalam kardus-kardus. Buku-buku itu diletakan
dengan rapi diatas meja belajar satu-satunya yang ada dikamar mereka. Laras dan
Mala biasa duduk bergantian diatas meja belajar itu. Laras meletakan lampu
duduk yang biasa menemaninya belajar.
Mereka masih sibuk
mengurus pekerjaan mereka ketika terdengar suara vesva Bapa masuk kehalaman
rumah. Ketiganya berlari kedepan rumah, ingin melihat apa yang dibawa Mamah dan
Bapa. Ternyata Mamah dan Bapa tidak membawa apa-apa.
"Ah, katanya
Mamah mau membawa sesuatu." kata Mala ketika melihat tangan Mamah yang
tidak membawa apa-apa seperti ketika sepulang dari pasar.
Mamah tersenyum.
"Tunggu sebentar lagi." kata Mamah sambil masuk kedalam rumah.
Ketiganya menunggu
didepan rumah. Mereka tak sabar ingin melihat apa yang akan datang kerumah
mereka. Tak lama kemudian sebuah mobil bak terbuka datang dan berhenti didepan
rumah. Ketiganya serempak berdiri. Mereka penasaran ingin melihat apa yang
dibawa oleh mobil bak terbuka itu. Mereka melihat kursi dan meja makan.
"Ah, akhirnya
Mamah dan Bapa membeli meja makan." seru Mala gembira.
Bapa tertawa.
"Yah, Bapa kan sudah bilang kita akan membeli meja makan."
"Dan aku akan
makan sambil duduk di meja makan." kata Dina gembira.
"Kita semua
akan makan sambil duduk dikursi, dan tidak lagi duduk lesehan diatas
karpet." kata Bapa masih tertawa. Terlihat wajahnya sangat gembira,
akhirnya Bapa bisa memenuhi keinginan anak-anaknya yang ingin makan di meja
makan.
Pegawai menurunkan
meja makan dan enam buah kursi. Lalu
mengangkutnya keruangan tengah. Mamah mengatur letak meja makan dan kursinya.
Tak lama ruangan tengah itu sudah terasa berbeda dengan keberadaan meja makan
dan keenam kursi yang mengelilinginya. Meja makan itu terbuat dari kayu cokelat
yang halus. Ada ukiran pada keempat tepinya. Kursinya terbuat dari kayu yang
ada ukiran juga pada bagian sandarannya. Bantalan kursinya berwarna gading.
Sangat cantik sekali. Setelah meja makan dan kursi itu terpasang, Laras, Mala
dan Dina duduk masing-masing pada kursi dan duduk mengelilingi meja makan.
Mereka berceloteh dengan gembira. Mamah tersenyum melihat kegembiraan pada
wajah anak-anaknya.
“Ayo Laras, bantu
Mamah memasang dulu taplak meja makannya.” Kata Mamah sambil mengambil taplak
meja berwarna gading dengan bordiran pada seluruh sisinya. Laras bangkit dan
membantu Mamah merentangkan taplak meja itu sehingga terpasang rapi.
“Cantik sekali
taplak meja ini, Mah. Dimana belinya?” tanya Mala sambil memegangi salah satu
ujung taplak meja dan memperhatikan bordilannya.
“Dibeli dari Ibu
Surya.” Sahut Mamah.
Ibu Surya adalah
kenalan Mamah ketika masih tinggal dirumah kontrakan. Ibu Surya sering membawa
bermacam-macam barang, kain, taplak meja, batik, dan segala macam peralatan
rumah tangga. Banyak ibu-ibu langganannya. Mereka bisa membeli secara kontan
maupun dicicil. Namun kebanyakan mereka membeli secara dicicil, dua kali atau
tiga kali pembayaran dengan harga yang lebih tinggi dibanding dengan membeli
secara kontan. Mamah sering juga membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga
dari ibu Surya. Apabila sedang tidak mempunyai uang, Mamah pun sering membayar
dengan cara mencicil walaupun harganya lebih mahal sedikit.
Malam itu, untuk
pertama kalinya mereka makan sekeluarga sambil duduk mengelilingi meja makan.
