Jumat, 24 Maret 2017

Saat di sawah









Saya berasal dari keturunan petani. Dari mulai Aki, Nini, Buyut, Bao hingga terus keatas ke leluhur saya, mereka semuanya adalah petani tulen. Artinya pekerjaan mereka semua adalah petani. Petani padi, itu pekerjaan yang mereka yang utama. Lalu setelah selesai bertanam padi, mereka bertanam yang lain, palawija, pisang, buah-buahan, atau sayuran untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Juga menanam pohon yang hasilnya sering digunakan untuk kebutuhan tempat tinggal. Selain itu, sebagian dari mereka ada yang beternak ayam, memelihara ikan dikolam dan pekerjaan lain yang tidak jauh dari pekerjaan sebagai petani. Mereka juga memelihara lembu. Jaman dulu, hal yang lumrah apabila petani memelihara beb,erapa ekor lembu. Lembu itu digunakan untuk membajak sawah. Demikian pula dengan Aki, Nini dan buyut saya, hampir semuanya memiliki beberapa ekor lembu. Saat masa kecil saya, saya masih ingat, apabila lembu-lembu itu telah selesai membajak sawah, maka Aki akan memandikan lembu-lembu itu dimasukan kedalam kolam. Apabila saya duduk berjongkok ditepi kolam sambil memandangi lembu-lembu yang tengah dimandikan oleh Aki, lembu-lembu itu akan memandang saya juga.

Namun mulai dari ayah saya kebawah, maksudnya pada anak-anaknya, mulailah pekerjaan berubah. Ayah saya seorang pegawai negeri. Demikian pula dengan keenam putra-putrinya, termasuk saya.

Saya sendiri walaupun seorang pegawai negeri, rasa-rasanya saya memiliki jiwa seorang petani. Minimal saya suka dengan pekerjaan seorang petani. Saya suka sawah. Saya sangat suka memandang hamparan padi disawah. Saya suka melihat petani yang tengah bekerja di sawah. Saya suka melihat beragam hasil pertanian. Mungkin dari rasa suka-suka itu yang membuat saya kemudia terpikir untuk kelak apabila saya telah pensiun, saya pun akan menjadi petani.

Kenyataannya, saat masa pensiun masih cukup lama, masih sepuluh tahunan lagi, saat itu, saya ternyata mulai merintis menjadi seorang petani. Walaupun sawah masih digarap oleh penggarap sawah dan tiap panen bagi hasil antara pemilik sawah dan penggarap sawah, namun itu sudah berarti bahwa saya sudah mulai menjadi petani.

Apakah lahan sawah itu saya beli sendiri? Tidak. Sawah itu adalah peninggalan Aki dan Nini saya yang kemudian diwariskan pada kedua orangtua saya, lalu diwariskan kembali pada saya. Aki Nini mendapatkan sawah itu dar Buyut saya. Jadi artinya sawah itu adalah sawah turun temurun.

Apakah saya sudah bisa menjadi petani padi? Belum. Menjadi petani tidak semudah yang ada dalam benak saya. Saya masih harus banyak belajar. Dan proses belajar itu tidak mudah dan membutuhkan banyak waktu yang rasa-rasanya sama panjangnya dengan proses pendidikan formal yang saya tempuh.

Untuk menggarap sawah, sepetak, dua petak atau sehamparan sawah yang luas, prosesnya pastilah sama. Dan itu bukan sebuah pekerjaan mudah. Hanya petani tulen, yang sudah terbiasa menjadi petani, yang akan mengganggap pekerjaan itu sebagai hal yang biasa. Dari mulai menyemai benih, membajak sawah (umumnya sekarang sudah memakai traktor), mengairi sawah,  menanam bibit padi, menyiangi rumput yang mengganggu tanaman padi, memberi pupuk, menunggu padi dari serangan hama dan burung, hingga akhirnya menunggu padi yang menghijau mulai menguning dan masa panen pun tiba. Berapa bulan melakukan semua pekerjaan itu? Rata-rata lima bulan. Bila sedang beruntung, padi menguning dan dipanen, petani akan menuai padi dengan penuh harapan dan kegembiraan, semua jerih payah mereka selama berbulan-bulan akhirnya memetik hasil. Namun bagaimana bila hasil pekerjaan mereka tidak seperti yang diharapkan? Padi diserang hama, padi tidak tumbuh dengan baik, padi dilanda kemarau sehingga air tidak mencukupi kebutuhan dan segala macam permasalahan yang dihadapi petani, saat itulah petani diuji kesabarannya. Jerih payah dan uang yang sudah mereka keluarkan tidak membuahkan hasil dan hal itu jarang terjadi menyurutkan semangat mereka untuk tetap bertani dan tetap menanam padi dimusim yang akan datang.

Semua pekerjaan adalah mulia. Dan bagi saya seorang petani mendapat tempat tersendiri dalam hati saya. Pekerjaan yang luar biasa bagi saya. Tidak ada petani berarti tidak ada makanan. No Farmer, No Food. Betul. Sampai bolak balik saya memikirkan kalimat itu.

