Selasa, 10 Februari 2015

Pak Hamid dan Ketiga Putrinya








Pak Hamid memiliki tiga anak perempuan. Halin, Mita dan Gima. Istrinya telah lama meninggal dunia sehingga pak Hamid membesarkan ketiga putrinya sendirian saja. Ketika ketiga anak gadisnya telah cukup dewasa, pak Hamid berniat membagikan hartanya pada ketiga anak gadisnya.
“Anakku, ayah sekarang sudah tua dan ayah rasanya sudah tidak sanggup lagi bekerja.” Kata pak Hamid suatu hari pada ketiga anak gadisnya. “Ayah berniat akan menyerahkan kebun yang selama ini menjadi mata pencaharian ayah kepada kalian bertiga. Kebun yang satu terletak diujung desa kita ini, sebuah perkebunan yang luas yang ayah Tanami dengan kopi. Kebun yang kedua terletak diperbatasan desa ini, sama dengan kebun yang pertama, kebun inipun ditanami dengan kopi. Lalu yang satu lagi kebun itu terletak dilereng gunung. Seperti kebun yang pertama dan kebun yang kedua, kebun inipun ditanami dengan kopi.”
Ketiga anak gadisnya mendengarkan kata-kata ayahnya dengan seksama.
“Ayah akan membagikan ketiga kebun itu kepada kalian bertiga. Kebun yang pertama ayah serahkan padamu Halin, lalu kebun yang kedua untukmu Mita dan kebun yang terletak dilereng gunung ayah serahkan untukmu, Gima. Semua kebun itu berisi pohon-pohon kopi yang selama ini selalu menghasilkan kopi-kopi yang bagus. Sekarang kebun-kebun itu sudah menjadi milik kalian, silahkan kalian pelihara dengan sebaik-baiknya seperti ayah selama ini memelihara kebun-kebun kopi itu sehingga bisa menghasilkan uang dan bisa mencukupi segala macam kebutuhan kita.”
Ketiga anak gadisnya mengucapkan terima kasih pada ayah mereka.
Esok harinya ketiga anak gadis itu melihat kebun masing-masing. Halin naik delman menuju kebunnya. Tidak lama kemudian dia sudah sampai dikebunnya dan merasa takjub melihat kebunnya yang penuh dengan pohon-pohon kopi yang tengah berbuah lebat. Buah-buah kopi yang telah matang berwarna merah dan kuning. Oh, bukan main senang perasaannya melihat kopi-kopi yang telah matang dan siap untuk dipanen.
Mita pun pergi kekebun bagiannya. Ketika tiba dikebunnya, bukan main senang hatinya melihat kebun kopi yang tengah berbuah lebat dan siap dipanen. Dia membayangkan akan segera mendapatkan banyak uang dari hasil penjualan kopinya.
Sementara itu Gima pun pergi melihat kebun kopinya yang terletak di lereng gunung. Berbeda dengan kebun bagian kedua kakaknya yang terletak ditanah yang datar, kebun bagiannya terletak dilereng gunung. Untuk mencapai kebunnya jalannya menanjak dan berbatu. Tidak ada kendaraan yang bisa mencapai kebunnya dan harus ditempuh dengan berjalan kaki saja. Gima berjalan sendirian menuju kebunnya. Perasaannya terasa gamang melihat jalanan yang menanjak sementara kebunnya masih jauh. Namun dia terus melangkah dan merasa yakin bahwa akhirnya dia akan tiba juga dikebun yang menjadi bagiannya. Dia teringat pada ibunya yang menyayanginya dan perasaannya mendadak menjadi sedih. Namun dia menguatkan perasaannya dan terus melangkahkan kakinya menapaki jalanan yang menanjak dan berbatu. Peluh membanjiri tubuhnya. Sesekali dia berhenti dan beristirahat sejenak sambil menikmati bekal makanannya, setelah itu dia meneruskan kembali langkahnya. Akhirnya dia tiba juga dikebunnya. Segala kelelahan terasa sirna ketika dia melihat kebun yang menjadi bagiannya penuh dengan pohon-pohon kopi yang tengah berbuah lebat. Kopi-kopi itu telah siap dipanen. Bukan main gembira perasaannya. Dia berniat dalam hati akan memelihara kebun kopinya dengan sebaik-baiknya karena selama ini kehidupan mereka sehari-hari berasal dari hasil kebun kopi.
