Senin, 10 November 2014

Kedai Roti Miranti














Kedai Roti Miranti



Udara terasa sangat dingin sekali. Hujan turun deras sejak sore dan sepertinya tidak akan segera berhenti. Malam semakin larut. Miranti melihat keluar jendela dari kedai roti tuanya. Dia melihat hujan masih turun dengan deras. Bunyi curah hujan terdengar berisik menimpa genting kedai rotinya. Disaat hujan deras begini, mungkin orang-orang merasa malas keluar rumah, pikir Miranti sedih. Dia melihat pada rak-rak tempat roti dikedainya yang masih penuh dengan roti-rotinya yang baru dibakar. Biasanya, sebelum jam delapan malam rotinya sudah hampir habis terjual. Namun sekarang rotinya belum setengahnya dari yang dibuatnya yang terjual. Miranti merasa sedih sekali. Namun dia menyadari beginilah yang namanya berjualan, ada kalanya ramai  dengan pembeli namun ada kalanya juga jualannya sepi tidak laku.
Miranti menghela napas dalam. Apa boleh buat, walaupun rotinya masih banyak, namun dia akan menutup kedai rotinya. Hari telah malam dan hujan turun semakin deras membuat udara terasa semakin dingin. Dia harus segera menutup kedai rotinya dan berisitirahat sebab besok dia harus bangun pagi-pagi sekali dan kembali disibukan dengan membuat roti yang akan dijualnya. Dia mengerjakan semuanya sendiri. Dia tidak memiliki cukup banyak uang untuk membayar upah pembantu bila dia harus memiliki pembantu yang akan membantu pekerjaannya.
Miranti menutup pintu kedai rotinya, lalu dia menutup jendela kedai rotinya. Namun baru saja dia selesai menutup jendela, tiba-tiba dari luar ada yang mengetuk pintu kedainya dengan keras.
“Bukalah! Kami akan membeli roti.” Teriak sebuah suara diantara derasnya suara curah hujan.
“Ya, bukalah pintunya! Kami merasa lapar sekali.” Kata sebuah suara lain tidak kalah kerasnya dari suara yang pertama.
Miranti bergegas membuka pintu kedainya. Ada tiga orang kakek bertubuh pendek gemuk berdiri didepan kedai rotinya. Ketiga kakek itu terlihat basah kuyup diguyur hujan. Dihalaman, ada sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Kereta itu membawa gelondongan-gelondongan kayu yang baru ditebang dan telah dipotong-potong.
“Ah, akhirnya kau buka juga pintunya.” Kata kakek yang berbaju biru dengan gembira.
“Silahkan masuk.” Kata Miranti dengan ramah.
Ketiga kakek itu segera masuk dan menempati sebuah meja. Mereka duduk mengelilingi meja itu.
“Silahkan dipilih rotinya, tuan-tuan.” Kata Miranti.
“Ambilkan saja macam-macam roti yang kau buat dan jangan lupa bawakan juga minuman panas untuk kami bertiga. Kami merasa lapar dan kedinginan sekali.” Kata kakek yang berbaju kuning.  
“Baiklah” Kata Miranti. Dia segera mengambil wadah roti dan mengisinya dengan beraneka macam roti. Lalu Miranti menyeduh tiga cangkir cokelat panas dan segera menghidangkannya bersama dengan roti pada ketiga kakek  itu.
Ketiga kakek itu segera saja menyantap roti dan meminum cokelat panas yang dihidangkan Miranti.
“Ahhhh…… rotimu sangat enak sekali.” Puji kakek yang berbaju hijau.
“Segelas cokelat panas ini sangat enak sekali. Tubuhku rasanya kembali bertenaga.” Kata kakek berbaju biru.
“Perpaduan roti dan secangkir cokelat panas membuat kekuatanku pulih kembali setelah seharian menebang pohon.” Kata kakek berbaju kuning.
Miranti tersenyum mendengar ucapan ketiga tamunya itu. Oh, rupanya mereka semua adalah para penebang kayu yang kemalaman dari hutan.
Ketiga penebang kayu itu lalu berdiri dengan perasaan puas.
“Saatnya kami pulang. Hujan rupanya telah berhenti sehingga kami bisa meneruskan kembali perjalanan pulang. Nah, berapa yang harus kami bayar untuk semua roti dan cokelat panasmu itu?” Tanya kakek berbaju hijau.
Miranti segera menghitung semua roti dan cokelat panas yang telah disantap ketiga tamunya. Kakek berbaju biru mengeluarkan tempat uangnya. Dia mengeluarkan beberapa keping uang dan menyerahkannya pada Miranti. Miranti melongo menerima pembayaran dari kakek  itu. Bukan keping-keping uang biasa, tapi ada lima keping emas yang berkilauan yang diberikan kakek itu kepadanya.
“Tuan…..” kata Miranti tergagap. “Jumlah emas ini terlalu banyak untuk membayar roti dan minuman tadi.”
“Tidak apa-apa. Ambil saja semuanya. Kau gadis yang baik yang telah menolong kami bertiga dari kelaparan dan dinginnya udara diluar.” Ujar kakek itu.
Lalu ketiga kakek itu bersiap akan pergi.
“Tunggu!” kata Miranti bergegas. Lalu dengan cepat dia  membungkus semua roti yang masih ada di kedainya dan dimasukannya kedalam karung. Lalu diserahkannya pada kakek berbaju biru.
“Bawalah semua roti ini untuk bekal diperjalanan. Tuan-tuan pasti nanti akan merasa lapar kembali.” Ucap Miranti.
“Oh, terima kasih. Belum pernah aku bertemu gadis sebaik engkau.” Kata kakek berbaju biru itu. Kakek berbaju kuning  lantas memanggul karung berisi roti itu lalu menaruhnya didalam gerobak.
Ketiga kakek  itu lalu naik kedalam gerobak. Gerobak itu perlahan pergi meninggalkan kedai roti. Miranti masih berdiri diluar kedainya sambil memperhatikan kepergian gerobak itu yang bergerak perlahan melintasi rerumputan dan semakin menjauh.
Miranti menutup pintu kedainya. Hujan sudah berhenti,   rumput-rumput kelihatan  basah bekas disiram hujan. Miranti menutup pintu kedainya. Dia melihat rak-rak rotinya telah kosong melompong. Miranti merasa gembira sekali, akhirnya rotinya terjual habis semuanya.
Esok harinya Miranti pergi ke pasar. Dia menjual kelima keping emas itu kepada tukang emas. Miranti sangat gembira sekali. Dia mendapat uang yang banyak sekali dari hasil penjualan kelima keping emas itu. Miranti lalu belanja segala macam kebutuhan untuk pembuatan roti jualannya. Dia menyewa sebuah gerobak yang ditarik kuda untuk membawa belanjaannya ke pondoknya. Sementara sebagian besar uangnya akan dia pergunakan untuk membangun kedai rotinya yang telah tua dan lapuk.
Beberapa waktu kemudian kedai roti tua itu telah berubah menjadi sebuah kedai roti yang cantik. Miranti sangat gembira sekali karena dia sekarang tidak lagi mengerjakan semuanya sendirian. Dia memiliki tiga orang pembantu yang membantunya membuat roti dan melayani pembeli. Pelanggannya pun kini semakin bertambah banyak. Ditengah-tengah jualannya yang semakin laris, Miranti tidak melupakan ketiga kakek itu  yang telah menjadi tamunya disuatu malam dan membuat hidupnya berubah. Ketiga kakek itu tak pernah singgah lagi ke kedai rotinya namun Miranti selalu mengenang kebaikan ketiga kakek itu.  (Foto dr google)

Minggu, 02 November 2014

Pondok Bunga di Lereng Bukit








Permaisuri raja sudah berbulan-bulan lamanya menderita sakit. Kepalanya sering terasa pusing. Tubuhnya sering terasa lemas tak bertenaga. Tabib-tabib istana sudah berusaha mengobati sang permaisuri namun sakit permaisuri tak kunjung sembuh juga. Raja merasa sangat gundah gulana. Raja sangat mencintai permaisuri dan merasa khawatir dengan kondisi kesehatan istrinya itu. Raja memiliki seorang putera mahkota yang bernama pangeran Andi yang akan segera dipersiapkan untuk menggantikan dirinya menjadi raja. Namun sayangnya sang pangeran belum juga memiliki seorang istri yang akan mendampinginya apabila kelak diangkat menjadi raja. Raja dan permaisuri sudah sering mengingatkan  pangeran Andi agar segera memiliki istri namun rupanya pangeran Andi belum juga menemukan gadis yang cocok dengannya.
Suatu hari permaisuri sangat ingin berjalan-jalan keluar istana menghirup udara pegunungan.
“Mungkin aku tengah merasa jenuh dengan keadaan di istana. Aku ingin berjalan-jalan keluar istana melihat pemandangan diluar istana. Aku ingin berjalan-jalan ke pegunungan dan menghirup udara segar pegunungan.” Kata permaisuri kepada raja.
Raja segera memerintahkan dua orang pengawal dan dua orang dayang untuk menemani sang permaisuri berjalan-jalan.
Kereta kuda yang ditarik dua ekor kuda hitam berpacu meninggalkan istana. Udara sangat cerah. Langit biru bersih. Sepanjang perjalanan dengan tatapan sayu akibat sakit yang dideritanya, permaisuri melayangkan tatapannya keluar jendela kereta. Kereta berpacu dengan cepat makin lama semakin jauh meninggalkan istana. Pemandangan yang dilihat permaisuri sepanjang jalan tak ada satupun yang menarik perhatiannya. Kereta kuda terus berlari melintasi perkampungan, hutan, lembah dan perbukitan yang hijau. Ketika telah tiba diperbukitan, sang permaisuri terlihat mulai tertarik dengan pemandangan disekitar perbukitan yang hijau dan indah penuh bunga-bunga beraneka warna yang tengah bermekaran. Rumput-rumput menghijau terhampar bagaikan hamparan permadani yang luas sekali. Bunga-bunga beraneka jenis dan warna menghiasi perbukitan, terlihat indah dengan warna-warnanya yang cerah diantara hijaunya perbukitan dan sejuknya udara perbukitan.

Tatapan sang permaisuri tiba-tiba tertambat pada sebuah pondok kayu yang berada dilereng bukit.
“Ah, pondok kepunyaan siapakah itu?” seru permaisuri pada salah seorang dayangnya. “Pondok kayu yang sangat indah sekali. Penuh dengan bunga-bunga indah yang bermekaran.”
“Ya, betul. Pondok yang indah sekali.” Ucap salah seorang dayang yang ikut merasa tertarik melihat keindahan pondok kayu itu.
Permaisuri meminta kusir menghentikan laju kereta. Kereta berhenti. Tatapan mata permaisuri terlihat sangat senang melihat pondok kayu itu yang penuh dengan bunga-bunga yang tengah bermekaran. Pondok kayu itu terdiri dari dua tingkat. Ada beberapa jendela tinggi pada pondok kayu itu. Pada masing-masing jendela, dibawahnya ditaruh pot-pot bunga berwarna-warni, terlihat sangat indah sekali.
“Aku ingin tahu pondok milik siapakah itu. Coba kita kesana.” Kata permaisuri.
Kereta kuda melaju lagi menaiki bukit dan tak lama kemudian kereta kuda itu sudah tiba didepan pondok kayu itu. Permaisuri keluar dari kereta kuda. Dia merasa senang melihat pondok kayu yang terlihat asri dan terawat dengan baik. Pastinya pemiliknya sangat telaten merawat pondoknya. Udara pegunungan yang sejuk dan segar membuat permaisuri merasa tubuhnya terasa lebih segar. Dia memanggil Mirna, salah seorang dayangnya.
“Mirna, cobalah kau ketuk pintu pondok itu. Siapakah pemiliknya. Apakah bisa aku menyewa pondok ini untuk beristirahat selama beberapa hari? Aku merasa kerasan bila aku tinggal di pondok ini.” Ucap permaisuri.
Mirna segera mengetuk pintu pondok itu. Tak lama kemudian keluarlah seorang gadis yang cantik membukakan pintu pondok. Rambutnya hitam panjang tebal dan dikepang menjadi satu dibelakang. Kulitnya kuning langsat bersinar, terlihat sehat.  Pakaiannya sederhana seperti biasanya gadis desa pegunungan, berupa rok panjang terbuat dari kain sederhana. Gadis cantik itu  terlihat sangat keheranan melihat ada orang asing yang mengetuk pintu pondoknya.
“Oh, darimanakah nyonya ini?” Tanya gadis itu.
“Kami dari istana….” Kata Mirna. Namun belum juga  Mirna menyelesaikan ucapannya, gadis itu sudah berjongkok dan member hormat dengan raut wajah ketakutan.
“Berdirilah.” Kata Mirna sambil tersenyum. “Kami membawa ibunda permaisuri. Ibunda permaisuri  merasa tertarik melihat pondok ini. Siapakah pemilik pondok ini?”
“Hamba sendiri pemilik pondok ini, Nyonya.” Sahut gadis itu.
“Baiklah. Siapakah namamu?”
“Melani, Nyonya.”
Mirna kembali lagi ke kereta menemui permaisuri dan melaporkan sudah bertemu dengan pemilik pondok itu yang ternyata pemiliknya adalah seorang gadis muda. Permaisuri berkenan turun dan menemui gadis pemilik pondok itu.
“Oh, tuanku Yang Mulia. Maafkanlah hamba sama sekali tidak tahu apabila tuanku berkenan singgah ke pondok hamba yang sederhana ini.” Melani menekuk lututnya memberi hormat pada permaisuri raja yang baru kali ini dilihatnya.
Permaisuri tersenyum lembut. Dia merasa terkesan dengan kecantikan dan kesantunan gadis pegunungan itu.
“Bangunlah. Aku merasa tertarik melihat pondokmu ini yang sangat cantik penuh dengan bunga-bunga yang sangat cantik. Apakah boleh apabila aku tinggal dan menyewa pondokmu untuk beberapa hari?” Tanya permaisuri.
“Tentu saja, Yang Mulia. Silahkan Yang Mulia tinggal disini, tidak usah menyewa apabila Yang Mulia berkenan ingin tinggal disini.” Kata Melani. “Mari masuk Yang Mulia. Namun hamba mohon maaf apabila keadaan di pondok hamba ini segalanya teramat sangat sederhana.”
Permaisuri diiringi kedua dayangnya masuk kedalam pondok itu. Melani segera menyajikan minuman teh hangat yang diberi irisan jeruk dan gula. Rasa teh hangat itu asam manis. Dia pun menyajikan beberapa buah roti lengkap dengan selai stroberi dan keju.
“Mari silahkan dinikmati makanan dan minuman pedesaan ini, Yang Mulia.” Ucap Melani. Bukan hanya menyuguhi permaisuri, Melani juga menyuguhi makanan dan minuman yang sama buat pengawal, dayang dan kusir yang ikut duduk di pondok kayunya.
“Oh, kau gadis yang cekatan.” Kata permaisuri sambil menikmati minuman. Ah, terasa segar sekali. Permaisuri meminum  minumannya sampai habis. Terasa nikmat sekali. Permaisuri merasa tubuhnya mendadak terasa sangat segar sekali. Lalu permaisuri mengambil sepotong roti dan keju.
“Hem, roti ini sangat enak sekali. Lembut dan harum. Dan keju ini rasanya enak sekali. Dimana kau membeli roti dan keju ini, Melani?” Tanya permasuri.
“Hamba membuatnya sendiri, Yang Mulia.” Sahut Melani sambil tersenyum malu.
“Ah, rupanya kau memang gadis yang rajin sekali, Melani.” Permasuri tersenyum.
Sambil menghidangkan makanan dan minuman pada permasuri dan pengiringnya, Melani sibuk naik turun tangga dilantai atas membenahi kamar-kamar yang akan ditempati permaisuri dan para pengiringnya. Tak lama Melani telah selesai dengan pekerjaannya.
“Yang Mulia, silahkan berisitirahat dikamar yang telah hamba sediakan dilantai atas. Barangkali Yang Mulia merasa lelah dan ingin beristirahat.” Kata Melani.
“Terima kasih, Melani. Betul, aku ingin beristirahat dulu.” Sahut permaisuri sambil beranjak mengikuti Melani menaiki tangga kayu menuju kamar dilantai atas. Mirna mengikuti permaisuri sambil membawa segala kebutuhan permaisuri yang dibawa dari istana.
Melani membukakan pintu kamar. Permaisuri merasa senang melihat kamar itu. Didalam kamar berlantai kayu itu hanya ada sebuah dipan sederhana dan sebuah meja kecil dengan kursi kayu. Melani menunjukan kamar mandi yang berada dikamar itu pada permaisuri. Permaisuri merasa senang melihat kamar mandi kecil yang bersih itu.  Jendela kamar  yang tinggi ditutup oleh gorden sederhana dengan motif bunga. Permaisuri membuka jendela. Udara segar pegunungan bertiup masuk kedalam kamar. Permaisuri melihat dibawah jendela ada tempat berbentuk kotak persegi panjang dimana diletakan pot-pot bunga kecil berjejer rapi.
“Selamat beristirahat, Yang Mulia.” Kata Melani sambil menutup pintu kamar.
Melani menyediakan dua kamar lagi dilantai bawah untuk ditempati pengawal dan dayang istana. Setelah itu Melani menyibukan diri di dapur memasak untuk makan malam nanti. Sore hari, permaisuri baru keluar kamar. Permaisuri  terlihat lebih segar. Permaisuri turun dari lantai atas dan melihat Melani tengah sibuk menyiapkan masakan untuk makan malam.
“Ah, kami merepotkanmu, Melani.” Kata permaisuri ketika melihat kesibukan Melani didapur. Sayur mayur segar dan buah-buahan bertumpuk didapur. Dari dalam kuali yang mengepul panas, tercium aroma daging sapi yang tengah dimasak.