Bayangkanlah, dari sejak kita bangun dipagi hari hingga malam menjelang, tak ada pekerjaan petani yang tidak bersentuhan dengan urasan perut kita.  Bangun tidur, kita menyeduh secangkir kopi yang mengepul panas. Kopi hitam atau kopi yang telah dikemas menjadi kopi creamer, kopi itu berasal dari perkebunan kopi yang ditanam petani.  Gula pasir yang membuat secangkir kopi kita terasa manis, gulanya berasal dari tebu yang ditanam petani tebu. Lalu lanjut pada acara masak memasak untuk sarapan pagi, sarapan siang, bahkan makan malam kita sekeluarga. Beras yang kita tanak, beras itu berasal dari padi, dan padi itu ditanam oleh petani padi. Kita memasak sayuran, semua sayuran itu berasal dari sayuran yang ditanam petani sayuran.  Bumbu yang kita gunakan untuk memasak, semuanya berasal dari petani. Bawang merah, bawang putih, tomat, cabe, lengkuas, merica, dan segala macam bumbu masakan yang membuat masakan kita menjadi enak dan lezat serta disukai seluruh anggota keluarga, semuanya berasal dari yang ditanam para petani.

Jadi masihkah kita tidak menghargai pekerjaan petani?





























Rabu, 22 Maret 2017

Mala








Ayah Mala dahulunya adalah seorang pegawai di istana. Tugasnya adalah membersihkan kandang kuda. Ketika ayahnya meninggal, Mala hidup berdua bersama dengan ibunya di pondok kecil peninggalan ayahnya. Ayahnya meninggalkan sepetak kebun yang ditanami dengan sayur-sayuran dan buah-buahan. Sehingga untuk kebutuhan sehari-hari Mala menjual beragam macam sayuran dan buah-buahan yang dihasilkan dari kebun itu.

Suatu hari Mala memberanikan diri pergi ke istana. Dia ingin mengadu nasib, bekerja di istana. Sayang sekali, tidak ada pekerjaan yang tersedia untuk Malan. Yang ada hanya sebagai tukang membersihkan kandang kuda.

“Kau perempuan, tugas membersihkan kandang kuda terlampau berat bagimu. Carilah pekerjaan lain diluar istana.” Kata pegawai disana.

“Ayah saya dulu adalah tukang membersihkan kandang kuda istana.” Kata Mala ngotot  tidak mau pergi.

“Oh, siapakah ayahmu?” Tanya pegawai itu.

“Burdin. Ayahku puluhan tahun bekerja sebagai tukang membersihkan kandang kuda istana.” 

“Oh, tentu saja aku kenal dengan ayahmu. Baiklah, kau diterima. Mulai hari ini kau bekerja sebagai tukang membersihkan kandang kuda. Kau mendapatkan kamar kecil tidak jauh dari istal kuda. Disana kau bisa tidur dan beristirahat. Dua minggu sekali kau bisa pulang kerumahmu dan hanya diberi waktu sehari. Setelah itu kau harus tetap berada dilingkungan istana dan membersihkan kandang kuda tiga kali sehari.” Kata pegawai istana itu.

“Baiklah.” Sahut Mala gembira. Lalu dia pulang dan memberitahu ibunya bahwa dia diterima bekerja di istana meneruskan pekerjaan ayahnya dahulu sebagai tukang membersihkan kandang kuda.

“Bekerjalah dengan baik, anakku. Ibu senang mendengarnya. Dua minggu sekali kau bisa pulang dan bertemu dengan ibu.” Kata ibunya.

Mala sangat rajin bekerja. Pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan mulai bekerja. Semua sudut kandang kuda tidak pernah luput dari perhatiannya. Siang hari Mala kembali bekerja membersihkan kandang kuda. Dan sore hari adalah tugasnya yang terakhir membersihkan kandang kuda. Malam harinya Mala tidur dengan nyenyak karena pekerjaan telah selesai dan dia bisa beristirahat dengan tenang.

Tidak terasa sebulan sudah Mala bekerja di istana. Suatu hari ketika Mala tengah bekerja membersihkan kandang kuda, dia mendengar suara seseorang tengah berkata.

“Siapakah yang membersihkan kandang kuda istana ini? Aku perhatikan sekarang kandang kuda selalu bersih dan tidak lagi bau karena rajin dibersihkan.” Kata suara itu. Suara seorang laki-laki.

“Ada pegawai baru, namanya Mala, ayahnya dulu bekerja sebagai tukang membersihkan kandang kuda. Ketika ayahnya meninggal, Mala, anaknya menggantikan tugas ayahnya.” Kata suara satu lagi yang Mala kenal sebagai suara pegawai istana.

“Oh, bagus. Aku suka sekali dengan kerjanya.” Kata suara yang pertama.

Mala mengintip dari balik kandang kuda. Dia melihat seorang pemuda yang berpakaian pemburu memasuki kandang kuda. Perasaan Mala berdebar. Dia baru kali ini melihat pemuda itu. Ah, siapakah dia? Pikir Mala.

“Tuanku Pangeran, kuda yang mana yang akan tuan tunggangi kali ini?” Tanya pegawai istana.

“Aku ingin berburu dengan si Jentik.” Sahut pemuda itu.

Oh, rupanya dia adalah pangeran, pikir Mala. Pegawai istana memasuki salah satu kandang kuda dan mengeluarkan seekor kuda berbulu hitam mulus yang mengkilat. Seekor kuda yang sangat gagah. Mala memperhatikan terus dari balik kandang kuda lainnya. Oh, rupanya kuda hitam itu namanya Jentik, pikir Mala.

“Ah, Jentik. Kau makin cantik saja.” Sapa sang pangeran sambil tertawa gembira ketika melihat kuda hitam itu menghampirinya. “Dan bulumu sangat cantik sekali. Bersih dan mengkilat.”

“Tuanku, Mala, gadis tukang membersihkan kandang kuda itu selain membersihkan kandang kuda dia juga sesekali membantu merawat kuda-kuda istana dan membersihkan bulu-bulunya hingga terlihat bersih dan mengkilap seperti ini. Silahkan tuanku perhatikan, hampir semua kuda-kuda istana sekarang bulu-bulunya bersih dan mengkilap.”  Kata pegawai istana dengan gembira.