Bapa duduk pada kursi yang paling kiri, berhadapan dengan Mamah. Laras duduk
disamping Bapa. Dina duduk disamping Mamah. Sementara Mala duduk pada kursi
yang ujung diantara Mamah dan Bapa. Mamah membuat sop ayam, tempe goreng
berbalut tepung, kerupuk udang dan sambal goang. Mereka semua menikmati makan
dengan penuh kegembiraan.
Berkali-kali Bapa
tersenyum sambil melirik Mamah ketika menyaksikan anak-anaknya makan dengan
lahap di meja makan. Laras mengerti arti senyum Bapa.
“Alhamdulillah,
akhirnya kita bisa juga makan sambil duduk di kursi ya, Mah.” Kata Laras sambil
tersenyum pada ibunya.
Mamah tersenyum.
“Yah, makan sambil duduk diatas karpet nikmat, dan sekarang makan sambil duduk
dikursi pun nikmat. Selalu bersyukur dengan segala kondisi apapun yang
diberikan Gusti Allah kepada kita. Dengan selalu bersyukur Gusti Allah akan
selalu menambah nikmat-nikmatNya yang diberikannya kepada umat-Nya, Insya
Allah.”
“Amien.” Bapa
mengamini yang diikuti oleh ketiga anaknya mengucapkan amien.
Hari masih pagi.
Udara terasa dingin dan sejuk. Laras mendengar mamah sudah sibuk dengan
pekerjaan rutin setiap pagi. Membuka jendela-jendela, menyapu, mengepel,
sementara didapur nasi tengah ditanak dan telah mengepul panas. Lauk pauk untuk
sarapan pagi biasanya telur ceplok atau telur dadar saja. Laras membuka jendela
kamarnya. Udara segar masuk memenuhi kamarnya.
Dia membereskan tempat tidurnya sambil membangungan Mala dan Dina yang
masih tidur.
“Ayo bangun, sudah
siang. Kalian mandi duluan agar nanti tidak rebutan kamar mandi.” Kata Laras
sambil menyibakan selimut yang menutupi tubuh Mala dan Dina.
“Jangan. Dingin.”
Mala menarik kembali selimut yang ditarik Laras, selimut itu menyelimuti lagi
tubuhnya.
“Jangan
malas-malasan. Ayo bangun.” Laras menarik lagi selimut Mala. Setengah merengut
Mala bangun. Dia melihat keluar jendela. Diluar kelihatan masih gelap.
“Masih gelap,
kenapa harus bangun cepat-cepat?” gerutu Mala.
“Sudah jam 5. Ayam
sudah berkokok sejak subuh tadi. Artinya hari sudah siang.” Kata Laras yang
sambil bicara terus membereskan tempat tidurnya, melipat selimut dan merapikan
seprei. Lalu dia keluar kamar dan membantu Mamah didapur.
“Kamu mandi saja,
Laras. Seragammu sudah kau siapkan?” tanya Mamah.
“Sudah, Mah.”
Mereka mandi
bergantian. Airnya terasa sangat dingin sekali. Rasanya malas mandi pagi. Namun
ketika selesai mandi, tubuh terasa sangat segar sekali dan mereka masih punya
cukup waktu untuk menyiapkan diri ke sekolah, mengecek buku-buku pelajaran yang
akan dibawa, mengecek kembali pekerjaan rumah, dan sarapan. Mereka duduk
menghadapi meja makan. Diatas meja makan sudah terhidang nasi goreng yang masih
mengepul panas dan kerupuk udang yang renyah. Semuanya duduk menikmati sarapan
pagi, kecuali Mamah. Setiap pagi, dihari-hari sekolah dan kerja, hanya Mamah
yang tidak ikut sarapan. Mamah selalu sibuk menyiapkan ini itu. Jadi Mamah
hampir tidak pernah ikut sarapan bersama suami dan ketiga anaknya. Tak lama
mereka semua pamitan. Bapa pergi ke kantor, mengendarai vesvanya, sementara
Laras, Mala dan Dina berjalan bersama-sama menuju sekolah mereka. Berkali-kali
Mamah berpesan pada Dina agar pulangnya nanti hati-hati di jalan. Rumah sepi
ketika penghuninya hanya tinggal Mamah. Namun Mamah pastinya tak akan pernah
kesepian setelah suami dan anak-anak semua keluar rumah. Ada setumpuk pekerjaan
yang menunggu tangan Mamah untuk mengerjakannya. Mencuci pakaian, membereskan rumah, menyapu, mengepel,
menyetrika, dan menyiapkan masakan untuk suami dan anak-anak bila mereka telah
kembali pulang kerumah nanti.