“Sama sekali tidak, Yang Mulia. Saya merasa mendapat kehormatan dengan kedatangan Yang Mulia ke pondok saya ini.” Sahut Melani sambil membuka pembakaran roti dan mengeluarkan roti yang telah matang. Bau harum roti mengisi dapur kecil itu.
“Mirna dan Lena, kedua dayangku, akan membantumu.” Kata permaisuri sambil memanggil kedua dayangnya yang segera saja ikut sibuk didapur membantu Melani. Sementara kedua pengawal dan kusir kereta tengah berjalan-jalan diluar pondok menikmati pemandangan pegunungan di sore hari yang sejuk.
Malam pun tiba. Udara pegunungan di malam hari terasa sangat dingin sekali. Permaisuri membungkus dirinya dengan mantel tebal. Pengawal sibuk menyalakan perapian ditungku perapian diruangan tengah agar udara didalam pondok itu terasa hangat. Sementara Melani bersama Mirna dan Lena sibuk menyiapkan makan malam. Makan malam terasa nikmat sekali. Sop daging sapi yang panas berisi potongan wortel dan kentang. Daging sapi saus kecap. Sayur jamur dan brokoli. Roti-roti yang baru keluar dari pembakaran. Sayur mayur segar dan buah-buahan menemani makan malam itu. Permaisuri makan dengan lahap sekali. Sudah lama sekali permaisuri tidak pernah lagi makan selahap ini.
Esok paginya permaisuri merasa tubuhnya terasa semakin segar. Semalam tidurnya terasa nyeyak sekali. Dia lalu berjalan-jalan disekitar pondok itu. Kakinya menginjak rumput-rumput lembut yang menutupi tanah. Ketika permaisuri kembali ke pondok itu, dia merasa tubuhnya terasa jauh lebih segar. Ah, rasanya aku kini telah sembuh, pikir permaisuri.
Empat hari lamanya permaisuri tinggal di pondok kayu itu. Dia memberi uang pada Melani untuk membeli segala macam kebutuhan selama dia tinggal di pondok itu termasuk juga untuk segala macam makanan dan minuman yang disediakan Melani untuk dirinya dan pengiringnya.
“Aku merasa sangat kerasan tinggal di pondokmu ini, Melani. Masakanmu pun sangat lezat sekali. Keju buatanmu sangat lezat sekali. Aku baru melihat sendiri bagaimana caranya membuat keju. Kau gadis yang serba bisa, Melani.”
Hari kelima, tiba-tiba datang seseorang yang menunggang kuda dan dipacu dengan cepat. Kuda itu lalu berhenti didepan pondok kayu itu. Penunggangnya lalu turun dan mengetuk pintu pondok   itu. Melani membukakan pintu pondok itu.
“Maaf, apakah ibuku tinggal disini?” Tanya pemuda itu.
“Ibumu?” Melani melongo.
“Oh, anakku. Kau kemari akan menjemput ibu? Sayangnya ibu masih merasa kerasan tinggal disini dan belum ingin pulang kembali ke istana.” Permaisuri muncul dari dalam pondok dan bicara pada pemuda itu.
“Ya, Bu. Ayah meminta saya untuk menjemput ibu.” Kata pemuda itu sambil mencium tangan permaisuri. Oh, rupanya pemuda itu adalah pangeran mahkota yang akan menjemput ibundanya.
“Pulanglah dan ajaklah ayahmu kemari. Kita sekeluarga akan beristirahat disini selama beberapa hari lagi.” Kata permaisuri.
Pangeran Andi kembali ke istana. Esoknya pangeran Andi kembali bersama ayahanda raja. Ternyata raja pun merasa kerasan melihat pondok itu. Akhirnya raja dan pengeran Andi ikut menginap selama beberapa hari di pondok kayu itu dan menikmati kesegaran udara pegunungan.
Setelah tinggal lebih dari seminggu, akhirnya permaisuri pamitan dan mengucapkan banyak terima kasih karena Melani telah melayani dirinya, raja, pangeran Andi serta para pengiring dengan baik. Permaisuri menghadiahi perhiasan berupa seuntai kalung mutiara yang indah  dan uang pada Melani sebagai ucapan terima kasih. Akhirnya permaisuri beserta rombongan pulang kembali ke istana dalam keadaan sehat. Beberapa waktu kemudian pangeran Andi datang kembali ke pondok kayu itu akan  menjemput Melani dan membawanya ke istana. Rupanya pangeran Andi dan Melani telah saling jatuh cinta selama pertemuan di pondok kayu itu. Akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia. Sesekali raja, permaisuri, pangeran Andi dan Melani menghabiskan waktu senggang di pondok kayu itu yang telah menjadi tempat istirahat keluarga kerajaan. (foto diambil dari google)