“Ah, kau benar. Aku lihat kuda-kuda istana sekarang terlihat semakin terawat dan cantik. Coba kau bawa Mala kemari, aku ingin bertemu dengannya.” Kata sang pangeran.

Bergegas pegawai istana mencari Mala. Mala berdebar mendengar ucapan sang pangeran. Dia bergegas melanjutkan kembali pekerjaannya membersihkan kandang kuda. Tidak lama pegawai berhasil menemukan Mala.

“Ah, Mala. Rupanya kau disini. Pangeran Imam ingin bertemu denganmu.” Kata pegawai itu ketika melihat Mala yang tengah sibuk bekerja.

Mala mengikuti pegawai itu menemui sang pangeran.

“Inilah Mala, tukang membersihkan kuda yang baru, tuanku.” Kata pegawai itu.

Mala dengan celana panjang dan bajunya yang kotor terlihat sangat lusuh. Namun sepasang matanya yang berbinar tidak mampu menyembunyikan kecantikannya walaupun wajahnya kotor dan berpeluh.

“Mala, kau pegawai yang rajin. Aku senang dengan kerjamu.” Kata sang pangeran.

“Terima kasih, tuanku.” Sahut Mala.

Pangeran lalu menaiki kudanya dan bergegas memacu kudanya akan pergi berburu diikuti beberapa pengawal. Tak lama kemudian pangeran sudah  lenyap dari pandangan. Mala merasa gembira sekali. Dia bertemu dengan pangeran. Hal yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

“Nah, pangeran senang dengan kerjamu. Kau harus lebih rajin lagi, siapa tahu pangeran akan memberimu hadiah.” Kata pegawai istana sambil tertawa.

“Terima kasih, tuan.” Kata Mala. Lalu dia bergegas meneruskan kembali pekerjaannya.

Ketika tengah beristirahat dibiliknya, Mala membaringkan tubuhnya diatas dipan kecil. Dia tersenyum sendiri. Wajah sang pangeran terbayang dipelupuk matanya. Pangeran terlihat tampan dan kelihatannya baik hati. Ah, aku beruntung sudah bertemu dan disapa oleh sang pangeran, pikir Mala gembira.

Suatu hari Mala mendengar kesibukan didalam istana. Salah seorang pelayan didapur istana mengatakan bahwa sang pangeran akan berulang tahun. Banyak makanan dan masakan yang akan disajikan di istana.

“Kau pun nanti bisa makan sepuasmu di istana, Mala.” Kata pegawai di dapur istana itu.

Mala termenung mendengarnya. Dia ingin sekali mengucapkan selamat ulang tahun pada sang pangeran, namun bagaimana caranya. Dia hanya seorang tukang membersihkan kandang kuda. Tidak mungkin dia mampu menerobos kedalam istana dan mengucapkan selamat ulang tahun pada sang pangeran.

Hari itu Mala kembali bekerja seperti biasanya, namun pikirannya tak bisa lepas dari sang pangeran. Pada saat itu tiba-tiba matanya melihat sesuatu yang berkilauan diantara tumpukan jerami. Ah, apakah itu? Pikir Mala. Bergegas dia memungut benda yang berkilauan itu. Oh, ternyata itu adalah sebuah cincin. Mala melihat dibagian dalam cincin itu ada cap mahkota. Ah, pastilah cincin ini milik sang pangeran, pikir Mala. Dia bergegas keluar kandang dan berlari menuju istana. Tak lama dia sudah tiba di istana.

“Hei, kau mau kemana?” Tanya salah seorang pengawal ketika melihat seorang gadis yang berpakaian kotor menerobos masuk kedalam istana.

“Saya ingin bertemu dengan sang pangeran.” Sahut Mala dengan nafas terengah.

“Tidak bisa. Kau tidak bisa masuk kedalam istana dalam keadaan kotor seperti itu. Pergilah sebelum kau diusir.” Ucap pengawal itu dengan tegas.

“Saya mohon, saya ingin bertemu dengan Pangeran, tuan.”

“Pergilah!!” bentak pengawal itu.

“Tuan….”

“Ada apa?” sebuah suara menimpali percakapan Mala dan pengawal itu. Mala menoleh. Jantungnya berdegup kencang. Sang pangeran menghampiri mereka.

“Tuanku, gadis ini memaksa ingin bertemu dengan tuanku.” Kata pengawal itu.

“Biarkan dia menemuiku.” Sahut sang pangeran. Pangeran Imam melihat pada Mala. “Ada apa? Bukankah engkau tukang membersihkan kandang kuda istana?”

“Ya, betul tuanku.” Sahut Mala. “Saya menemukan cincin ini dikandang kuda. Ada cap mahkota pada cincin ini. Apakah ini cincin milik tuanku?”

Mala menyerahkan cincin itu pada pangeran Imam. Pangeran Imam menerimanya. Wajahnya berubah gembira.

“Ah, betul. Ini cincin milikku. Dimana kau menemukannya? Di kandang kuda? Ah, kukira cincinku ini terjatuh ketika aku tengah berburu.” Kata pangeran Imam dengan gembira.

“Aku senang kau telah menemukan cincin yang merupakan lambang bahwa aku adalah pangeran mahkota, Mala. Aku akan memberimu imbalan hadiah atas kebaikanmu menemukan kembali cincin ini.” Kata pangeran Imam.

“Terima kasih tuanku, namun ada hal yang ingin saya ucapkan pada tuanku yang  nilainya lebih besar daripada imbalan hadiah yang akan tuanku berikan kepada hamba.” Kata Mala.