Setiap hari Laras
dan Mala sepulang sekolah sibuk membantu Mamah. Mamah sangat disiplin namun
selalu mengajarkan banyak hal pada anak-anaknya. Sumedang sebuah kota kecil
yang tidak terlalu ramai. Tidak banyak mobil, motor dan kendaraan lain yang
melintasi jalanan Sumedang. Juga belum ada angkutan umum didalam kota, bila
orang akan bepergian menggunakan kendaraan, ada becak dan delman. Nama sekolah
Laras sama dengan nama daerah tempatnya yaitu Sindangraja. Laras senang
bersekekolah di SD-nya. Dia ikutan pramuka, ikut latihan basket, dan kegiatan
yang paling disukainya adalah latihan degung. Ibu Endang, guru kesenian sudah
menunjuk beberapa orang anak kelas lima untuk berlatih degung. Seminggu tiga
kali setiap sore sepulang sekolah mereka latihan degung.
Dirumah Laras
belajar membuat bunga dari benang wol. Juga belajar menyulam dan merajut. Mamah
memiliki beberapa keterampilan. Diwaktu senggang mamah sangat senang menjahit
atau merajut. Mamah yang menjahitkan pakaian ketiga anaknya. Juga merajut
taplak meja dan sarung bantal kursi. Diakhir bulan, mereka kadang berkunjung
kerumah aki dan nini yang berada di Buahdua.
Disepanjang jalan
pergi dan pulang sekolah, Laras sering memperhatikan pohon majoni yang tumbuh
tinggi di kiri kanan jalan hingga akhirnya suatu hari dia melihat beberapa
petugas tengah menebang pohon mahoni satu persatu sehingga jalanan yang semula
terasa teduh dan rindang berubah menjadi panas dan gersang. Jalan menjadi panas
dan terang oleh sinar matahari. Tidak lagi rimbun dan teduh. Laras menceritakan
hal itu pada Bapa.
"Akan ada
pelebaran jalan." kata Bapa menjelaskan. "Nanti dikiri kanan jalan
akan dibuat trotoar untuk para pejalan kaki sehingga para pejalan kaki akan
aman berjalan dipinggir jalan tidak khawatir dengan lalu lintas kendaraan
dijalanan."
Laras merasa
kehilangan pohon-pohon mahoni itu yang selama ini menaunginya setiap dia pulang
sekolah ditengah hari. Bahkan pohon mahoni didepan sekolah pun ikut ditebang.
Sebelumnya dibawah pohon mahoni itu mangkal tukang cendol dan tukang baso.
Tidak banyak pedagang yang mangkal didepan sekolah. Dan tukang cendol itu
adalah satu dari tiga orang pedagang yang biasa mangkal didepan sekolah.
Sebulan kemudian
Laras melihat beberapa pekerja mulai sibuk bekerja membenahi jalanan yang akan
dijadikan trotoar. Jalan yang akan dibuat trotoar diperlebar dan dibenahi dari
tunggul-tunggul pohon yang masih tersisa. Lalu paving block mulai dipasang
dikiri kanan jalan raya. Jalanan terlihat lebih lebar dan pejalan kaki nanti
akan merasa lebih nyaman berjalan kaki diatas trotoar itu. Namun bagi Laras
terasa ada yang hilang. Memang ada hal baru sebagai gantinya, namun keteduhan
yang diberikan pohon-pohon mahoni selama ini tidak akan tergantikan. Keteduhan
disepanjang sisi kiri kanan jalan kini sudah tidak ada lagi. Namun ketika trotoar
itu telah selesai dibuat, Laras melihat pada jarak tertentu ditengah-tengah
trotoar ada sebuah tempat segi empat yang disemen, didalamnya ditanami dengan pohon-pohon kecil. Kelak pohon
itu akan tumbuh tinggi dan besar menggantikan pohon-pohon mahoni yang ditebang
itu.
bersambung...
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar