Pare atau padi sejak lama tanaman yang satu ini sangat menarik perhatian
saya. Bukan hanya karena dari pare atau padi itu setelah diolah menjadi nasi
dan sebagai menu makanan sehari-hari yang tak pernah membosankan, namun juga
karena tanaman yang satu ini sangat berbeda dengan tanaman lainnya sejak
ditanam disawah hingga akhirnya menjadi sepiring nasi yang siap disantap.
Sungguh membutuhkan proses panjang untuk mengolahnya.
Memperhatikan petani bekerja disawah pun sudah merupakan hal menarik.
Sebelum menanam padi, sawah dibajak dulu. Dulu sebelum traktor ada, para petani
biasa membajak sawahnya dengan mencangkul. Sebagian lagi yang memiliki kerbau
membajak sawahnya dengan menggunakan bantuan kerbau. Lalu proses menanam padi
pun berlangsung. Dan itu bukan sebuah pekerjaan mudah dan ringan. Begitu banyak
yang masih harus dikerjakan hingga akhirnya tanaman padi tumbuh dan mulai
berisi bulir-bulir padi.
Ketika padi sudah mulai tumbuh dan berisi bulir-bulir padi yang semakin
lama semakin banyak dan berisi, pekerjaan petani bukan hanya sekedar menunggu
hingga padi siap dipanen. Gangguan datang dari hama, burung dan tikus yang
mengganggu tanaman padi. Duh, sungguh berat menjadi seorang petani.
Saat panen tiba merupakan saat yang sangat ditunggu-tunggu walaupun
pekerjaan bukan berarti sudah selesai. Masih banyak pekerjaan lain yang harus
dikerjakan sebelum padi siap diolah menjadi nasi. Padi masih harus digebot
untuk melepaskan butir-butir padi dari batangnya. Dan saat gabah sudah
terkumpul masih harus ditumbuk untuk menjadikan gabah menjadi beras.
Dan
setelah menjadi beras barulah bisa ditanak menjadi nasi. Acara menanak nasi
tentu saja jaman dulu tidak semudah jaman sekarang ketika alat menanak nasi
sudah memberikan kemudahan dalam mengolah beras menjadi nasi. Dulu ketika orang
masih menanak nasi secara tradisional serangkaian pekerjaan tahap demi tahap
harus dikerjakan sebelum beras akhirnya menjadi nasi yang siap disantap. Sungguh proses yang sangat panjang dan
tentunya melelahkan.
Mungkin itu sebabnya orangtua jaman dulu suka marah bila
anaknya tidak menghabiskan nasi dalam piring dan kerapkali mengatakan bila Dewi
Sri yaitu Dewi Padi akan menangis bila melihat nasi yang tersisa tidak dimakan
apalagi bila dibuang.
Tidak salah bila ada yang mengatakan bahwa pare atau padi adalah tanaman sakral.
Tak terhitung cerita lisan yang menceritaan tentang padi sebagai
tema dan benang merah cerita. Legenda atau
dongeng tentang padi dipastikan lahir dari mereka yang menganut kehidupan
keseharian yang tak lepas dari sawah dan menanam padi.
Proses menggarap
sawah pun dilakukan tidak begitu saja. Masyarakat petani di pedesaan
mempercayai bila akan memulai menggarap sawah mereka harus memegang tata cara
yang merupakan warisan dari para karuhun karena menanam padi masih dianggap sakral
dan tidak bisa sembarangan begitu saja. Mulai dari mencangkul sawah, menebar
bibit padi, mencabut tanaman padi baru tumbuh untuk ditanam, menanam benih padi
atau yang biasa disebut dengan tandur,
menyiangi rumput yang mengganggu tanaman padi ketika sudah mulai tumbuh yang
biasa disebut dengan ngarambet, hingga memotong padi yang pada sebagian
masyarakat pedesaan masih bertahan menggunakan ani-ani, yaitu alat pemotong
padi, bukan dengan ditebas memakai parang. Hal ini dilakukan karena dengan
menggunakan ani-ani cara memotong padi lebih halus, konon hal ini untuk
menghormati Dewi Sri yang juga disebut Dewi Padi yang tidak suka dengan
kekerasan.
Begitu pula setelah
panen, ketika orang mulai mengikat padi, menuju lumbung, memasukkan padi pada
lumbung, dan menatanya di lumbung padi, semuanya dilakukan dengan hati-hati.
Tatkala telah menjadi beras, dari memasukkannya pada periuk, mengolahnya
menjadi nasi hingga kemudian nasi sudah matang dan siap dimakan, memasukkannya kedalam mulut pun diperlukan
perlakuan-perlakuan yang tak sembarangan. Bahkan dulu, orangtua selalu
memperingatkan anak-anaknya agar tidak boleh bercakap-cakap apabila sedang
makan dan tidak boleh menyisakan sebutir pun nasi diatas piring karena pamali,
Dewi Sri akan menangis bila masih tersisa nasi yang tidak dimakan.
(Foto-foto diambil dari google)