“Ah, ucapan apakah itu? Apakah kau tahu imbalan hadiah yang akan aku berikan kepadamu? Aku akan memberimu hadiah baju, sepatu, dan perhiasan…..”

“Terima kasih tuanku, semua hadiah itu pastinya akan sangat berharga sekali buat hamba, namun apa yang akan hamba ucapkan pada tuanku rasanya akan lebih berharga sekali dibandingkan dengan semua hadiah yang akan tuanku berikan pada hamba.”

Pangeran tersenyum mendengar ucapan Mala. “Baiklah, ucapan apakah yang akan engkau ucapkan padaku, Mala?”

“Tuanku, hamba mendengar bahwa tuanku akan berulang tahun, oleh karena itu ijinkanlah hamba saat ini segera mengucapkan selamat ulang tahun kepada tuanku. Selamat ulang tahun, semoga panjang umur, semoga kebahagiaan senantiasa menyertai tuanku. Amien.” Kata Mala.

“Ah, Mala, kau gadis yang baik. Terima kasih atas ucapan ulang tahunmu. Kau orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun padaku padahal ulang tahunku baru akan dirayakan besok.” Pangeran tertawa. “Dan aku merasa senang bila besok malam kau bisa datang ke istana dan merayakan ulang tahunku bersama-sama dengan yang lainnya.”

“Terima kasih tuanku, tapi…..” Mala menunduk memperhatikan bajunya yang kotor dan sepatunya yang sudah lusuh.

Pangeran tersenyum. “Mala, bukankah tadi aku sudah menjanjikan akan memberimu hadiah, baju, sepatu dan perhiasan? Nah, hari ini kau bebas tugas. Pergilah bersama salah seorang pegawaiku berbelanja. Belilah gaun apapun yang kau sukai. Pilihlah sepatu yang kau senangi. Dan pilihlah juga perhiasan yang kau sukai. Hari ini aku memberikan keistimewaan padamu karena kau sudah menemukan benda yang sangat istimewa buatku, yaitu cincin kerajaan ini yang merupakan simbolku sebagai putra mahkota.” Kata sang pangeran. “Jangan lupa besok kau harus berdandan secantik mungkin sehingga aku tidak bisa mengenalimu lagi.” Pangeran tertawa.

Mala merasa girang sekali. Hari itu tiga orang pengawal sang pangeran menemani Mala berkeliling mencari gaun, sepatu dan perhiasan yang akan dikenakannya saat menghadiri ulang tahun sang pangeran besok malam.  Bukan hanya berbelanja, pengawal juga membawa Mala ke salon kecantikan untuk merawat tubuh dan rambutnya. Ah, bukan main senangnya perasaan Mala dengan semua yang belum pernah dilakukannya itu.

Besok malamnya didalam istana terlihat ramai. Sang pangeran berdiri ditengah istana dan telah meniup lilin. Semua tamu terlihat gembira dan setelah mengucapkan selamat ulang tahun pada sang pangeran mereka mulai menikmati makanan dan minuman dengan diiringi musik yang sangat merdu. Pangeran Imam mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan istana. Dia kecewa karena tidak menemukan yang dicarinya. Mala ternyata tidak hadir di pesta ulang tahunnya.

Mala berdiri disudut ruangan istana. Dia melangkah perlahan menemui sang pangeran yang tengah berdiri sendirian karena tamu-tamu hampir semuanya telah mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya.

“Tuanku, selamat ulang tahun.” Ucap Mala sambil membungkukkan tubuhnya.

“Terima kasih.” Pangeran hanya melihat sekilas pada Mala.

Oh, Mala merasa kecewa, ternyata pangeran Imam tidak mengenalnya.

“Maafkanlah atas kelancangan hamba, tuanku. Dan terima kasih atas semua pemberian tuanku ini.” Ucap Mala.

“Pemberian?” pangeran menatap Mala tak mengerti.

“Ya, semua yang hamba kenakan malam ini semuanya adalah hadiah dari tuanku, gaun ini, sepatu, perhiasan, bahkan hamba bisa tampil seperti ini semuanya adalah pemberian tuanku. Hamba adalah Mala, tukang membersihkan kandang kuda.” Ucap Mala.

“Kau pasti bercanda.” Kata sang pangeran. “Kau? Mala? Ah, mana mungkin. Kau….kau sangat cantik sekali…..” ucap pangeran Imam tergagap.

Mala tersenyum. “Bukankah tuanku yang telah merubah hamba menjadi seperti ini.”

“Mala, aku tadi mencarimu namun aku tak berhasil menemukanmu. Terlalu banyak gadis-gadis cantik yang berada disini malam ini, namun…. engkaulah yang tercantik malam ini.” Pangeran Imam mengulurkan tangannya mengajak berdansa. Sepanjang malam itu pangeran Imam berdansa dengan Mala. Ketika waktu telah semakin malam, bergegas Mala pamitan. Dia harus segera tidur karena esok hari dia harus bangun pagi dan segera bekerja kembali.

“Tuanku, saya harus segera kembali ke bilik saya. Besok saya harus bangun pagi-pagi dan bekerja kembali seperti biasa.” Kata Mala.

“Oh, baiklah.” Sahut pangeran separuh kecewa karena dia masih ingin bersama-sama dengan Mala. Pangeran mengiringi kepergian Mala dengan tatapannya sampai gadis itu menghilang dibalik tembok istana.

Esok harinya ketika pangeran akan pergi berburu dia melihat Mala tengah sibuk bekerja di kandang kuda. Seperti biasanya gadis itu mengenakan pakaian kerjanya sehari-hari, celana panjang, baju berlengan panjang yang digulung serta topi yang menutupi rambutnya.

