Seingatku, sepanjang ingatanku, rasanya sawah bukan hal
yang asing bagiku. Melihat hamparan sawah dengan padi yang mulai tumbuh, atau
saat padi telah menghijau menyejukan mata, atau saat padi telah menguning
menunggu saat panen tiba, rasanya pemandangan itu telah lama kunikmati. Rasanya
aku sudah sangat akrab sekali dengan sawah dan pemandangannya. Melihat petani
bekerja disawah, menanam padi, tandur, atau panen pemandangan yang biasa
kulihat sejak kecil. Bahkan saat masih kecil, saat petani belum banyak yang
menggunakan traktor untuk membajak sawah, aku sudah biasa melihat Aki, kakekku,
bekerja menggarap sawah dengan menggunakan dua ekor lembu untuk membajak sawah.
Hari-hariku dari kecil adalah sekolah dan belajar
(walaupun nilai-nilai sekolahku tak pernah memuaskan, asal cukup saja), namun disaat
liburan sekolah, bila pulang ke kampung orangtuaku (kebetulan ayah dan ibuku
berasal dari kampung yang sama), sawah menjadi salah satu tujuanku bermain
disaat liburan.
Saat itu, aku melihat bekerja sebagai petani biasa-biasa
saja. Artinya aku menganggap mereka, yang bekerja sebagai petani, bekerja
bagaimana layaknya orang yang bekerja seperti pekerjaan-pekerjaan lain seperti
berdagang, pegawai kantoran, atau beragam pekerjaan lainnya. Aku melihat mereka
petani, termasuk Aki dan Nini, kakek dan nenek dari ayah dan ibu, bekerja keras
menggarap sawah. Dan saat panen tiba mendapatkan hasil yang menggembirakan dari
hasil penjualan panen padi. Itu yang kulihat dimasa kecilku bertahun-tahun
lamanya.
Bertahun-tahun kemudian saat aku sudah menyelesaikan
pendidikan dan sudah bekerja kantoran, beberapa petak sawah yang dulu dimasa kecilku
menjadi tempat bermainku, kini berpindah tangan menjadi milikku, artinya beberapa petak sawah itu
diwariskan menjadi bagianku. Dan saat itulah baru aku menyadari ternyata
menjadi petani itu berat dan tidak muda.
Sawah yang menjadi bagianku tetap dikerjakan oleh berapa
orang petani yang sudah dari dulu menggarap sawah peninggalan Aki dan Nini.
Sistemnya bagi hasil. Aku mendapat bagian setengannya dari hasil panen setelah
dipotong oleh pupuk, biaya buruh, biaya pemeliharaan dan lain sebagainya. Dan
pastinya, bagiaku sangat kecil bila dibandingkan dengan hasil panen yang
diperoleh. Itu patut disyukuri karena tidak selamanya petani bisa menikmati
panen padi yang bagus. Itulah sebagian dari lika liku pekerjaan petani. Tak
jarang saat padi sudah tumbuh bagus, diserang hama. Padi yang siap dipanen
akhirnya hanya tinggal sisa-sisa yang diserang hama. Belum lagi apabila sawahya
berada didaerah yang penanamannya mengandalkan curah hujan. Bila hujan tidak
turun maka para petani tidak ada yang menanam padi. Bila kemaraunya panjang,
maka bisa dipastikan selama setahun itu petani yang berada didaerah itu tidak
ada yang menanam padi. Lantas bagaimana dengan sawahnya? Dibiarkan begitu saja
hingga tak lama kemudian setelah terlantar karena tidak digarap, seluruh
permukaannya akan ditumbuhi rumput-rumput liar. Dan itu akan jadi pekerjaan
tambahan bagi para petani nanti bila
musim hujan tiba dan mereka akan memulai lagi mengarap sawah, yang pertama
dilakukan adalah menggarap sawah menghabiskan seluruh rumput dan tanaman liar
itu.
Pernah terpikir bahwa suatu saat aku akan menggarap
sendiri sawah peninggalan Aki dan Nini itu. Aku juga pasti bisa menjadi petani
apabila nanti sudah pensiun dan memiliki waktu penuh untuk menjadi petani.
Namun pemikiranku ternyata tak semudah apa yang kulihat dilapangan. Menjadi
petani itu tidak mudah. Memulai menjadi petani juga tidak mudah. Butuh waktu
bertahun-tahun bagiku untuk bisa mempelajari bagaimana menggarap sawah dan
mendapatkan hasil yang baik. Andaipun aku terjun langsung ke sawah, tidak
mungkin aku bisa mengerjakannya sendirian. Pasti aku tetap butuh bantuan beberapa
orang buruh tani untuk memulai pekerjaan menggarap sawah dari memulai membajak,
tandur, pekerjaan-pekerjaan lain, hingga akhirnya masa panen nanti tiba.
Sungguh pekerjaan yang berat. Baru membayangkannya pun aku sudah merasa berat
apalagi bila menjalankannya langsung. Hingga saat ini, menjadi petani masih
dalam bayanganku saja. Aku masih tetap hanya bisa menengok sawah yang masih
tetap digarap orang lain. Hanya masih bisa berdiri dipinggir sawah melihat
hamparan padi yang menghijau, lalu menguning dan akhirnya menunggu siap untuk
dipanen tanpa terlibat secara langsung melalui berbagai tahap penanaman padi.
Mungkin... mungkin suatu saat aku juga akan bisa jadi
petani. Terjun secara langsung dengan tangan dan kakiku menggarap sawah. Tapi
itu baru mungkin karena segala sesuatu itu membutuhkan proses yang lama dan
panjang....