Esok harinya Gima kembali lagi ke kebunnya. Dia mengajak mang Parta dan Bi Yayah yang selama ini menjadi kepercayaan ayahnya dalam mengelola kebunnya. Mang Parta membawa banyak karung sementara bi Yayah membawa bakul yang akan dipakai untuk mengisi kopi-kopi yang telah dipetik. Mereka bertiga bekerja dengan tekun memetik kopi-kopi yang telah merah dan memasukannya kedalam karung dan bakul. Mereka juga mengumpulkan buah-buah kopi yang dimakan musang dan mengumpulkannya dalam karung yang berbeda.
Selama beberapa hari Gima, Mang Parta dan Bi Yayah memanen kopi dan hasilnya berkarung-karung kopi bertumpuk dan diangkut kerumah dengan menyewa beberapa tukang pikul.
“Gima, kamu anak yang baik dan jujur. Ayah percaya padamu kau bisa menjadi petani yang baik seperti ayah dan ibu.” Kata pak Hamid terharu ketika melihat anak bungsunya pulang dengan membawa banyak karung-karung berisi kopi.
“Pekerjaan belum selesai, ayah. Saya, Mang Parta dan Bi Yayah akan segera mengurus kopi-kopi ini, menjemurnya lalu mengolahnya menjadi kopi-kopi yang siap untuk dijual. Mudah-mudahan hasilnya bagus.” Kata Gima.
“Kerjakanlah, ayah percaya padamu.” Kata pak Hamid.
Sementara itu Halin dan Mita berbeda dengan Gima. Mereka tidak mau bekerja keras. Mereka menjual kebun kopi itu dan uangnya dipakai untuk bersenang-senang. Mereka pergi ke kota dan membelanjakan uang hasil penjualan kopi itu pada barang-barang yang sudah lama mereka inginkan dan menginap di hotel mewah dan hidup bersenang-senang.
Pak Hamid sangat kecewa dengan kelakuan Halin dan Mita namun pak Hamid tidak bicara apa-apa.
Beberapa waktu kemudian Halin dan Mita pulang kembali ke desa. Mereka terlihat sangat bingung. Uang hasil penjualan kebun kopi itu telah habis tak bersisa dan sekarang mereka bingung karena sudah tidak punya apa-apa lagi. Mereka mencoba meminta uang pada ayah mereka namun pak Hamid menolak dengan tegas.
“Tidak, anakku.” kata pak Hamid. “Ayah sudah tidak memiliki apa-apa lagi selain rumah yang ayah tempati ini. Rumah ini adalah harta satu-satunya yang masih ayah miliki. Ketiga kebun yang luas itu sudah ayah serahkan dengan adil pada kalian bertiga, namun kau, Halin dan Mita malah menjual kebun yang ayah berikan pada kalian. Hanya Gima yang mengolah kebun kopi seperti ayah dan ibu dulu mengolah kebun kopi sehingga menghasilkan uang dan bisa mencukupi kebutuhan kita. Ayah sangat kecewa dengan kalian berdua. Kalian tidak mau bekerja dan hanya ingin senang saja. Sekarang kalian susah sendiri karena kalian tidak mau bekerja keras. Namun perasaan ayah terhibur melihat Gima sungguh-sungguh bekerja keras sehingga kebun kopi bisa tetap panen dan menghasilkan uang.”
Halin dan Mita menangis mendengar ucapan ayahnya, mereka menyesal telah menyia-nyiakan kepercayaan ayahnya. Sejak itu mereka setiap hari hanya diam dirumah dan bekerja membereskan rumah dan memasak. Sementara Gima  hampir setiap hari pergi ke kebun kopi memeriksa kopinya. Beberapa tahun kemudian dari hasil penjualan kopi Gima sudah bisa membeli lagi beberapa buah kebun dan ditanami kembali dengan kopi. Gima memiliki jiwa usaha. Dia mengolah sendiri kopi yang dihasilkan dari kebunnya dan akhirnya membeli beberapa buah peralatan mesin untuk mengolah kopi-kopinya. Gima mengajak kedua kakaknya untuk bekerja bersama-sama dengannya. Halin dan Mita dengan senang hati mau ikut bekerja keras membantu adiknya. Pak Hamid merasa bahagia melihat Halin dan Mita akhirnya mau berubah dan tidak lagi menjadi gadis pemalas. Halin dan Mita mendapat upah yang layak dari Gima dengan pekerjaannya.