“Ah, alangkah berbedanya Mala yang sering kutemui sehari-hari dengan Mala yang kulihat semalam.” Pikir pangeran. “Ketika mengenakan gaun Mala berubah menjadi gadis yang sangat cantik sekali. Namun bila tengah memakai pakaian kerjanya, dia terlihat begitu sederhana.”

Sejak saat itu pangeran sangat sering sekali pergi ke belakang istana ke istal kuda. Pangeran sering memberi makan kuda-kuda kesayangannya. Namun sebenarnya bukan karena ingin memberi makan kuda-kudanya saja yang membuat sang pangeran jadi sering ke belakang istana ke istal kuda, sang pangeran ingin sering bertemu dengan Mala. Hubungan pangeran dan Mala semakin dekat. Keduanya telah saling jatuh cinta. Hingga suatu hari pangeran mempersunting Mala dan mereka merayakan pesta pernikahannya dengan sederhana karena sang pangeran tidak menginginkan kemewahan dengan perayaan pesta perkawinannya. Sang pangeran hanya menginginkan perkawinannya dengan Mala bahagia.

   

Mawar Biru Dari Lembah Naga








Sudah hampir setahun lamanya pangeran mahkota ditimpa penyakit lumpuh.  Sepanjang hari pangeran Zenni hanya bisa berbaring. Tabib dari berbagai penjuru negeri sudah didatangkan untuk mengobatinya namun pangeran  belum sembuh juga.  Tubuhnya semakin kurus dan kulitnya semakin pucat. Raja dan permaisuri hampir setiap hari menangis memikirkan keadaan sang pangeran. 

Sementara itu disuatu lembah yang indah, yang letaknya sangat  jauh dari istana, ada sebuah pondok sederhana namun terlihat indah sekali. Keindahan pondok itu terletak pada  bunga mawar biru yang merambati dinding-dinding  pondok kecil itu sehingga kelihatan indah sekali. Dihalaman pondok itu seorang gadis tampak tengah menyirami bunga-bunga mawar biru. Pada saat itu seorang lelaki melintas dan menyapa gadis itu.

“Selamat pagi Miranda. Cantik sekali bunga-bungamu.” Sapa lelaki itu.

Gadis itu menoleh. “Oh, paman Joni. Iya, paman, kebetulan sekarang matahari bersinar bagus sehingga bunga-bunga mawarku berbunga indah sekali.” Sahut Miranda sambil tersenyum manis.

“Bagaimana dengan keadaan ayahmu, Miranda? Apakah keadaannya sudah membaik?”

“Iya, paman. Ayah sudah mulai berangsur-angsur pulih kembali keadaannya.”

“Oh, syukurlah. Tabib manakah yang telah menyembuhkannya?”

“Ayah tidak diobati oleh tabib, paman. Saya mengobati ayah dengan ramuan mawar biru.”

“Ramuan mawar biru?”

“Ya. Saya tak sengaja mencoba membuat ramuan dari mawar biru ini. Kelopak mawar biru ini diseduh lalu airnya diminumkan dan ternyata ayah berangsur-angsur sembuh.”

“Oh, kalau begitu kenapa engkau tidak mencoba mengobati pangeran mahkota?  Sudah hampir setahun putra mahkota terbaring sakit. Seluruh tubuhnya lumpuh.  Sudah banyak tabib istana yang berusaha mengobati sang pangeran namun hingga sekarang pangeran tidak juga kunjung sembuh.”

“Oh begitukah? Ah, istana sangat jauh. Saya punya ayah dan ibu yang sudah tua yang harus saya rawat.”

Paman Joni tidak mendesak.  Dia tahu bagaimana berbaktinya gadis itu pada kedua orangtuanya.  Akhirnya paman Joni pergi sendiri  ke istana akan memberitahukan pada pihak istana bahwa ada seorang gadis yang bisa menyembuhkan sang pangeran. Pegawai istana segera memberitahu Raja dengan kedatangan salah seorang penduduk dari pelosok yang member  kabar adanya seorang tabib yang bisa menyembuhkan sang pangeran. Raja dan permaisuri bangkit kembali harapannya mendengar berita yang dibawa pengawal itu.

“Bawa gadis itu ke istana.” Perintah Raja.

“Mohon maaf, tuanku, gadis itu tidak bisa kemari. Gadis itu tinggal bersama dengan kedua orangtuanya yang telah tua dan dia tak mau meninggalkan kedua orangtuanya.” Kata paman Joni.

“Dimanakah gadis itu tinggal?” Tanya permaisuri.

“Di Lembah Naga.”

“Lembah Naga? Apakah lembah itu masih termasuk wilayah kerajaan?” Tanya permaisuri.  

“Ya, tuanku. Wilayah itu masih termasuk wilayah kerajaan tuanku.” Sahut  paman Joni yang disambut dengan anggukan Raja.

“Kalau begitu, kita bawa saja sang pangeran kesana dan diobati disana.” Usul Raja yang langsung disepakati oleh permaisuri dan penasehat raja.

Pada keesokan  segala sesuatunya dipersiapkan. Pangeran Zenni ditidurkan didalam kereta yang ditarik dengan dua ekor kuda. Selain kusir kereta, ada tiga orang pengawal setia dan kepercayaan Raja yang mengawal sang pangeran. Nama ketiga pengawal itu adalah Bun, Ben, dan Bon.  Paman Joni ikut serta bersama rombongan. Dia diberi seekor kuda dan menaiki kudanya sendiri. Menjelang dini hari  rombongan  tiba di pondok di Lembah Naga itu.

Bukan main terkejutnya Miranda dipagi buta ada yang mengetuk pintu dan mendengar  ringkik kuda dihalaman rumah. Namun ketakutannya agak memudar ketika dia mendengar suara paman Jodi yang sudah dikenalnya.

“Bukalah pintunya, Miranda. Ini aku paman Joni.” Panggil paman Joni dari luar.

“Oh, paman Jodi. Ada apa sepagi  ini kemari?” Tanya Miranda sambil membuka pintu. Dan dia tertegun melihat ada tandu dan tiga orang  berkuda dihalaman pondoknya.

 “Siapakah mereka, paman Jodi?” Tanya Miranda.

“Persilahkan mereka masuk, Miranda. Mereka membawa sang pangeran yang tengah sakit untuk kau obati.”

“Oh.” Miranda sejenak tertegun. Namun kemudian dia bergegas mempersilahkan para tamunya masuk dan menyediakan sebuah kamar kecil kosong untuk tempat berbaring sang pangeran. Ayah dan ibu Miranda yang telah tua ikut terbangun menyambut kedatangan para tamunya. Sementara Miranda sendiri langsung sibuk menjerang air dan memasak untuk menjamu para tamunya. Dia membuat minuman yang segar terbuat dari jahe. Dan memasak sop daging kambing.

“Oh, kau seorang gadis yang cekatan, Miranda.” Puji Bun ketika menikmati minuman jahe hangat dan sop daging kambing yang disuguhkan Miranda.

“Disini hanyalah sebuah kampung terpencil, tuanku. Hanya ini yang bisa saya sajikan untuk para tuanku sekalian.” Kata Miranda yang masih kelihatan sibuk membuatkan minuman yang terbuat dari seduhan mawar biru buat sang pangeran. Mata sang pangeran memperhatikan Miranda yang membantunya meminumkan rambuan yang dibuatnya.

“Siapakah engkau?” Tanya sang pangeran dengan suara lemah.

“Saya Miranda, tuanku.” Sahut Miranda sambil tersenyum.

“Minuman apa yang kau buat ini? Rasanya manis namun ada kesatnya.”

“Minumlah. Minuman itu adalah ramuan yang saya buat untuk kesembuhan tuanku.”

“Terima kasih. Kau baik sekali.” Kata sang pangeran. Tak lama kemudian pangeran sudah tertidur lelap. Sementara Bun, Ben dan Bon pun tertidur lelap di ambin pondok itu.

Esok paginya Miranda sudah bangun kembali dan menyiapkan beragam hidangan untuk para tamunya.

“Ah, kami jadi merepotkanmu, Miranda.” Kata Ben. “Kebetulan kami pun membawa cukup banyak bekal. Kami membawa daging asap,   ikan kering, buah-buahan kering dan segala macam makanan. Semuanya bisa kau masak untuk kami selama kami dan pangeran berada disini.”

“Dengan senang hati.” Sahut Miranda.

Begitulah, selama keberadaan sang pangeran dipondoknya Miranda sangat sibuk sekali.  Setiap hari  dia membuat ramuan untuk sang pangeran. Dari hari ke hari pangeran menunjukan perbaikan. Jari-jari kakinya mulai bisa digerakan. Bun, Ben dan Bon merasa gembira melihat perkembangan kesehatan pangeran Zenni. Mereka mencoba membantu sang pangeran menapakan kakinya ke tanah. Dan ternyata pangeran sudah bisa berdiri walaupun belum bisa berjalan.

“Oh, pangeran sebentar lagi akan sembuh dan pulih seperti sediakala.” Kata Ben gembira.

“Pangeran akan berkuda kembali seperti dulu.” Kata Bun.

“Dan kita akan berburu kembali setiap akhir pekan.” Kata Bon.

Sebulan sudah pangeran tinggal di pondok Miranda. Kini sang pangeran kakinya terlihat semakin kuat apabila berdiri walaupun belum bisa berjalan. Siang itu sang pangeran ingin berjalan-jalan keluar.

“Kaki pangeran belum kuat untuk berjalan.” Kata Ben.

“Aku ingin melihat-lihat keindahan Lembah Naga ini.” Kata pangeran.

“Baiklah. Aku dan Bon akan memapah tuanku.” Kata Bun.

Akhirnya Bun dan Bon memapah pangeran Zenni berjalan-jalan di Lembah Naga. Hari semakin sore namun sang pangeran dan ketiga pengawalnya belum juga kembali. Langit terlihat mendung. Tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Miranda tengah sibuk didapur memasak untuk makan malam. Mendadak terdengar suara halilintar menggelegar keras sekali. Miranda  terpekik kaget. Dia bergegas menutup jendela dapur. Namun mendadak dia tertegun ketika melihat keluar. Dia melihat seseorang dengan langkah terhuyung-huyung  berjalan menuju pondoknya. Olala, bukankah itu sang pangeran? Pikir Miranda.  Bukan main terkejutnya Miranda. Bergegas dia membuka pintu dapur. Sang pangeran sudah berada didepan pintu dapur.

Miranda memperhatikan kaki sang pangeran. “Pangeran sudah bisa berjalan!” seru Miranda.

“Ya, Miranda.” Sahut Pangeran Zenni dengan nafas terengah-engah namun raut wajahnya terlihat gembira.  “Aku tadi mengajak Bun, Ben dan Bon jalan-jalan.  Aku ingin melihat keindahan  Lembah Naga ini. Saat kembali, mendadak hujan turun. Mendadak ada suara halilintar menggelegar. Aku kaget.  Mendadak saja aku bisa berjalan dan meninggalkan Bun, Ben dan Bon. Mereka masih berada dibelakang.” Kata sang pangeran.

Miranda hanya bisa melongo dengan takjub. Pada saat itu dia melihat Bun, Ben dan Bon berlarian menuju pondok.

“Pangeran sudah sembuh.” Kata Bun, Ben dan Bon berkali-kali.

“Yah, aku telah sembuh. Aku kini bisa berjalan lagi. Terima kasih, Miranda.” Kata  pangeran Zenni.

Miranda tersenyum. Dia ikut gembira melihat kesembuhan sang pangeran. Malam itu mereka semua makan dengan gembira. Seakan merayakan kesembuhan sang pangeran. Sop daging kambing, bebek bakar bumbu jahe, kentang goreng dan sekeranjang anggur  merah menemani makan malam mereka.  Dua hari kemudian sang pangeran dan ketiga  pengawalnya pamit pulang kembali ke istana. Namun dua minggu kemudian sang pangeran serta    ketiga  pengawalnya   datang kembali ke pondok di Lembah Naga itu. Dalam rombongan itu turut serta Raja dan Permaisuri. Rombongan dari istana itu datang untuk meminang Miranda. Rupanya sang pangeran sudah jatuh hati kepada Miranda dan ingin mempersunting gadis yang telah mengobatinya itu. Oh, bukan main bahagianya perasaan Miranda karena dia pun telah jatuh hati pada sang pangeran.

Tidak lama kemudian diselenggarakan pesta pernikahan sang pangeran dan Miranda di Lembah Naga. Dihiasi dengan bunga-bunga mawar biru yang semarak. Setelah pernikahan di Lembah Naga itu, Miranda dan kedua orangtuanya diboyong ke istana. Miranda dan Pangeran Zenni hidup bahagia bersama.

--- 0 ---

Miranda dan Rosa








Miranda melihat langit yang gelap. Ah, pasti sebentar lagi hujan akan turun lagi, pikirnya. Musim hujan kali ini terasa panjang sekali. Sudah lebih dari enam bulan lamanya hujan masih turun setiap hari. Miranda tengah bekerja digudang kecil dibelakang pondoknya. Gudang itu berantakan. Hujan angin yang kencang beberapa hari lalu telah memporakporandakan gudang dibelakang pondoknya dan beberapa pondok tetangga disekitarnya. Beruntung pondoknya masih bisa bertahan tidak hancur disapu angin kencang.

“Miranda! Miranda!” terdengar suara seseorang memanggilnya. Tak lama kemudian seorang gadis seusia Miranda masuk kedalam gudang menemuinya. Rosa, adalah tetangganya. Pondoknya tidak jauh dari pondoknya. Mereka berdua sama-sama anak petani. Kedua orangtua Rosa dan Miranda sama-sama telah meninggal dunia. Persahabatan mereka sudah berubah menjadi persaudaraan karena mereka merasa sama-sama sudah tidak lagi memiliki orangtua dan keluarga.

“Miranda, langit sangat gelap, aku khawatir hujan dengan angin yang kencang akan datang lagi. Aku khawatir dengan pondokku yang sudah tua akan rubuh diterjang angin kencang.” Kata Rosa dengan wajah penuh rasa khawatir. “Waktu hujan angin kemarin, aku tak berani keluar dari pondokku. Aku hanya duduk dan berdo’a saja semoga pondokku selamat. Ketika hujan reda, aku keluar dan melihat beberapa pondok tetangga kita ada yang hancur diterjang hujan dan angin kencang kemarin.”

“Rosa, berdo’alah. Hanya ini yang bisa kita lakukan.” Sahut Miranda. “Kau lihat sendiri, gudangku ini juga hancur berantakan. Atapnya sebagian ada yang rusak.  Aku sendiri khawatir dengan keadaan pondokku yang sudah tua, namun aku hanya bisa berdoa semoga pondokku  selamat dari terjangan angin kencang yang akhir-akhir ini hampir setiap hari melanda desa kita.

“Kasihan beberapa tetangga kita saat ini sedang sibuk bekerja memperbaiki pondok mereka yang rusak, karena itu mereka sehari ini tidak pergi ke sawah dan ke ladang.” Kata Rosa.

“Ya, apalagi karena hujan yang turun terus menerus membuat padi disawah mereka banyak yang rusak dan busuk sehingga tidak bisa dipanen.” Miranda menarik napas dalam merasakan apa yang tengah dirasakan oleh tetangga-tetangganya yang semuanya adalah petani.

Rosa membantu Miranda membereskan gudangnya yang berantakan. Dia menumpuk  kayu-kayu tua disudut gudang, menyapu lantai gudang dan membereskan barang-barang bekas yang berserakan dilantai gudang.  

Tiba-tiba Rosa berseru, “Miranda! Lihatlah, aku menemukan sebuah karung. Penuh dengan biji-biji kopi.” Seru Rosa sambil memperlihatkan karung didekatnya.

“Apa? Karung kopi?” tanya Miranda. Dia  menghampiri Rosa. Dibukanya karung itu yang ternyata benar penuh berisi biji kopi.

“Ah, aku tidak tahu bila di gudang ini masih ada sesuatu yang berharga yang tersimpan.” Ucap Miranda dengan gembira.

Rosa menatap Miranda.“Apa yang akan kau lakukan dengan sekarung biji kopi ini? Biji-biji kopi ini kelihatannya masih bagus.

Miranda termenung sejenak seakan ada yang dipikirkannya. Dia menatap Rosa, lalu tersenyum. “Aku akan menyemainya menjadi bibit kopi. Rosa, orangtuaku meninggalkan sepetak kebun. Selama ini kebun itu terbengkalai tak terurus dan tidak ditanami apa-apa. Bila aku berhasil menyemai benih-benih kopi itu menjadi bibit kopi, aku akan menanamnya dikebun itu.”

Rosa kelihatan gembira sekali. “Kau betul, Miranda. Kau bisa menanam kopi. Selama ini kau hanya kerja serabutan saja kesana kemari. Sekarang saatnya engkau bekerja dikebun milikmu sendiri.”

Miranda menatap Rosa. “Rosa, aku pasti tidak akan bisa mengerjakan sendiri rencanaku ini. Aku membutuhkan bantuanmu. Maukan engkau bekerja denganku?”

“Tentu saja, Miranda. Aku akan senang sekali bila aku bisa bekerja membantumu.” Sahut Rosa.

“Rosa, kau tidak bekerja begitu saja tentu saja.” Ucap Miranda. “Kau lihat kopi ini ada sekarung. Dari sekarung kopi ini kita bisa mendapatkan bibit kopi yang cukup banyak. Sebagian akan kita tanam dikebunku dan sebagian lagi akan kita tanam dikebunmu.  Dengan demikian kita berdua bekerja sama.”

Rosa mengangguk setuju. “Aku gembira sekali mendengarnya,  Miranda. Kau tahu sendiri selama ini kehidupanku sangat susah.  Aku harus bekerja keras sepanjang hari agar dapat bisa makan. Bila usaha kita bertanam kopi berhasil, siapa tahu kehidupan kita akan berubah. Aku akan bertanya pada Mang Pardi. Dia sudah lama sekali bertanam kopi dan mendapatkan penghasilan yang bagus dari hasil kebun kopinya. Aku akan bertanya dan belajar pada Mang Pardi bagaimana caranya bertanam kopi dan memeliharanya.

“Ya, Rosa. Mulai besok kita akan mulai bekerja. Bertanam kopi membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum kita dapat memetik hasilnya. Namun bila kopi sudah mulai berbuah, kita bisa memanennya setiap tahun. Miranda berkata penuh harap.

Rosa mengangguk setuju.

Esok harinya kedua gadis itu mulai bekerja. Mereka memilih biji-biji kopi yang masih bagus dan membuang biji-biji kopi yang rusak. Lalu biji-biji kopi itu mulai disiangi dan dijadikan bibit. Berminggu-mingu kedua gadis itu bekerja. Setelah bibit itu tumbuh dengan baik, mereka memindahkannya dan menanamnya di kebun mereka. Miranda dan Rosa banyak bertanya pada Mang Pardi yang sudah lama sekali bertanam kopi dan menjadi petani kopi.

Sore itu Rosa datang lagi berkunjung kerumah Miranda. Kali ini Rosa akan menginap dirumah Miranda agar esok pagi mereka bisa berangkat pagi-pagi bersama-sama ke kebun Miranda.

“Miranda, aku tadi berpikir, didesa kita ini belum ada warung kopi, mengapa engkau tidak membuka warung kopi saja didepan rumahmu?” kata Rosa. “Selama ini kau dan aku bekerja serabutan, dan kopi yang kita tanam masih membutuhkan waktu bertahun-tahun lagi hingga akhirnya berbuah.”

“Warung kopi?” sahut Miranda.

“Yah. Warung kopi. Kau tahu, warung kopi memang menyediakan minuman kopi, tapi kau kan pintar membuat aneka macam makanan, kau bisa menjualnya sekalian diwarung kopimu.”

Miranda termenung mendengar usul Rosa. “Pastinya akan membutuhkan biaya untuk memulai usaha membuka warung kopi itu, Rosa. Aku tak punya uang, tapi.....” Miranda menunduk. Dia memperhatikan kalung emas yang tergantung dilehernya. Hanya kalung ini perhiasan yang tersisa yang masih dimilikinya.

“Aku tertarik dengan usulmu itu, Rosa. Aku akan menjual kalung emas ini, bila dari membuka warung nanti ada keuntungan yang bisa aku simpan, aku akan membelikannya lagi pada kalung emas lagi.” Kata Miranda. “Esok kita pergi dulu ke kebun untuk membabat rumput-rumput disekitar tanaman kopi, lalu kita pergi ke pasar untuk menjual kalungku ini sebagai modal usaha.”

Esok harinya sepulang dari kebun, Miranda  dengan diantar Rosa pergi menjual kalung emasnya ke pasar. Uang dari hasil penjualan kalungnya dibuatkan warung didepan pondoknya dan juga membeli segala macam kebutuhan yang dibutuhkannya untuk warungnya. Rosa membantunya dari awal hingga akhirnya warung kopi itu dibuka. Miranda memberi Rosa upah harian selama bekerja diwarungnya. Mereka bukan hanya menjual minuman kopi, namun juga menyediakan makanan yang digoreng. Ternyata warung minum kopi mereka banyak yang menyukainya dan banyak yang mampir. Dari pagi hingga sore selalu ada saja pembeli yang datang dan minum kopi disana. Apalagi Miranda dan Rosa sangat ramah.

Miranda dan Rosa kini tak lagi bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ketika beberapa tahun kemudian tanaman kopi sudah berbuah, warung kopi ditutup untuk sementara, Miranda dan Rosa menghabiskan waktu diladang untuk memanen kopi dan menjualnya pada pengepul kopi. Pertemanan mereka berjalan sekian lamanya hingga akhirnya mereka kemudian  menikah dan memiliki keluarga masing-masing. Namun walaupun sudah menikah dan punya keluarga sendiri, persahabatan mereka tetap terjalin erat.



--- 0 ---